28.9 C
Jakarta
Monday, November 25, 2024

Kadang Sedih, Tak Bisa Sering Menggendong Anak

Terlahir menjadi
perempuan dengan keindahan yang Tuhan berikan. Perempuan memiliki banyak
keistimewaan. Salah satunya adalah kasih sayang yang luar biasa. Terkhusus,
ketika telah menjadi seorang ibu. Berikut ini sedikit kisah cerita hidup
seorang ibu disabilitas di Kota Cantik.

ANISA
B WAHDAH,
Palangka Raya

MEMILIKI buah hati
adalah anugerah Tuhan yang paling didambakan oleh setiap pasangan suami istri
(pasutri). Merawat dan membesarkan titipan Tuhan itu dengan penuh kasih sayang.
Tanpa keluah kesah. Tanpa imbalan. Tanpa pamrih.

Meski dengan kekurangan
dan keterbatasan, tidak sedikit pun seorang ibu merasa lelah dalam mengasuh dan
membesarkan seorang anak. Kasih sayangnya tak akan berkurang. Entah seberapa
banyak butiran keringat yang sudah diteteskan untuk anak-anak dan keluarganya.
Seberapa lama matanya terbuka hanya untuk memastikan buah hati dan keluarganya baik-baik
saja. Tak mampu disebutkan pengorbanannya.

Terbayang tidak?
Seorang perempuan dengan kekurangan dan keterbatasan fisik, mampu melahirkan,
membesarkan, bahkan membantu menyokong perekonomian keluarga. Sungguh, seorang ibu
bukan hanya sosok perempuan yang memiliki banyak keistimewaan, tapi juga
ketangguhan.

Jumat (20/12), penulis mendapati
dua sepeda motor yang didesain memiliki bak sebelah kiri. Sepeda motor itu sudah
dimodifikasi, hingga tampak jauh dari bentuk aslinya. Dua sepeda motor itu
diparkir rapi pada salah satu rumah di Jalan Krakatau, Palangka Raya. Hari itu
saya (penulis) memiliki waktu untuk menyambangi rumah yang memiliki dua pintu
itu.

Tak lama berselang, perempuan
berparas ayu keluar dari balik pintu. Berjalan ngesot. Senyumnya manis dengan
bibir merah dan berambut tebal. Poni menutupi dahinya. Mempercantik paras. Saya
merasa tak asing dengan wajah itu. Betul, ternyata ia adalah perempuan yang
sering terlihat saat car free day (CFD) di Bundaran Besar, Kota Palangka Raya.

“Mbak yang sering
berjualan di Bundaran Besar saat CFD setiap hari Minggu?” tanya saya menyapa sekaligus
ingin memastikan yang dilihat adalah benar.

“Iya, setiap Minggu saya
berjualan di CFD, berjualan ini,” jawabnya sembari menunjukkan tumpukan
dagangan yang tersusun rapi di ruang yang tak disekat, yang hanya terhalang
tirai membentuk persegi sekira berukuran lima meter.

Namanya Rina
Karismawati. Ia merupakan perempuan tunadaksa. Ia menjadi penyandang
disabilitas beberapa tahun lalu, saat masih duduk di bangku kelas dua sekolah
menengah pertama (SMP). Padahal, awalnya ia terlahir normal. Namun, takdir berkata
lain. Secara perlahan kaki dan tangannya mengalami pelemahan, hingga akhirnya
ia mengalami kelumpuhan, sebelum sempat menikmati pendidikan di sekolah
menengah atas (SMA).

“Saya terlahir normal,
bisa jalan sejak kecil seperti anak-anak pada umunya. Namun, saat akhir SMP
saya dinyatakan terkena polio. Saya tidak melanjutkan pendidikan ke SMA karena
kondisi yang tidak memungkinkan,” kisah Rina.

Rina pun terpaksa menempuh
pendidikan di sekolah rehabilitasi pada salah satu lembaga di Solo, Jawa Tengah
(Jateng). Harapannya, di lembaga tersebut ia akan kembali menemukan masa depan
yang diidam-idamkannya sebagai seorang perempuan remaja. Sebab, ia sempat putus
asa saat mengetahui kondisinya yang tak mampu lagi berjalan.

Baca Juga :  Saat Air Sungai Jelai Menjadi Hijau, Petambak Terancam Gulung Tikar

“Saya masuk di sekolah
rehabilitasi pada 2001 lalu. Selain tujuan utama untuk rehabilitasi dengan
mengharapkan kesembuhan, di lembaga itu juga diberikan pelatihan kerajinan,
seperti merajut dan lainnya,” kata perempuan yang lahir 23 Maret 1984.

Pada 2003, ia pergi ke
salah satu yayasan khusus disabilitas di Yogyakarta untuk mengembangkan
keterampilan. Satu tahun kemudian ia kembali ke Solo, dengan tujuan silaturahmi
ke lembaga rehabilitasinya. Di situlah ia bertemu pria tunadaksa asal
Banjarmasin.

“Kebetulan saat itu mas
Hamsi (suaminya, red) sedang pelatihan di lembaga rehabilitasi. Kami bertemu
dan saling kenal. Ternyata jodoh. Kami pun memutuskan menikah di kampung
halaman saya, Kabupaten Boyolali,” ucapnya.

Waswas pun tentu ada. Dalam
keterbatasannya, terkadanga ia merasa pesimistis menjadi seorang ibu. “Apakah
saya bisa melahirkan dan mengurus anak dengan keterbatasan ini. Sempat sedih karena
tidak bisa menjadi ibu pada umumnya,” kata perempuan yang menikah pada 2006 lalu.

Tidak lama setelah
menikah, Tuhan menitipkan seorang putra melalui rahimnya. Sebagai penyandang disabilitas,
masa-masa mengandung pun tak mudah dilalui. Jika tak hati-hati, bisa saja
mengancam nyawa buah hati dalam kandungannya.

“Saya mencoba
menggunakan tongkat untuk berjalan. Sempat terjatuh saat kondisi hamil besar,” tuturnya.

“Ya, susah. Ibu hamil yang
fisiknya normal saja masih kesusahan, apalagi saya yang jalan saja mengesot,” tambahnya.

Namun, berkat
kesabarannya, segala kesulitan itu mampu dilewatinya. Ia mampu melahirkan
anaknya dengan selamat dan sehat. Bahkan kini ia telah dikarunia tiga anak.
Sungguh karunia Tuhan yang luar biasa.

Tak hanya saat
mengandung, perempuan 35 tahun ini juga mengaku terkadang kesulitan merawat
ketiga anaknya. Takut saat ingin menggendong. Padahal ia ingin menjadi layaknya
ibu pada umumnya, seperti menggendong atau mengajak anak-anaknya jalan-jalan.

“Tapi saya tidak bisa
melakukan itu. Kadang sedih karena tidak bisa sering menggendong anak. Tapi
bagaimana lagi? Saya harus mengajarkan anak saya untuk mandiri dan tidak
terbiasa dimanja saat kecil,” terlihat matanya mulai berkaca-kaca.

Anak pertamanya laki-laki.
Saat ini telah berusia 13 tahun. Anak kedua berusia delapan tahun dan si bungsu
belum genap berusia tiga tahun. Keduanya perempuan. Mereka tumbuh sehat dan pintar.
Bahkan anaknya yang pertama sering menjadi juara kelas.

“Saya bersyukur karena
anak-anak saya pintar. Merka tahu kondisi orang tuanya, jadi tidak bandel. Bahkan
sering bantu saya. Anak-anak adalah harapan kami ke depan. Siapa lagi yang akan
menjaga kami jika bukan mereka?” bebernya.

Sejak menikah mereka
memilih tinggal di Boyolali. Namun, pada 2013 lalu, mereka memutuskan pulang ke
kampung halaman sang suami, yakni di Kota Banjarmasin. Karena penghasilan tak
begitu mencukupi kebutuhan hidup keluarga, mereka pun memutuskan pindah ke Kota
Palangka Raya dan berjualan koran.

Baca Juga :  Cerita Perempuan Tangguh dari Sisi Maskulin

“Suami saya jual koran
sejak masih di Boyolali dan di Banjarmasin. Alhamdulillah di Palangka Raya ini hasilnya
lebih baik daripada sebelum-sebelumnya,” ujarnya.

Ditambah lagi, saat ini
Rina juga membantu suamiya bekerja menambah kebutuhan hidup. Ia memproduksi
camilan seperti kerupuk makaroni, kacang bawang, dan kacang merah goreng. Dipasarkan
sembari menjual koran di pertigaan rambu-rambu lalu lintas Jalan Ahmad Yani,
tepatnya di depan kantor PDAM dan di depan kantor Dinas Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang (PUPR) Kalteng.

“Kalau saat CFD hari
Minggu, saya serta tiga anak ikut berjualan di Bundaran Besar,” kata istri
atlet angkat besi ini.

Dagangan yang dijual
hasil produksi keduanya. Terkadang Rani harus menggoreng sendiri, jika suami sedang
sibuk. Sebagai penyandang disabilitas, perempuan ramah ini ingin membuktikan
bahwa disabilitas tidak hanya berpangku tangan. Disabilitas bukan golongan yang
harus dibedakan dengan dalih tidak sempurna seperti orang pada umumnya.

“Saya membantu suami
untuk menambah penghasilan. Selain itu, saya juga ingin membuktikan bahwa
disabilitas itu bisa. Kami memang memiliki kekurangan fisik, tetapi kami
buktikan bahwa kami bisa seperti orang yang berfisik normal,” ucapnya dengan
semangat.

Prinsip inilah yang
selalu ia tanamkan dalam hati. Kekurangan tidak menjadikan alasa baginya untuk
mengharapkan belas kasihan orang. Justru sebaliknya. Ia ingin membuat orang
normal berpikir bahwa mereka juga bisa. “Apalagi saat ini saya dan suami saya
jauh dari keluarga besar. Kami ingin membuktikan kepada keluarga dan
orang-orang bahwa saya dan suami saya bisa mandiri,” tegas Rina.

Kepala Bidang
Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial (Dinsos) Kalteng, Nonsihai
mengatakan, selama ini Dinsos Kalteng juga memiliki program bagi disabilitas, baik
dari kementerian maupun pemerintah daerah (pemda). Sebagai contoh, pemberian
bantuan modal usaha kepada disabilitas yang masih bisa bekerja, dan bantuan
tunai kepada disabilitas ganda.

“Disabilitas ganda itu
mereka memiliki cacat lebih dari satu dan tidak dapat mengembangkan diri,
bahkan untuk mengurus diri sendiri saja dia harus dibantu orang lain,” ucap
Nonsihai.

Sedangkan untuk
disabilitas yang masih memiliki kemampuan, diberikan modal usaha dan pembinaan
kerajinan. Kepada ibu-ibu disabilitas diberikan pembinaan seperti membuat
kerajinan tangan. “Kami juga memberikan sosialisasi kepada masyarakat berkenaan
dengan disabilitas,” pungkasnya.

Terpisah, Ketua
Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Kalteng, Samsiah mengatakan,
pihaknya sering memotivasi anggotanya agar tidak merasa bahwa disabilitas
adalah mahkluk yang tidak berharga. Khusus untuk ibu-ibu, milikilah semangat
hidup seperti ibu-ibu nondisabilitas.

“Jangan menyerah. Tugas
dan tanggung jawab ibu normal saja berat, apalagi ibu-ibu penyandang
disabilitas,” tegasnya.

Ibu sebagai salah satu pelindung dalam keluarga,
tempat kasih sayang suami dan anak-anak tercinta. Keluarga membutuhkan sosok perempuan,
membutuhkan ibu. “Ibu-ibu tetaplah bangga diri dan jadilah semangat bagi keluarga,”
pungkasnya. (*/ce/ala)

Terlahir menjadi
perempuan dengan keindahan yang Tuhan berikan. Perempuan memiliki banyak
keistimewaan. Salah satunya adalah kasih sayang yang luar biasa. Terkhusus,
ketika telah menjadi seorang ibu. Berikut ini sedikit kisah cerita hidup
seorang ibu disabilitas di Kota Cantik.

ANISA
B WAHDAH,
Palangka Raya

MEMILIKI buah hati
adalah anugerah Tuhan yang paling didambakan oleh setiap pasangan suami istri
(pasutri). Merawat dan membesarkan titipan Tuhan itu dengan penuh kasih sayang.
Tanpa keluah kesah. Tanpa imbalan. Tanpa pamrih.

Meski dengan kekurangan
dan keterbatasan, tidak sedikit pun seorang ibu merasa lelah dalam mengasuh dan
membesarkan seorang anak. Kasih sayangnya tak akan berkurang. Entah seberapa
banyak butiran keringat yang sudah diteteskan untuk anak-anak dan keluarganya.
Seberapa lama matanya terbuka hanya untuk memastikan buah hati dan keluarganya baik-baik
saja. Tak mampu disebutkan pengorbanannya.

Terbayang tidak?
Seorang perempuan dengan kekurangan dan keterbatasan fisik, mampu melahirkan,
membesarkan, bahkan membantu menyokong perekonomian keluarga. Sungguh, seorang ibu
bukan hanya sosok perempuan yang memiliki banyak keistimewaan, tapi juga
ketangguhan.

Jumat (20/12), penulis mendapati
dua sepeda motor yang didesain memiliki bak sebelah kiri. Sepeda motor itu sudah
dimodifikasi, hingga tampak jauh dari bentuk aslinya. Dua sepeda motor itu
diparkir rapi pada salah satu rumah di Jalan Krakatau, Palangka Raya. Hari itu
saya (penulis) memiliki waktu untuk menyambangi rumah yang memiliki dua pintu
itu.

Tak lama berselang, perempuan
berparas ayu keluar dari balik pintu. Berjalan ngesot. Senyumnya manis dengan
bibir merah dan berambut tebal. Poni menutupi dahinya. Mempercantik paras. Saya
merasa tak asing dengan wajah itu. Betul, ternyata ia adalah perempuan yang
sering terlihat saat car free day (CFD) di Bundaran Besar, Kota Palangka Raya.

“Mbak yang sering
berjualan di Bundaran Besar saat CFD setiap hari Minggu?” tanya saya menyapa sekaligus
ingin memastikan yang dilihat adalah benar.

“Iya, setiap Minggu saya
berjualan di CFD, berjualan ini,” jawabnya sembari menunjukkan tumpukan
dagangan yang tersusun rapi di ruang yang tak disekat, yang hanya terhalang
tirai membentuk persegi sekira berukuran lima meter.

Namanya Rina
Karismawati. Ia merupakan perempuan tunadaksa. Ia menjadi penyandang
disabilitas beberapa tahun lalu, saat masih duduk di bangku kelas dua sekolah
menengah pertama (SMP). Padahal, awalnya ia terlahir normal. Namun, takdir berkata
lain. Secara perlahan kaki dan tangannya mengalami pelemahan, hingga akhirnya
ia mengalami kelumpuhan, sebelum sempat menikmati pendidikan di sekolah
menengah atas (SMA).

“Saya terlahir normal,
bisa jalan sejak kecil seperti anak-anak pada umunya. Namun, saat akhir SMP
saya dinyatakan terkena polio. Saya tidak melanjutkan pendidikan ke SMA karena
kondisi yang tidak memungkinkan,” kisah Rina.

Rina pun terpaksa menempuh
pendidikan di sekolah rehabilitasi pada salah satu lembaga di Solo, Jawa Tengah
(Jateng). Harapannya, di lembaga tersebut ia akan kembali menemukan masa depan
yang diidam-idamkannya sebagai seorang perempuan remaja. Sebab, ia sempat putus
asa saat mengetahui kondisinya yang tak mampu lagi berjalan.

Baca Juga :  Saat Air Sungai Jelai Menjadi Hijau, Petambak Terancam Gulung Tikar

“Saya masuk di sekolah
rehabilitasi pada 2001 lalu. Selain tujuan utama untuk rehabilitasi dengan
mengharapkan kesembuhan, di lembaga itu juga diberikan pelatihan kerajinan,
seperti merajut dan lainnya,” kata perempuan yang lahir 23 Maret 1984.

Pada 2003, ia pergi ke
salah satu yayasan khusus disabilitas di Yogyakarta untuk mengembangkan
keterampilan. Satu tahun kemudian ia kembali ke Solo, dengan tujuan silaturahmi
ke lembaga rehabilitasinya. Di situlah ia bertemu pria tunadaksa asal
Banjarmasin.

“Kebetulan saat itu mas
Hamsi (suaminya, red) sedang pelatihan di lembaga rehabilitasi. Kami bertemu
dan saling kenal. Ternyata jodoh. Kami pun memutuskan menikah di kampung
halaman saya, Kabupaten Boyolali,” ucapnya.

Waswas pun tentu ada. Dalam
keterbatasannya, terkadanga ia merasa pesimistis menjadi seorang ibu. “Apakah
saya bisa melahirkan dan mengurus anak dengan keterbatasan ini. Sempat sedih karena
tidak bisa menjadi ibu pada umumnya,” kata perempuan yang menikah pada 2006 lalu.

Tidak lama setelah
menikah, Tuhan menitipkan seorang putra melalui rahimnya. Sebagai penyandang disabilitas,
masa-masa mengandung pun tak mudah dilalui. Jika tak hati-hati, bisa saja
mengancam nyawa buah hati dalam kandungannya.

“Saya mencoba
menggunakan tongkat untuk berjalan. Sempat terjatuh saat kondisi hamil besar,” tuturnya.

“Ya, susah. Ibu hamil yang
fisiknya normal saja masih kesusahan, apalagi saya yang jalan saja mengesot,” tambahnya.

Namun, berkat
kesabarannya, segala kesulitan itu mampu dilewatinya. Ia mampu melahirkan
anaknya dengan selamat dan sehat. Bahkan kini ia telah dikarunia tiga anak.
Sungguh karunia Tuhan yang luar biasa.

Tak hanya saat
mengandung, perempuan 35 tahun ini juga mengaku terkadang kesulitan merawat
ketiga anaknya. Takut saat ingin menggendong. Padahal ia ingin menjadi layaknya
ibu pada umumnya, seperti menggendong atau mengajak anak-anaknya jalan-jalan.

“Tapi saya tidak bisa
melakukan itu. Kadang sedih karena tidak bisa sering menggendong anak. Tapi
bagaimana lagi? Saya harus mengajarkan anak saya untuk mandiri dan tidak
terbiasa dimanja saat kecil,” terlihat matanya mulai berkaca-kaca.

Anak pertamanya laki-laki.
Saat ini telah berusia 13 tahun. Anak kedua berusia delapan tahun dan si bungsu
belum genap berusia tiga tahun. Keduanya perempuan. Mereka tumbuh sehat dan pintar.
Bahkan anaknya yang pertama sering menjadi juara kelas.

“Saya bersyukur karena
anak-anak saya pintar. Merka tahu kondisi orang tuanya, jadi tidak bandel. Bahkan
sering bantu saya. Anak-anak adalah harapan kami ke depan. Siapa lagi yang akan
menjaga kami jika bukan mereka?” bebernya.

Sejak menikah mereka
memilih tinggal di Boyolali. Namun, pada 2013 lalu, mereka memutuskan pulang ke
kampung halaman sang suami, yakni di Kota Banjarmasin. Karena penghasilan tak
begitu mencukupi kebutuhan hidup keluarga, mereka pun memutuskan pindah ke Kota
Palangka Raya dan berjualan koran.

Baca Juga :  Cerita Perempuan Tangguh dari Sisi Maskulin

“Suami saya jual koran
sejak masih di Boyolali dan di Banjarmasin. Alhamdulillah di Palangka Raya ini hasilnya
lebih baik daripada sebelum-sebelumnya,” ujarnya.

Ditambah lagi, saat ini
Rina juga membantu suamiya bekerja menambah kebutuhan hidup. Ia memproduksi
camilan seperti kerupuk makaroni, kacang bawang, dan kacang merah goreng. Dipasarkan
sembari menjual koran di pertigaan rambu-rambu lalu lintas Jalan Ahmad Yani,
tepatnya di depan kantor PDAM dan di depan kantor Dinas Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang (PUPR) Kalteng.

“Kalau saat CFD hari
Minggu, saya serta tiga anak ikut berjualan di Bundaran Besar,” kata istri
atlet angkat besi ini.

Dagangan yang dijual
hasil produksi keduanya. Terkadang Rani harus menggoreng sendiri, jika suami sedang
sibuk. Sebagai penyandang disabilitas, perempuan ramah ini ingin membuktikan
bahwa disabilitas tidak hanya berpangku tangan. Disabilitas bukan golongan yang
harus dibedakan dengan dalih tidak sempurna seperti orang pada umumnya.

“Saya membantu suami
untuk menambah penghasilan. Selain itu, saya juga ingin membuktikan bahwa
disabilitas itu bisa. Kami memang memiliki kekurangan fisik, tetapi kami
buktikan bahwa kami bisa seperti orang yang berfisik normal,” ucapnya dengan
semangat.

Prinsip inilah yang
selalu ia tanamkan dalam hati. Kekurangan tidak menjadikan alasa baginya untuk
mengharapkan belas kasihan orang. Justru sebaliknya. Ia ingin membuat orang
normal berpikir bahwa mereka juga bisa. “Apalagi saat ini saya dan suami saya
jauh dari keluarga besar. Kami ingin membuktikan kepada keluarga dan
orang-orang bahwa saya dan suami saya bisa mandiri,” tegas Rina.

Kepala Bidang
Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial (Dinsos) Kalteng, Nonsihai
mengatakan, selama ini Dinsos Kalteng juga memiliki program bagi disabilitas, baik
dari kementerian maupun pemerintah daerah (pemda). Sebagai contoh, pemberian
bantuan modal usaha kepada disabilitas yang masih bisa bekerja, dan bantuan
tunai kepada disabilitas ganda.

“Disabilitas ganda itu
mereka memiliki cacat lebih dari satu dan tidak dapat mengembangkan diri,
bahkan untuk mengurus diri sendiri saja dia harus dibantu orang lain,” ucap
Nonsihai.

Sedangkan untuk
disabilitas yang masih memiliki kemampuan, diberikan modal usaha dan pembinaan
kerajinan. Kepada ibu-ibu disabilitas diberikan pembinaan seperti membuat
kerajinan tangan. “Kami juga memberikan sosialisasi kepada masyarakat berkenaan
dengan disabilitas,” pungkasnya.

Terpisah, Ketua
Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Kalteng, Samsiah mengatakan,
pihaknya sering memotivasi anggotanya agar tidak merasa bahwa disabilitas
adalah mahkluk yang tidak berharga. Khusus untuk ibu-ibu, milikilah semangat
hidup seperti ibu-ibu nondisabilitas.

“Jangan menyerah. Tugas
dan tanggung jawab ibu normal saja berat, apalagi ibu-ibu penyandang
disabilitas,” tegasnya.

Ibu sebagai salah satu pelindung dalam keluarga,
tempat kasih sayang suami dan anak-anak tercinta. Keluarga membutuhkan sosok perempuan,
membutuhkan ibu. “Ibu-ibu tetaplah bangga diri dan jadilah semangat bagi keluarga,”
pungkasnya. (*/ce/ala)

Terpopuler

Artikel Terbaru