Mau tahu seperti apa kondisi sesungguhnya pendidikan di pedalaman Kalsel? Inilah yang terjadi.
*****
PEKAN ketiga Januari, sebuah notifikasi muncul di layar ponsel. Pesan yang masuk membuat hati saya berdebar penuh antusiasme. Itu adalah ajakan ekspedisi bersama rekan-rekan dari Gerakan Buku Meratus (GBM) untuk mengunjungi Desa Sing-Singan, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan.
Desa ini terletak di kaki Gunung Meratus. Hanya sekitar 43 kilometer dari pusat Kota Paringin. Itu menurut aplikasi peta di ponsel. Namun kenyataannya, perjalanan menuju ke sana memakan waktu lebih dari 7 jam.
Sing-Singan merupakan salah satu desa paling terpencil di Kabupaten Balangan. Dengan akses yang sangat terbatas, desa ini berbatasan langsung dengan kabupaten Kotabaru. Jalan setapak licin dan curam melintasi jurang-jurang dalam yang mengancam keselamatan di sepanjang perjalanan. Kondisi ini sejalan dengan kehidupan yang berjalan lambat di desa ini. Tanpa listrik, tanpa sinyal ponsel, bahkan akses internet tidak terjangkau.
Mayoritas penduduk desa ini bekerja sebagai petani. Namun, mereka kerap kali menghadapi kesulitan dalam memasarkan hasil bumi. Letaknya yang terpencil membuat mereka terisolasi secara ekonomi. Tak banyak yang bisa mereka nikmati, selain hasil kerja keras bertani untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Meski hidup dalam keterbatasan, semangat untuk bertahan hidup dan berkembang tetap menyala. Terutama di hati anak-anak yang berjuang keras untuk mendapatkan pendidikan layak. Setiap pagi, anak-anak di sana harus menempuh perjalanan panjang menuju sekolah. Salah satunya adalah Mitro. Perjuangan siswa kelas 2 SD ini layak dikasih jempol.
]Cita-citanya ingin menjadi guru. Setiap hari, Mitro berjalan kaki selama tiga jam melewati hutan lebat dan jalanan yang sulit hanya untuk sampai ke sekolahnya. Jalan setapak yang licin dan terjal menempa kegigihannya. Ia tetap bertahan, meski tak ada jaminan kenyamanan atau keamanan dalam perjalanan. “Saya ingin jadi manusia terdidik, agar kelak bisa mendidik,” ujar Mitro dengan senyum polos.
Mitro bersekolah di SD Kecil (SDK) Sing-Singan. Sebuah bangunan sederhana yang masih berada di bawah naungan SDN Sawang. Sekolah ini terdiri dari dua ruang kelas kayu beratap genteng.
Satu ruang kelas yang disekat menjadi dua bagian, dan satu ruang untuk tempat istirahat para guru. Sebanyak 12 siswa dan lima pendidik berjuang di sana, di tengah keterbatasan fasilitas. Meski sederhana, semangat belajar anak-anak di sana tak pernah luntur.
Para guru yang datang dari luar desa terpaksa tinggal di sekolah. Mengingat jarak terlalu jauh untuk dijangkau setiap hari. Mereka rela mengorbankan kenyamanan pribadi demi memberikan yang terbaik bagi anak-anak didiknya. Meskipun kondisi sulit, mereka tahu betul bahwa pendidikan adalah kunci untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Situasi ini menjadi alasan utama bagi tim Gerakan Buku Meratus (GBM) untuk mengunjungi desa ini. Datang dengan semangat untuk membawa perubahan, memberi sedikit kebahagiaan dan harapan bagi anak-anak di SDK Sing-Singan.
Perjalanan menuju Desa Sing-Singan tak ubahnya pendakian menuju puncak gunung. Sejak pukul 13.45, rombongan memulai perjalanan dari Desa Sawang. Ini desa terakhir yang bisa dijangkau dengan kendaraan bermotor.
Dengan beban logistik dan donasi yang cukup berat, perjalanan semakin menantang. Jalur yang licin dan terjal, ditambah guyuran hujan yang terus-menerus, memperlambat langkah. Namun, perjuangan ini penting demi anak-anak di sana.
Lima setengah jam perjalanan yang melelahkan akhirnya berbuah manis. Rombongan tiba di SDK Sing-Singan pada pukul 19.20 waktu setempat. Sesampainya di sekolah yang juga menjadi tempat penginapan itu, rombongan disambut oleh senyum tulus dari anak-anak. Meski hujan, mereka tetap datang untuk bertemu. Rasa lelah seketika hilang, tergantikan oleh kebahagiaan.
Perbincangan dengan masyarakat setempat hingga berlangsung larut malam. Sebelum tidur, segala sesuatunya dipersiapkan untuk kegiatan yang akan dilakukan keesokan harinya.
***
Pagi Minggu (9/2), saya terbangun oleh suara rintik hujan yang menghantam atap SD Kecil Sing-Singan. Hawa dingin menusuk tulang. Hari itu, rombongan membagikan sejumlah donasi kepada para siswa. Ada 12 lembar seragam sekolah, 12 set peralatan pramuka, 12 paket alat tulis, buku bacaan, alat olahraga, dan 12 pasang sepatu.
Bagi anak-anak ini, menerima sepatu pertamanya adalah kebahagiaan yang tak terlukiskan. Mereka bahkan tidak pernah membayangkan akan mengenakan sepatu seperti anak-anak lain. Mereka menerima donasi tersebut dengan penuh rasa terima kasih.
Anak-anak di sana tahu betul bahwa pendidikan adalah harapan utama untuk keluar dari keterbatasan yang ada. Mitro begitu bangga bisa mengenakan sepatu dan seragam sekolah yang layak.
Selain membagikan barang-barang donasi, tim GBM juga memberikan dorongan semangat kepada anak-anak di sana. Mereka diajak bermain dan belajar bersama. Mengajarkan dengan cara yang menyenangkan, dan memberikan motivasi untuk terus bersemangat menuntut ilmu meskipun di tengah keterbatasan. Harapan kami sederhana: agar setiap anak di SDK Sing-Singan merasa didengar, dihargai, dan berhak mendapatkan pendidikan yang layak, seperti anak-anak di daerah lainnya yang lebih berkembang.
Masa depan anak-anak Desa Sing-Singan bisa berubah, jika potensi wisata Air Terjun Batarius bisa dikembangkan. Otomatis ekonomi desa akan meningkat, dan eksposur terhadap pendidikan di desa akan berkembang. Kami berharap, suatu saat nanti, anak-anak yang menerima bantuan ini bisa melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi, tanpa terbatas oleh kondisi alam atau fasilitas yang terbatas.(jpg)