Oleh: Irna Dwi Wahyuni*
TAHUN 2024, sekitar 180.000 aparatur sipil negara (ASN) memasuki masa pensiun. Hingga Oktober 2025, Badan Kepegawaian Negara (BKN) kembali menerima 140.781 usul pensiun dari berbagai instansi.
Lonjakan beruntun ini menunjukkan bahwa gelombang pensiun dua tahun terakhir bukan lagi rutinitas tahunan, melainkan pergeseran demografis besar yang mulai mengubah lanskap aparatur negara.
Pada saat yang sama belum ada kepastian mengenai rekrutmen ASN 2025. Pengangkatan CASN 2024 pun belum sepenuhnya tuntas. Kalender hampir menutup tahun tanpa tanda-tanda formasi baru. Praktis, sudah dua tahun birokrasi tanpa regenerasi. Di banyak instansi, kekosongan kian terasa. Pegawai pensiun pergi, tetapi pekerjaannya tetap tinggal, menumpuk pada mereka yang masih bertahan.
Ketimpangan inilah yang memunculkan konsekuensi serius. Jumlah pegawai menyusut, beban kerja meningkat (workload pressure), dan risiko burnout kian menguat. Bagi birokrasi, ini bukan sekadar persoalan internal manajemen kepegawaian, tetapi ancaman terhadap kualitas layanan publik dan stabilitas agenda reformasi birokrasi.
Defisit SDM kini menjalar di sektor-sektor pelayanan vital, seperti kantor dinas kependudukan, sekolah negeri, rumah sakit daerah, hingga puskesmas. Pegawai teknis yang pensiun sering kali tidak segera tergantikan. Akibatnya, sebagian ASN harus merangkap dua hingga tiga peran sekaligus, contohnya guru yang merangkap tugas administrasi, tenaga kesehatan yang harus mengisi berlapis-lapis pelaporan, atau staf teknis yang sekaligus memegang fungsi perencanaan.
Dalam banyak kasus, seorang pegawai kini menangani sejumlah aplikasi pelaporan, menghadiri rapat berlapis, memenuhi target administratif yang semakin rinci, dan tetap diminta menghadirkan inovasi pelayanan. Situasi seperti ini pelan-pelan mengikis fokus dan ketahanan mental. Kesalahan meningkat, kualitas layanan menurun, dan gejala burnout semakin terlihat.
Menurut job demand–resource model (Bakker & Demerouti, 2007), ketidakseimbangan antara tingginya tuntutan kerja dan minimnya dukungan organisasi menciptakan stres kronis yang berujung pada burnout.
Dalam konteks ASN, gejalanya tampak dari meningkatnya absensi, menurunnya motivasi, hingga munculnya dorongan untuk berpindah instansi atau bahkan meninggalkan sektor publik.
Burnout bukan persoalan personal, ia adalah persoalan negara. ASN yang kelelahan tidak dapat menjalankan perannya sebagai pelaksana kebijakan publik secara efektif. Dalam jangka panjang, kualitas tata kelola terancam menurun, dan agenda reformasi kehilangan pijakan.
Pemerintah tengah mendorong transformasi digital, penyederhanaan struktur, dan penguatan jabatan fungsional. Namun ketiga agenda besar tersebut tidak dapat berjalan di atas fondasi organisasi yang keropos. Reformasi membutuhkan energi—energi yang sulit muncul dari birokrasi yang kelelahan.
Transformasi digital, misalnya, tidak cukup didorong oleh aplikasi atau sistem baru. Ia memerlukan pegawai yang memiliki waktu dan kapasitas untuk belajar, memahami kembali
proses kerja, serta mengintegrasikan teknologi ke dalam pelaksanaan tugas. Ketika pegawai tersandera pekerjaan rutin yang menumpuk, tuntutan untuk berinovasi menjadi sulit, bahkan tidak realistis.
Demikian pula penyederhanaan struktur jabatan. Alih-alih menciptakan birokrasi yang lebih lincah, tanpa keseimbangan beban kerja, penyederhanaan berpotensi berubah menjadi pemadatan tugas tanpa batas. Pegawai yang tersisa menanggung pekerjaan yang seharusnya dibagi rata dalam struktur organisasi yang sehat.
Burnout ASN dapat menjadi paradoks reformasi birokrasi jika tidak diantisipasi. Pemerintah menuntut percepatan kinerja, tetapi ASN justru kehilangan kapasitas untuk memenuhi ekspektasi tersebut karena kelelahan sistemik.
Melalui Peraturan Menteri PANRB Nomor 4 Tahun 2025, pemerintah mulai mengatur pelaksanaan tugas kedinasan ASN yang lebih fleksibel dan berbasis output. Aturan ini membuka peluang bagi instansi untuk mengelola pekerjaan dengan cara yang lebih adaptif, baik melalui pengaturan lokasi kerja maupun pengukuran kinerja yang lebih efisien.
Fleksibilitas semacam ini dapat menjadi penyangga awal untuk menjaga kesehatan mental pegawai, mengurangi kelelahan administratif, dan memberikan ruang bernapas bagi para ASN yang selama ini dibebani sejumlah pekerjaan berlebih.
Namun fleksibilitas tidak dapat berdiri sendiri. Ia hanya efektif bila dibarengi dengan rasionalisasi beban kerja dan pemenuhan kebutuhan SDM yang memadai.
Di sisi lain, survei Workplace Wellbeing Score Indonesia 2025 menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan mental pekerja Indonesia hanya 50,98%. Artinya berada di bawah rata-rata global 58,62%. Angka ini memberi sinyal bahwa isu burnout bukan ancaman laten, melainkan kenyataan yang telah hadir di ruang kerja kita termasuk di birokrasi.
Krisis burnout ASN seharusnya dibaca sebagai momentum untuk memperbaiki fondasi manajemen SDM negara. Setidaknya, ada tiga langkah penting yang perlu segera diambil.
Pertama, percepatan rekrutmen berbasis proyeksi demografi pensiun. Perencanaan kebutuhan ASN tidak dapat terus dilakukan dari tahun ke tahun tanpa mempertimbangkan tren usia dan gelombang pensiun. Tanpa perencanaan prediktif, kekosongan pegawai akan terus berulang.
Kedua, memperkuat manajemen kesejahteraan pegawai. Dukungan psikologis, konseling, fleksibilitas kerja berbasis kinerja, serta pelatihan manajemen stres perlu menjadi kebijakan institusional. Di era digital, pengukuran kinerja tidak harus bergantung pada kehadiran fisik.
Ketiga, mempercepat digitalisasi yang benar-benar memangkas pekerjaan administratif. Otomatisasi yang efektif memungkinkan ASN memusatkan energi pada fungsi pelayanan, analisis, dan pengambilan keputusan. Tanpa reduksi beban administratif, digitalisasi justru berisiko memperbanyak aplikasi dan laporan tanpa nilai tambah.
Pada akhirnya, birokrasi yang sehat adalah prasyarat negara yang tangguh. Jika gelombang pensiun dibiarkan tanpa antisipasi, sementara rekrutmen terus tertunda dan beban kerja kian menumpuk, burnout akan menjadi bayang-bayang permanen dalam tubuh aparatur negara.
Dampaknya bukan hanya dirasakan pegawai, tetapi langsung menyentuh kualitas layanan publik yang menjadi hak warga. Regenerasi ASN karena itu bukan sekadar urusan
administrasi kepegawaian, melainkan keputusan strategis yang menentukan apakah negara mampu menjaga daya tahan pemerintahannya di tengah perubahan zaman.
*) Irna Dwi Wahyuni, mahasiswa Magister Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.


