PEMILIHAN Umum (Pemilu) 2024 adalah pemilunya kaum muda. Hipotesis ini tidaklah berlebihan karena selaras dengan demografi politik Indonesia hari ini. Kaum muda menjadi kelompok pemilih dominan, 52 persen dari total 204,8 juta pemilih. Jika diperinci berdasar generasi, kelompok generasi yang termasuk kaum muda adalah generasi Z (usia 17–24 tahun) sebanyak 46,8 juta pemilih (22,9 persen) dan generasi milenial (usia 25–39 tahun) dengan 68,8 juta pemilih (33,6 persen).
Demografi politik yang dominan tersebut menjadikan kaum muda sebagai pemegang narasi utama politik Indonesia. Kita menyaksikan ketiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden mencitrakan diri sebagai sosok yang paling dekat dengan anak muda. Baik itu melalui program yang dijanjikan, pakaian yang dikenakan, maupun kampanye serta platform media digital yang digunakan. Bahkan, juru bicara dari kaum muda dikerahkan.
Persoalannya adalah para kontestan pemilu kerap kali terjebak dalam gimik politik dan simplifikasi kaum muda sebagai sekadar etalase politik sehingga abai terhadap isu-isu krusial kaum muda. Akibatnya, politik tak lebih dari sekadar kontes kecantikan (beauty pageant) dengan kaum muda sebagai ”gincunya”.
Jalan Terjal
Menempatkan kaum muda sebagai etalase politik berarti memosisikannya sebagai sekadar pemilih (voter). Padahal, kaum muda adalah suara (voice) yang mewakili persoalan dan aspirasi generasinya serta yang menentukan arah masa depan bangsa.
Dengan kata lain, kaum muda adalah generasi penentu, tidak hanya menentukan keberlangsungan regenerasi kepemimpinan Indonesia pada pemilu mendatang, tetapi juga menentukan apakah Indonesia akan mencapai puncak keemasannya saat republik ini berusia 1 abad. Karena itu, penting bagi para kontestan pemilu mengarusutamakan politik gagasan yang mengetengahkan pelbagai solusi, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang, terhadap persoalan-persoalan kaum muda.
Simplikasi kaum muda justru berimplikasi pada tidak tersentuhnya persoalan kaum muda yang sesungguhnya. Ditambah lagi, para kontestan pemilu terbuai dengan citra kaum muda kelas menengah yang kreatif, inovatif, dan digital savvy.
Pandangan yang bias kelas ini mengabaikan persoalan-persoalan nyata keseharian yang dihadapi kaum muda kelas bawah di perkotaan dan pedesaan yang jumlahnya jauh lebih banyak. Mereka bergumul dengan persoalan kemiskinan, minimnya lapangan pekerjaan, serta terbatasnya akses pendidikan bermutu dan layanan kesehatan berkualitas.
Temuan survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 8–13 Agustus 2022 bertajuk Pemilih Muda dan Pemilu 2024: Dinamika dan Preferensi Sosial Politik Pascapandemi mengafirmasi persoalan-persoalan tersebut.
Dalam survei itu, isu-isu strategis yang banyak menjadi perhatian kaum muda, antara lain, tingginya harga sembako (32,4 %); terbatasnya lapangan pekerjaan (28,2 %); tingginya angka kemiskinan (11,7 %); layanan dan biaya kesehatan yang mahal (7 %); serta pelayanan dan kualitas pendidikan yang buruk (5,7 %).
Persoalan-persoalan lainnya yang juga dihadapi kaum muda adalah perubahan iklim dan kesehatan mental.
Pada aspek ketenagakerjaan, data Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemenaker RI) menunjukkan bahwa mayoritas penganggur adalah kelompok usia muda (20–39 tahun), yakni sebanyak 5 juta orang dari 7,9 juta orang pada Februari 2023. Jika ditelisik lebih mendalam, akar persoalannya adalah ketidaksejahteraan, yang melahirkan persoalan-persoalan turunan lainnya seperti keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas serta kehidupan yang layak.
Mengatasi persoalan-persoalan tersebut mengharuskan solusi-solusi struktural. Yaitu, intervensi negara, baik itu melalui kemauan politik (political will) maupun kebijakan afirmasi, di mana kaum muda terlibat aktif di dalamnya dan bukan sekadar etalase politik. Masalahnya adalah kebijakan-kebijakan strategis ditentukan posisi politik yang strategis di mana kaum muda memiliki persoalan tersendiri, yakni hambatan politik (political barrier issue).
Setidaknya ada tiga kondisi yang menghambat kaum muda di dunia politik. Pertama, biaya politik yang sangat mahal (high cost politics) sehingga dunia politik menjadi eksklusif bagi kalangan ekonomi tertentu. Kedua, citra politik di publik yang cenderung negatif membuat kaum muda enggan terlibat di dalamnya.
Ketiga, batasan minimal umur untuk menempati jabatan politik yang tidak ramah kaum muda seperti batas minimal umur anggota legislatif di semua tingkatan, kepala daerah, serta presiden dan wakil presiden. Padahal, ketika memiliki hak untuk memilih pejabat publik (elected official), seseorang seharusnya memiliki hak untuk dipilih sebagai pejabat publik.
Hambatan-hambatan politik tersebut mengakibatkan regenerasi politik di Indonesia tersendat. Menurut Economist Intelligence Unit Democracy Index 2022, rata-rata usia anggota parlemen di Indonesia adalah 51,6 tahun dan menempatkan Indonesia di urutan ke-101 dari 147 negara dalam regenerasi politik. Kondisi ini sangatlah memprihatinkan, mengingat kaum muda senantiasa menjadi tonggak perjalanan bangsa Indonesia.
Arus Balik
Benedict Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944–1946 (2018) menempatkan kaum muda sebagai kelompok generasi yang sangat menentukan dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia di masa awal revolusi.
Jauh sebelum itu, kaum muda terlibat dalam momen politik penting pergerakan dan persatuan nasional, mulai angkatan 1908 hingga angkatan 1928 yang mencetuskan Sumpah Pemuda. Bahkan, kaum muda proaktif dalam mengisi tahun-tahun setelah kemerdekaan hingga hari ini.
Berdasar babakan sejarah di atas, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa genetika kaum muda Indonesia adalah melek politik. Sayangnya, dalam beberapa dekade terakhir, politik Indonesia memunggungi kaum muda sehingga genetika politik ini perlahan memudar.
Karena itu, dengan demografi politik yang besar, Pemilu 2024 menjadi satu babakan politik penting bagi kaum muda untuk melakukan arus balik politik; dari sekadar etalase menjadi aktor politik utama.
Dalam Pemilu 2024, kaum muda harus betul-betul menjadi penentu dan pemegang narasi utama politik Indonesia dengan memilih pemimpin di semua tingkatan yang mampu menjawab persoalan-persoalan kaum muda dan mengurai hambatan-hambatan politik yang selama ini menjauhkan kaum muda dari politik. (*)
*) RAIHAN ARIATAMA, Ketua umum PB HMI periode 2021–2023