Apa yang terjadi di kalangan elite seolah menegaskan bahwa kondisi bangsa ini benar-benar sedang tidak baik-baik saja. Sejumlah peristiwa menggambarkan hal itu. Sekadar menyebut contoh, dugaan korupsi Pertamina (Rp 193,7 triliun), tata niaga timah (Rp 300 triliun), PT Asabri (Rp 22,7 triliun), PT Jiwasraya (Rp 16,8 triliun), hingga ekspor minyak sawit mentah (Rp 12 triliun). Mungkin saja masih tersembunyi peristiwa lain yang belum terungkap.
Dari perspektif numericalyang diduga dan merugikan negara, angkanya besar-besar. Sulit diterima akal sehat apabila peristiwa tersebut tidak melibatkan orang besar (elite). Sebab, orang-orang kecil (alit) berpikirnya sederhana, cukup sanggup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Gas tersedia, kuat bayar listrik, harga sembako terjangkau, dan remeh-temeh lainnya. Sesederhana itu.
Mengamati peristiwa akhir-akhir ini, negara yang rugi karena ulah anak negeri, ingatan terbang pada apa yang pernah disampaikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).Negara diiktibarkan sebagai lumbung besar. Namun, lumbung besar itu dikerubungi tikus-tikus besar dan kecil yang jumlahnya melampaui kebesaran lumbung itu sendiri. Isi lumbung itu pun menjadi tidak seimbang sebagai lumbung pangan dibandingkan lumbung yang dipangantikus-tikus besar dan kecil dalam jumlah yang sangat banyak.
Kenyataan itutidak sekadar melambangkan keserakahan individu atau kelompok. Peristiwa tersebut menunjukkan terjadinya wabah dari sebuah penyakit kolosal, kleptomania. Kaum alit dalam hidup yang nestapa tidak berkeberatan apabila para elite kaya. Namun, ya jangan kayak gitu.
Begitu meluasnya wabah kleptomania itu, kaum alit kadang trauma menjadi penduduk negeri ini. Doa-doa yang dilantunkan agar republik ini menjadi negeri yang baldatunthayyibatunwarabbunghafur(gemah ripah loh jinawi) dirasa jauh dari kenyataan. Misalnya, sejumlah remaja membuat #KaburAjaDulu sebagai ekspresi anak negeri yang worrydi tengah tidak adanya kepastian masa depan di negeri sendiri.
Sayang, sikap itu kemudian dimaknai berbeda oleh salah satu elite:’’Silakan kabur. Kalau perlu, jangan pulang sekalian.’’Orang yang berjiwa besar biasanya tidak mengatakan hal yang bermakna kecil.
Ada pula orang yang lebih elite berpidato di panggung kebesaran. Lalu dari atas podium misuh atau menarasikan frase yang tidak seharusnya berkumandang dari situ. Sementara dari podium yang lain, para dai mengingatkan pentingnya berbuat baik dan berkata santun.
Orangtua pun tidak boleh menjejalkan matrikulasi yang sumer. Peristiwa tersebut juga mengagetkan warga republiken dengan meyakini bahwa negeri ini pantas diduga tidak saja mengajarkan kekerasan economic, tetapi juga membumikan anarkisme-linguistik.
Nasib Bangsa
Alitsaat ini berada dalam posisi linglung merenungi nasib bangsanya sendiri. Rakyat, yang sebagian berada di pinggir laut, belajar hermeunetika alam. Mereka belajar menghafal nama-nama ikan. Tetapi, nama-nama ikan yang mereka hafal itu kemudian jarang ditemui karena ditangkap pihak asing yang masuk ke perairan Indonesia secara ilegal.
Alit juga memahami bahwa aroma busuk ikan biasanya dimulai dari kepala. Mereka juga belajar nama-nama pohon. Namun, pohonnya sebagian tumbang (ditumbangkan) dan diangkut ke luar negeri dalam niaga gelap.
Tidak hanya itu, alit juga belajar geografi di mana negeri ini memiliki banyak pulau. Namun, sekali lagi, sebagian pulau tersebut digerus, diangkut, dan dijadikan bahan untuk reklamasi negeri tetangga.
Padahal, dalam hukum arbitrase, cara mengukur teritori lautan sebuah negara dimulai dari daratannya. Makin luas daratan sebuah negara, makin jauh jangkauan lautan yang dimiliki negara itu.
Indonesia hadir dalam praktik-praktik itu, terutama dugaan hilangnya pulau di Kepri untuk dipersembahkan ke Negeri Singa. Pemerintah tidak mungkin melakukan itu karena yang bisa melaksanakannya hanya oknum elite. Sebab, tidak mungkin pulau berenang sendiri dan bersandar di negeri tetangga.
Kaum elite lainnya menggergaji bukit dan gunung. Kemudian mereka menanam hutan-hutan beton yang apabila musim hujan tiba, para alit di sekitar bukit dan gunung menerima kiriman banjir dan longsor. Belum lagi penggalian lahan dan tambang,baik di darat maupun laut.
Indonesia oleh Grand Syeikh Al Azhar Mahmud Syaltut (Mesir) pada 1961 disebut qit’athun minal Jannah (potongan surga) karena alam yang indah dan santun dalam peradaban. Namun, kini ketika deforestasi merajalela, saat pantai dijadikan sesajen para elite, masihkah negeri ini disebut potongan surga?Atau surga yang terpotong-potong?
Sebagai catatan akhir, alit tetap mendoakan bangsa ini. Berharap presiden sehat, panjang umur, dan bijak memimpin negeri. Selebihnya, alit memberikan informasi bahwa rakyat di lapis bawah mengalami kesulitan ekonomi. Pengangguran makin menganga dan PHK karyawan merajalela.
Pidato presiden menggelegar, menumbuhkan semangat nasionalisme dan patriotisme. Tetapi, presiden tidak bisa bekerja sendiri untuk Indonesia Raya. Butuh pembantu dan orang-orang yang setia pada negeri. Presiden pasti memahami perbedaan antara orang saleh dan orang yang salah. (*)
*) ABRARI ALZAEL, Budayawan; kandidat doktor psikologi Universitas Negeri Malang