26.2 C
Jakarta
Wednesday, November 27, 2024

Rumah Dibangun Kesultanan Banjar, Kini Hanya Menyisakan 21 Tiang

Bukti
sejarah pertempuran mengusir penjajah kolonial belanda di Kabupaten Barito
Utara (Batara) oleh Kesultanan Banjar tercatat rapi dalam buku sejarah. Sisa-sisa
bangunan tempat persinggahan putra putri kesultanan banjar masih bisa dilihat
hingga kini.

 

FADLI, Muara Teweh

 

RUMAH raja mungkin
sudah tidak asing bagi masyarakat Juking Hara Keluraha Jambu, Kecamatan Teweh
Baru, Kabupaten Batara. Peristiwa heroik peperangan melawan bolonial belanda
atau yang disebut dengan Perang Banjar diceritakan secara turun-temurun.
Sayangnya, sangat minim perhatian untuk melestarikan bukti sejarah yang masih
tersisa ini.


Adalah Anton Permadi, seorang
Pemuda yang lahir dan dibesarkan di Juking Hara, Kelurahan Jambu memiliki
ketertarikan terhadap Sejarah Perjuangan para Pahlawan, terutama di tempat ia
tinggal. Dosen muda STIE Muara Teweh itu mengajak penulis untuk melihat
sisa-sisa peninggalan sejarah di tanah kelahirannya.

Ketika masih duduk di sekolah
dasar sampai (SD) sekolah menengah setiap hari melewati Rumah Raja ini.
Sekarang ini ia prihatin, karena tempat bersejarah sebuah rumah raja itu yang
tersisa 21 tiang yang masih tertancap di tanah. “Diperkirakan ukuran Rumah Raja
itu, lebar 12 Meter dan panjang 30 Meter lebih,” ucap Anton Permadi.

Baca Juga :  Memburu Pendonor Darah Penyambung Hidup

Salah seorang bernama
Siti Aminah, yang merupakan cucu pejuang kemerdekaan yakni Tumenggung
Mangkusari. Nenek 85 itu adalah anak Juraiyah. Dan Juraiyah merupakan anak dari
Tumenggung Mangkusari.

Meskipun berusia
lanjut, Siti Aminah yang akrab dipanggil Nini Anjang Amin ini penglihatan dan
pendengarannya masih baik walaupun untuk berjalan sudah menggunakan tongkat.

Dia menceritakan, dahulunya
rumah raja tersebut dibangun oleh Muhammad Yusuf yang dikenal dengan nama
Tumenggung Mangkusari. Diketahuinya, rumah itu dibiayai oleh Kesultanan Banjar
pada abad ke-18 pascameletusnya Perang Banjar. Dengan harapan menjadi tempat singgah
beristirahat Pangeran dan Putri keturunan Kesultanan Banjar.

Rumah Kerajaan di
Juking Hara inilah, Ratu Zaleha putri dari Sultan Muhammad Seman sempat
bersembunyi pada pelariannya dan akhirnya dikepung oleh kolonel Belanda. Karena
ada penghianat, yang memberitahukan keberadaannya.

Baca Juga :  Sumbangkan Isi Celengan Hasil Jualan Stiker

“Ada
penghianat,”tandas Nini Anjang Amin, yang tidak mau menceritakan panjang
lebar panjang. Siapa yang dimaksud penghianat tersebut.

Sebelumnya, pada saat
dimulainya perang banjar, Kesultanan pada Kerajaan Banjar tidak stabil. Setelah
Kesultanan Banjar dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Salah satu Putra
Mahkota yaitu Sultan Muhammad Seman merupakan putra dari Pangeran Antasari
membuat Pagustian sebagai Benteng Pertahanan di Menawing dan Sungai Lawang Kaki
Gunung Bondang, yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Murung Raya (Mura).

Namun, setahun sebelum
tertangkapnya Panglima Perang Sultan Muhammad Seman yaitu Panglima Batur.
Pertahanan di Manawing dan Sungai Lawang berhasil di runtuhkan oleh Kolonial
Belanda dan juga menewaskan Sultan Muhammad Seman pada Tahun 1905.

Sebelum beliau wafat
beliau sempat memberikan Basal dan Cincin Kerajaan kepada Putrinya Zaleha
dengan harapan bisa melanjutkan Perjuangan Kesultanan Banjar. Setelah
mendapatkan cincin kerajaan maka gelar Ratu melekat kepada Ratu Zaleha sebagai
keturunan Raja Kerajaan Banjar. (*/ala)

Bukti
sejarah pertempuran mengusir penjajah kolonial belanda di Kabupaten Barito
Utara (Batara) oleh Kesultanan Banjar tercatat rapi dalam buku sejarah. Sisa-sisa
bangunan tempat persinggahan putra putri kesultanan banjar masih bisa dilihat
hingga kini.

 

FADLI, Muara Teweh

 

RUMAH raja mungkin
sudah tidak asing bagi masyarakat Juking Hara Keluraha Jambu, Kecamatan Teweh
Baru, Kabupaten Batara. Peristiwa heroik peperangan melawan bolonial belanda
atau yang disebut dengan Perang Banjar diceritakan secara turun-temurun.
Sayangnya, sangat minim perhatian untuk melestarikan bukti sejarah yang masih
tersisa ini.


Adalah Anton Permadi, seorang
Pemuda yang lahir dan dibesarkan di Juking Hara, Kelurahan Jambu memiliki
ketertarikan terhadap Sejarah Perjuangan para Pahlawan, terutama di tempat ia
tinggal. Dosen muda STIE Muara Teweh itu mengajak penulis untuk melihat
sisa-sisa peninggalan sejarah di tanah kelahirannya.

Ketika masih duduk di sekolah
dasar sampai (SD) sekolah menengah setiap hari melewati Rumah Raja ini.
Sekarang ini ia prihatin, karena tempat bersejarah sebuah rumah raja itu yang
tersisa 21 tiang yang masih tertancap di tanah. “Diperkirakan ukuran Rumah Raja
itu, lebar 12 Meter dan panjang 30 Meter lebih,” ucap Anton Permadi.

Baca Juga :  Memburu Pendonor Darah Penyambung Hidup

Salah seorang bernama
Siti Aminah, yang merupakan cucu pejuang kemerdekaan yakni Tumenggung
Mangkusari. Nenek 85 itu adalah anak Juraiyah. Dan Juraiyah merupakan anak dari
Tumenggung Mangkusari.

Meskipun berusia
lanjut, Siti Aminah yang akrab dipanggil Nini Anjang Amin ini penglihatan dan
pendengarannya masih baik walaupun untuk berjalan sudah menggunakan tongkat.

Dia menceritakan, dahulunya
rumah raja tersebut dibangun oleh Muhammad Yusuf yang dikenal dengan nama
Tumenggung Mangkusari. Diketahuinya, rumah itu dibiayai oleh Kesultanan Banjar
pada abad ke-18 pascameletusnya Perang Banjar. Dengan harapan menjadi tempat singgah
beristirahat Pangeran dan Putri keturunan Kesultanan Banjar.

Rumah Kerajaan di
Juking Hara inilah, Ratu Zaleha putri dari Sultan Muhammad Seman sempat
bersembunyi pada pelariannya dan akhirnya dikepung oleh kolonel Belanda. Karena
ada penghianat, yang memberitahukan keberadaannya.

Baca Juga :  Sumbangkan Isi Celengan Hasil Jualan Stiker

“Ada
penghianat,”tandas Nini Anjang Amin, yang tidak mau menceritakan panjang
lebar panjang. Siapa yang dimaksud penghianat tersebut.

Sebelumnya, pada saat
dimulainya perang banjar, Kesultanan pada Kerajaan Banjar tidak stabil. Setelah
Kesultanan Banjar dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Salah satu Putra
Mahkota yaitu Sultan Muhammad Seman merupakan putra dari Pangeran Antasari
membuat Pagustian sebagai Benteng Pertahanan di Menawing dan Sungai Lawang Kaki
Gunung Bondang, yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Murung Raya (Mura).

Namun, setahun sebelum
tertangkapnya Panglima Perang Sultan Muhammad Seman yaitu Panglima Batur.
Pertahanan di Manawing dan Sungai Lawang berhasil di runtuhkan oleh Kolonial
Belanda dan juga menewaskan Sultan Muhammad Seman pada Tahun 1905.

Sebelum beliau wafat
beliau sempat memberikan Basal dan Cincin Kerajaan kepada Putrinya Zaleha
dengan harapan bisa melanjutkan Perjuangan Kesultanan Banjar. Setelah
mendapatkan cincin kerajaan maka gelar Ratu melekat kepada Ratu Zaleha sebagai
keturunan Raja Kerajaan Banjar. (*/ala)

Terpopuler

Artikel Terbaru