Sejak
awal Februari 2019, dr Theodorus Sapta Atmadja MM yang sehari-hari menjabat
Wakil Direktur Pendidikan dan Kemitraan RSUD dr Doris Sylvanus Palangka Raya
menyambi jualan makanan ringan Bajenta. Ada apa dengan dokter kelahiran Jakarta,
1971 silam itu? Berikut penuturannya kepada Kalteng Pos saat ditemui di rumah
sakit setempat.
MOHAMMAD ISMAIL,
Palangka Raya
AWALNYA ide ini
muncul saat menemui pasien tak mampu yang mengalami kelainan jantung bawaan
yang harus dirujuk ke Jakarta pada 2014 lalu.
Biaya pengobatan memang ditanggung oleh pemerintah melalui BPJS
Kesehatan. Akan tetapi, biaya transportasi, akomodasi, dan biaya hidup ditanggung
sendiri.
“Kami saat itu dari
RSUD berhasil mengumpulkan donasi untuk membantu pasien tersebut. Akhirnya
pasien bisa berangkat ke RS Harapan Kita Jakarta untuk berobat selama sekitar tiga
bulan. Setelah dilakukan operasi dan kontrol di poliklinik RS Harapan Kita, akhirnya
pasien itu dinyatakan sembuh. Kemudian pulang ke Palangka Raya,†ujar dr
Theodorus Sapta Atmadja MM saat ditemui, Rabu (25/9).
Ternyata tak
berhenti pada pasien itu. Sebab, kian hari jumlah pasien tidak mampu dan
meminta bantuan kian bertambah.
BPJS Kesehatan
memang membiayai biaya perawatan yang sesuai hak kelas perawatannya. Namun, selama
menjalani perawatan, selain biaya pengobatan, pasien perlu memikirkan biaya
transportasi, akomodasi, dan biaya hidup selama pengobatan itu.
Dokter Theo pun
berpikir bahwa masyarakat pasti akan bosan jika terus diminta sumbangan. Lalu
muncullah ide kreatif untuk berjualan. Dibantu oleh lima orang stafnya, sejak
awal Februari 2019, mereka mengenalkan makanan ringan yang diberi nama Bajenta.
Kata Bajenta
diambil dari moto RSUD dr Doris Sylvanus, yaitu Banjeta Bajorah yang berarti memberikan
pelayanan dan pertolongan kepada semua orang dengan ramah tamah, tulus hati,
dan kasih sayang. Makanan ringan Bajenta ini terdiri atas berbagai jenis. Di antaranya,
keripik pisang, keripik singkong, stik keju, kembang goyang, rempenyek,
semprong, dan lainnya.
“Misalnya, untuk
membantu seorang pasien perlu dana jutaan rupiah, sementara di dompetnya Pak
Ismail hanya ada Rp15 ribu, mungkin malu untuk menyumbang. Tapi kalau kita
tawarkan keripik seharga Rp15 ribu, tentunya Pak Ismail kemungkinan besar mau
untuk membeli,†ujar dr Theo memberikan contoh.
Melalui pembelian
makanan ringan tersebut, secara tak langsung masyarakat sudah membantu sesamanya
yang membutuhkan pertolongan, karena hasil penjualan itu dipergunakan untuk
membantu pasien-pasien tak mampu.
Menurut dr Theo,
sudah cukup banyak orang yang akhirnya membeli makanan ringan ini dengan tujuan
untuk donasi.
“Terkadang
saya turun tangan langsung untuk berjualan. Namun karena kesibukan saya,
tentunya staf saya yang lebih banyak mengelolanya di sela-sela menjalankan tugas
pokoknya. Mulai dari memesan, menjual, mempromosikan, dan administrasinya,”
ujar dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya Jakarta itu.
Usaha penjualan
makanan ringan ini, ternyata bukan hanya membantu pasien tak mampu yang membutuhkan
dana, tapi juga membantu para pembuat makanan ringan tersebut. Sebab, kelompok ibu-ibu
yang mengelola makanan ringan itu, tujuh di antaranya berstatus janda. Secara tak
langsung membantu menyokong perekonomian mereka.
Terhitung sejak
2014 lalu, sekitar sepuluh pasien yang telah terbantu untuk biaya pengobatan di
luar Kalimantan Tengah. Dikisahkan dr Theo, dua bulan lalu ada pasien kelainan
jantung bawaan yang dirujuk dari salah satu kabupaten. Dengan modal yang
didapatkan dari berjualan Bajenta, biaya hidup pasien selama berobat di Jakarta
bisa ditangani. Kebetulan, lanjut dr Theo, saat itu ada seorang donatur yang
membantu biaya tiket sang pasien menuju Jakarta. Pihaknya pun berterima kasih
dan bersyukur karena masih ada orang yang peduli dengan penderitaan sesama.
“Sekarang ini ada
pasien kelainan jantung bawaan yang dirawat di ruang Flamboyan. Dia meminta
bantuan kepada kami. Saya bilang; ibu berusaha, kami berusaha. Dengan begitu, beban
ibu tidak terlampau berat,†ujar pria yang pernah ikut dalam misi kemanusian di
Wamena, Irian Jaya tahun 1998 dan di Sampit tahun 2001.
Selain membantu
biaya transportasi dan akomodasi pasien yang dirujuk ke luar Kalimantan Tengah,
pihaknya juga membantu pemakaman bagi pasien tak mampu yang meninggal dunia. Selain
itu, juga membantu kebutuhan pasien tak mampu, seperti untuk membeli pampers,
susu, dan lainnya.
Dikatakn dr Theo,
sejauh ini sudah sekitar lima pasien meninggal yang dibantu pihaknya untuk biaya
dan proses pemakaman.
“Dalam membantu,
kami tidak memandang suku dan agama.” tutur dokter yang akrab dengan media
ini.
Tak jarang RSUD dr
Doris Sylvanus menerima pasien yang tak ada keluarganya. Ketika yang
bersangkutan meninggal dunia, otomatis menimbulkan persoalan terkait pemakaman.
Melalui dana donasi yang terkumpul itulah, pemakaman pasien tanpa keluarga itu
bisa dibiayai.
“Jadi, selain menjalankan
fungsi pelayanan dan pendidikan, RSUD dr Doris Sylvanus juga memiliki fungsi
sosial. Di sinilah pemerintah hadir untuk membantu masyarakat yang tidak
mampu,†tutup dr Theo. (*/ce)