Site icon Prokalteng

Menakar Dampak Putusan MKMK

Ucu Martanto

TIDAK berlebihan bila Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie mengilustrasikan putusan MKMK sangat ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia. Utamanya para peserta pemilu dan pemilih.

Sebab, putusan itu terkait dengan kepastian hukum penyelenggaraan Pilpres 2024. Namun, apakah pemberhentian Anwar Usman sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK) berdampak pada konstelasi calon presiden-wakil presiden? Dan, lebih jauh lagi, jalannya konsolidasi demokrasi di Indonesia?

Putusan MKMK, tampaknya, hendak melindungi marwah MK dan menjaga kepercayaan publik, kendati para hakim MKMK sadar betapa keroposnya praktik dan tidak terjaganya etika para hakim MK. Langkah itu tentunya tidak akan mengubah putusan perkara No 90/PUU-XXI/2023 yang telah dan akan menjadi headline media massa serta perdebatan publik tentang kondisi defisit demokrasi di Indonesia.

Konsolidasi Demokrasi

Setidaknya dua hal substansial terkait wajah demokrasi di Indonesia yang tersibak oleh putusan MKMK. Pertama, putusan ini secara tidak langsung mengafirmasi praktek buruk para hakim melanggar Sapta Karsa Utama (Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi).

Jika kasus Anwar Usman adalah skandal dalam tubuh MK kontemporer, maka ini bukanlah yang pertama. Hakim MK pernah dilaporkan terkait dugaan pemalsuan putusan. Dan, yang lebih menyakitkan publik adalah skandal korupsi yang menjerat Ketua MK Akil Mochtar tahun 2014 dan Patrialis Akbar tahun 2017.

Serial gelombang transisi demokrasi sejak 1945 yang menyapu negara-negara komunis, penguasa militer, dan otoriter di berbagai belahan dunia selalu melahirkan constitutional court/mahkamah konstitusi sebagai institusi signifikan dalam memandu demokratisasi.

Perannya tertuang dalam argumentasi Linz dan Stepan (1996) tentang salah satu dari tiga karakteristik demokrasi yang terkonsolidasi adalah penyelesaian konflik politik berdasarkan hukum, prosedur, dan lembaga spesifik, yaitu Mahkamah Konstitusi.

Meskipun keberadaannya tidak serta-merta mengantarkan pada demokrasi yang mapan, potensinya penting dalam menyangga proses transisi dan konsolidasi rezim demokratik (Horowitz, 2009). Pada kasus Indonesia, sejak diundangkan, Mietzner (2010) bahkan optimistis kehadiran MK sebagai penjaga konstitusi telah berkerja signifikan dalam penyelesaian konflik politik dan menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi yang stabil di Asia Tenggara.

Sebagai anak kandung reformasi yang bertujuan memastikan rute transisi demokrasi Indonesia pada jalurnya, diam-diam ternyata MK telah dibajak. Para hakim sepertinya tidak mampu berdiri tegak lepas dari pengaruh kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Mentalitas aktivisme yang semestinya memedomani hakim dalam memutus perkara tergantikan dengan pragmatisme berbumbu keuntungan material.

Kedaulatan Pemilih

Dampak kedua dari putusan MKMK tentunya berhubungan dengan pilihan politik pemilih. Putusan ini telah menjadi sorotan dan akan terus menggaung sepanjang penyelenggaraan Pilpres 2024. Sulit untuk membangun argumentasi yang menegasikan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto adalah buah campur tangan penguasa melalui hakim-hakim MK yang tergadai etikanya. Ini adalah fakta keras yang sulit terbantahkan.

Sungguhpun Ketua MKMK menyarankan jika putusan perkara No 90/PUU-XXI/2023 dibatalkan dan baru berlaku pada pemilu 2029. Namun, persepsi dan idealisme pemilih (pemula) sudah terbentuk sedari awal dan akan semakin mengkristal saat masa pencoblosan.

Mengikuti alur logika yang sehat, hampir dipastikan, kontestan lain mendapat celah untuk menggerus pemilih Prabowo-Gibran dengan mengamplifikasi fakta ini sebagai materi kampanye untuk mendapatkan suara pemilih. Suka atau tidak, opini publik yang berkembang Jokowi sebagai figur yang disangkutpautkan pada skandal ini.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan batas atas akhir pergantian calon pasangan presiden-wakil presiden pada 8 November 2023. Apakah koalisi partai politik pengusung Prabowo-Gibran mau memanfaatkan 1 hari pasca putusan MKMK dengan mendaftarkan pengganti Gibran, atau tetap percaya diri bertahan melawan logika dan hati nurani publik? Tampaknya opsi terakhir yang dipilih kubu Prabowo, walaupun langkah mendaftarkan pasangan pengganti tentu dapat meminimalkan gerusan suara pemilihnya.

Damage has been done, nasi sudah menjadi bubur. Bola panasnya kini ada di MK dan Presiden Jokowi. Kita menantikan hasil putusan para hakim MK atas perkara No 141/PUU-XXI/2023, apakah membatalkan putusan kontroversial sebelumnya atau sebaliknya. Selanjutnya, apakah Presiden Jokowi masih peka terhadap kondisi defisit demokrasi, atau justru sibuk menambalnya dengan permufakatan baru di lingkaran elite partai politik.

Lepas daripada itu, reformasi desain kelembagaan dan yang terpenting, proses rekuitmen hakim-hakim MK, harus segera dilakukan untuk memastikan perannya dalam pembangunan demokrasi di Indonesia lebih maksimal. Jangan sampai kepercayaan publik terhadap MK semakin terpuruk lantaran MK gagal membuat putusan adil dan demokratis untuk kasus-kasus konflik politik sepanjang gelaran Pemilu 2024 nanti. Pertaruhan kali ini adalah wajah demokrasi kita.

*) UCU MARTANTO, Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga, penerima beasiswa LPDP doktoral di University of Melbourne

Exit mobile version