KALTENGPOS.CO – Tiga bersaudara ini setiap harinya hanya berada di
rumahnya saja. Yang penuh debu serta kain kotor berserakan di sana dan di sini.
Tak ada yang berharga di dalam
rumahnya yang terletak di Dusun Punaga, Desa Maradekaya, Kecamatan Bajeng, Kabupaten
Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel) itu.
Namanya Muh Syarif, 14 tahun, Muh
Syahrul, 12 tahun dan Muh Iksan, 10 tahun. Tak banyak pula yang bisa mereka
lakukan selama masa pandemi Covid-19 ini.
Hanya beberapa buku pelajaran
saja yang bisa mereka baca. Menggali ilmu meski di segala keterbatasan.
Perkembangan teknologi membuatnya
tergerus. Ponsel yang saat ini menjadi kebutuhan di sektor pendidikan, justru
hanya jadi tontonan belaka.
Belajar online tak bisa dia
ikuti. Keterbatasan biaya membuat mereka tak mampu membeli ponsel, untuk
belajar via daring.
Sebagai kakak tertua, kadang kala
Muh Syarif sedih melihat kedua adiknya itu harus ketinggalan mata pelajaran.
Masa depan yang suram tentu mengancam mereka.
Sudah empat bulan lamanya mereka
mengalami kisah pilu ini. Tak ada bantuan dari pemerintah setempat, agar tiga
bersaudara ini bisa belajar via online.
“Selama empat bulan pandemi ini,
kami hanya bisa baca buku di rumah. Tidak bisa belajar online. Apalagi tugas
banyak yang tidak selesai,†kata Muh Syarif, bocah kelas 3 SMP ini, Sabtu
(22/8/2020).
Akibatnya, banyak nilai
sekolahnya yang dibawah standar. Bahkan mengancam mereka tinggal kelas.
“Nilai sekolah kami jelek
gara-gara ini. Belajar online menyulitkan kami yang tak punya ponsel. Kami
harap bisa dibantu dibelikan ponsel untuk belajar,†tambah bocah berkulit
cokelat ini.
Tidak ada jalan lain jika
benar-benar sistem pembelajaran online ini jadi penghalang, untuk mewujudkan
cita-citanya di masa depan kelak.
Alternatif lain, mereka terpaksa
membantu ayahnya menanam sayur dan buah di sawah. Lahan di sana pun bukan milik
mereka. Melainkan punya orang lain.
“Sawahnya orang ini saya garap.
Saya pun digaji per bulan dengan hasil yang tidak pasti. Jadi mana mungkin saya
bisa belikan tiga buah ponsel untuk anak-anak saya ini,†kata ayah kandung
Syarif, Sudirman Daeng Tappa.
Selain sang ayah yang mati-matian
merawat anaknya agar hidup layak kelak, sementara sang ibu bernama Subaedah tak
jarang menitihkan air mata yang jatuh membasahi pipinya.
Ketiga anaknya itu tak bisa
berbuat apa-apa. Hanya meratapi nasib di tengah sawah sembari menanti kerasnya
kehidupan yang suram, akibat pendidikan yang baginya sangat sulit di masa saat
ini.