25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Memburu Pendonor Darah Penyambung Hidup

Pandemi Covid-19 membuat jumlah pendonor darah turun drastis.
Padahal, ada orang-orang yang membutuhkan darah secara reguler supaya bisa
tetap bertahan.

 

 

 

FOLLY AKBAR, Jakarta, Jawa Pos

 

 

 

PERTENGAHAN Mei lalu, Annisa Octiandari Pertiwi mengalami
salah satu fase tersulit dalam hidupnya. Dia harus pontang-panting mencari
darah golongan AB resus positif. Tak mendapatkan, nyawanya menjadi taruhan.

 

Di bank darah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
tempat langganannya, stok kosong. Sementara di Palang Merah Indonesia (PMI)
Cabang Kramat yang jadi rujukan RS, jumlahnya terbatas. Nisa, sapaannya,
membutuhkan 800 hingga 1.000 cc. ”Itu sekitar tiga sampai empat kantong darah,”
ujar perempuan berusia 26 tahun tersebut Kamis malam (18/6).

 

Bingung mencari, Nisa lalu menghubungi sejumlah kawan
lamanya. Kawan-kawan yang dia ingat memiliki golongan darah sama. Untung, Nisa
mendapati Muhammad Faisal, kawan kuliahnya, dan Rodzotus Solekha, teman
kantornya, yang hari itu bersedia menjadi pendonor untuknya.

 

Dua kantong darah yang didapatkannya bisa menggenapi
kekurangan dari PMI. Nisa lega. Empat kantong darah akan menyambung
kehidupannya secara normal. Setidaknya untuk tiga pekan ke depan.

 

Bagi Nisa dan penderita talasemia lainnya, kantong darah
adalah sesuatu yang vital. Kalau sudah jadwalnya, tanpa tambahan darah,
tubuhnya akan lemas, kehilangan gairah, dan berat untuk beraktivitas. Jika
dibiarkan, nyawanya akan terancam.

 

Talasemia merupakan penyakit genetik yang ditandai kurangnya
protein pembawa oksigen (hemoglobin) dan jumlah sel darah merah. Akibatnya,
penderita tidak bisa menghasilkan sel darah merah yang dibutuhkan tubuh.

 

Imbasnya, penderita harus terus menerima darah orang lain sepanjang
hidupnya. Ada yang 1 minggu sekali, 10 hari sekali, 2 pekan sekali, 3 minggu
sekali, 3 bulan sekali, dan sebagainya. Bergantung usia, berat badan,
aktivitas, dan tingkat kerusakan darahnya. ”Kalau saya tiga minggu sekali harus
kontrol. Dan sekali kontrol butuh tiga sampai empat kantong darah,” kata warga
Bogor itu.

 

Nisa menjelaskan, kedua orang tuanya sama-sama memiliki gen
talasemia minor atau talasemia ringan tanpa gejala. Saat dituruni, Nisa dan
adiknya dinyatakan menderita talasemia mayor sejak bayi dan mesti menjalani
transfusi darah. ”Begitu mereka menikah, gen itu turun pada saya. Jadi,
ibaratnya dari ayah satu, dari ibu satu. Di saya jadi dua,” jelas sulung tiga
bersaudara tersebut.

Baca Juga :  Peserta Antusias, Tujuh Sekolah Lolos Babak Penyisihan

 

Pada masa sebelum pandemi, Nisa menjalani rutinitas transfusi
dengan normal. Tiga sampai empat kantong darah yang dia butuhkan setiap tiga
pekan bisa didapat tanpa kesulitan. Dia pun dapat beraktivitas dengan normal
tanpa khawatir kondisi tubuhnya menurun.

 

Cukup ke RSCM, empat kantong darah didapat dari bank darah
hanya dalam waktu dua hingga tiga jam. Kondisi itu berlangsung selama
bertahun-tahun. Kalaupun datang masa sulit, itu hanya terjadi di bulan puasa
dan momen liburan sekolah. ”Karena puasa mindset orang nggak boleh donor. Kalau
donor nanti lemes. Kalau pas liburan, orang juga jarang yang donor,” ceritanya.

 

Namun, karena dua momen itu sudah terprediksi rutin setiap
tahun, Nisa dan penderita lainnya telah menyiapkan jauh-jauh hari. Dia mencari
pendonor sebagai cadangan menghadapi masa itu tiba. Di masa pandemi ini
kondisinya berbeda. Minimnya stok darah tidak terjadi satu–dua bulan. Ini sudah
masuk bulan keempat. Sejak Maret lalu stok darah berkurang drastis. Jangankan
di RS, di kantor PMI pun sulit didapat. Jika biasanya hanya butuh maksimal tiga
jam, kini harus menunggu berhari-hari.

 

Berkali-kali Nisa meng-update ke RS dan PMI untuk bisa
mendapatkan darah yang dibutuhkan. ”Kondisi badan lemes. HB (hemoglobin darah)
udah rendah masih cari darah, masih bolak-balik,” kata dia. Belum lagi dampak
akibat banyak ongkos keluar, bolos kerja, hingga risiko terpapar korona karena
bolak-balik RS. ”Tapi, ya tetap kita memilih ke RS berkali-kali timbang telat
(transfusi),” ungkapnya.

 

Selain ke RS dan PMI, Nisa mencari ke pendonor mandiri. Bisa
ke saudara, teman, atau bahkan orang lain yang ada dalam jejaring media
sosialnya. Kalaupun sudah menemukan yang memiliki golongan darah sama,
transfusi tak lantas langsung bisa dilakukan.

Baca Juga :  Sungai Hantipan dan Janji yang Tak Pernah Tuntas

 

Kualitas darah pendonor harus dipastikan sesuai standar.
Kadar hemoglobin, tekanan darah, kondisi tubuh, hingga kepastian tidak
mengonsumsi obat-obatan tertentu. Meski demikian, Nisa tak pupus semangat.
Bersama sejumlah teman yang tergabung dalam komunitas Thalassemia Movement,
Nisa terus aktif mengampanyekan donor darah melalui media sosial.

 

Kultwit atau twit bersambung yang dibuatnya viral dan
memunculkan aksi solidaritas. Lebih dari seribu orang mendaftarkan diri untuk
mendonorkan darah. Lulusan Biologi Universitas Padjadjaran itu berharap, meski
di masa pandemi, masyarakat bisa terus melakukan donor darah.

 

Ada banyak orang yang membutuhkan supaya bisa terus hidup.
Bukan hanya penderita talasemia, tapi juga pasien-pasien lainnya. ”Pak JK
(Jusuf Kalla) pas awal pandemi juga menganjurkan tetap donor karena masih ada
yang butuh darah,” ceritanya.

 

Nisa berharap pemerintah membantu persoalan itu. Dia
mencontohkan kebijakan Pemerintah Provinsi Aceh yang mewajibkan ASN mendonorkan
darah di masa pandemi perlu diikuti daerah lainnya.

 

Sadar akan situasi yang tidak mudah, para penderita talasemia
di wilayah Jabodetabek sendiri sudah berserikat. Sudah lebih dari empat tahun
mereka membentuk komunitas sebagai wadah saling berbagi pengalaman dan
pertolongan hingga menggerakkan misi sosial. ”Salah satu kegiatan rutin yang
dilakukan adalah menggelar acara donor darah,” imbuhnya.

 

Selain untuk kepentingan para penderita, komunitas
Thalassemia Movement dalam dua tahun belakangan mulai mengampanyekan bahaya
talasemia. Salah satunya dengan mendorong dilakukannya skrining (screening)
darah sebelum menikah.

 

Skrining tersebut penting untuk menghindari pernikahan yang
berpotensi melahirkan anak talasemia. Kalaupun memutuskan tetap menikah,
minimal kedua pasangan tahu risikonya. ”Bisa juga dengan adopsi anak atau bayi
tabung atau gimana,” ujarnya.

 

Pencegahan lahirnya anak
talasemia, kata Nisa, dibutuhkan untuk memutus rantai gen penurunan penyakit.
”Karena kalau didiemin jadi bom waktu, bisa banyak pasiennya,” tutur dia. 

Pandemi Covid-19 membuat jumlah pendonor darah turun drastis.
Padahal, ada orang-orang yang membutuhkan darah secara reguler supaya bisa
tetap bertahan.

 

 

 

FOLLY AKBAR, Jakarta, Jawa Pos

 

 

 

PERTENGAHAN Mei lalu, Annisa Octiandari Pertiwi mengalami
salah satu fase tersulit dalam hidupnya. Dia harus pontang-panting mencari
darah golongan AB resus positif. Tak mendapatkan, nyawanya menjadi taruhan.

 

Di bank darah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
tempat langganannya, stok kosong. Sementara di Palang Merah Indonesia (PMI)
Cabang Kramat yang jadi rujukan RS, jumlahnya terbatas. Nisa, sapaannya,
membutuhkan 800 hingga 1.000 cc. ”Itu sekitar tiga sampai empat kantong darah,”
ujar perempuan berusia 26 tahun tersebut Kamis malam (18/6).

 

Bingung mencari, Nisa lalu menghubungi sejumlah kawan
lamanya. Kawan-kawan yang dia ingat memiliki golongan darah sama. Untung, Nisa
mendapati Muhammad Faisal, kawan kuliahnya, dan Rodzotus Solekha, teman
kantornya, yang hari itu bersedia menjadi pendonor untuknya.

 

Dua kantong darah yang didapatkannya bisa menggenapi
kekurangan dari PMI. Nisa lega. Empat kantong darah akan menyambung
kehidupannya secara normal. Setidaknya untuk tiga pekan ke depan.

 

Bagi Nisa dan penderita talasemia lainnya, kantong darah
adalah sesuatu yang vital. Kalau sudah jadwalnya, tanpa tambahan darah,
tubuhnya akan lemas, kehilangan gairah, dan berat untuk beraktivitas. Jika
dibiarkan, nyawanya akan terancam.

 

Talasemia merupakan penyakit genetik yang ditandai kurangnya
protein pembawa oksigen (hemoglobin) dan jumlah sel darah merah. Akibatnya,
penderita tidak bisa menghasilkan sel darah merah yang dibutuhkan tubuh.

 

Imbasnya, penderita harus terus menerima darah orang lain sepanjang
hidupnya. Ada yang 1 minggu sekali, 10 hari sekali, 2 pekan sekali, 3 minggu
sekali, 3 bulan sekali, dan sebagainya. Bergantung usia, berat badan,
aktivitas, dan tingkat kerusakan darahnya. ”Kalau saya tiga minggu sekali harus
kontrol. Dan sekali kontrol butuh tiga sampai empat kantong darah,” kata warga
Bogor itu.

 

Nisa menjelaskan, kedua orang tuanya sama-sama memiliki gen
talasemia minor atau talasemia ringan tanpa gejala. Saat dituruni, Nisa dan
adiknya dinyatakan menderita talasemia mayor sejak bayi dan mesti menjalani
transfusi darah. ”Begitu mereka menikah, gen itu turun pada saya. Jadi,
ibaratnya dari ayah satu, dari ibu satu. Di saya jadi dua,” jelas sulung tiga
bersaudara tersebut.

Baca Juga :  Peserta Antusias, Tujuh Sekolah Lolos Babak Penyisihan

 

Pada masa sebelum pandemi, Nisa menjalani rutinitas transfusi
dengan normal. Tiga sampai empat kantong darah yang dia butuhkan setiap tiga
pekan bisa didapat tanpa kesulitan. Dia pun dapat beraktivitas dengan normal
tanpa khawatir kondisi tubuhnya menurun.

 

Cukup ke RSCM, empat kantong darah didapat dari bank darah
hanya dalam waktu dua hingga tiga jam. Kondisi itu berlangsung selama
bertahun-tahun. Kalaupun datang masa sulit, itu hanya terjadi di bulan puasa
dan momen liburan sekolah. ”Karena puasa mindset orang nggak boleh donor. Kalau
donor nanti lemes. Kalau pas liburan, orang juga jarang yang donor,” ceritanya.

 

Namun, karena dua momen itu sudah terprediksi rutin setiap
tahun, Nisa dan penderita lainnya telah menyiapkan jauh-jauh hari. Dia mencari
pendonor sebagai cadangan menghadapi masa itu tiba. Di masa pandemi ini
kondisinya berbeda. Minimnya stok darah tidak terjadi satu–dua bulan. Ini sudah
masuk bulan keempat. Sejak Maret lalu stok darah berkurang drastis. Jangankan
di RS, di kantor PMI pun sulit didapat. Jika biasanya hanya butuh maksimal tiga
jam, kini harus menunggu berhari-hari.

 

Berkali-kali Nisa meng-update ke RS dan PMI untuk bisa
mendapatkan darah yang dibutuhkan. ”Kondisi badan lemes. HB (hemoglobin darah)
udah rendah masih cari darah, masih bolak-balik,” kata dia. Belum lagi dampak
akibat banyak ongkos keluar, bolos kerja, hingga risiko terpapar korona karena
bolak-balik RS. ”Tapi, ya tetap kita memilih ke RS berkali-kali timbang telat
(transfusi),” ungkapnya.

 

Selain ke RS dan PMI, Nisa mencari ke pendonor mandiri. Bisa
ke saudara, teman, atau bahkan orang lain yang ada dalam jejaring media
sosialnya. Kalaupun sudah menemukan yang memiliki golongan darah sama,
transfusi tak lantas langsung bisa dilakukan.

Baca Juga :  Sungai Hantipan dan Janji yang Tak Pernah Tuntas

 

Kualitas darah pendonor harus dipastikan sesuai standar.
Kadar hemoglobin, tekanan darah, kondisi tubuh, hingga kepastian tidak
mengonsumsi obat-obatan tertentu. Meski demikian, Nisa tak pupus semangat.
Bersama sejumlah teman yang tergabung dalam komunitas Thalassemia Movement,
Nisa terus aktif mengampanyekan donor darah melalui media sosial.

 

Kultwit atau twit bersambung yang dibuatnya viral dan
memunculkan aksi solidaritas. Lebih dari seribu orang mendaftarkan diri untuk
mendonorkan darah. Lulusan Biologi Universitas Padjadjaran itu berharap, meski
di masa pandemi, masyarakat bisa terus melakukan donor darah.

 

Ada banyak orang yang membutuhkan supaya bisa terus hidup.
Bukan hanya penderita talasemia, tapi juga pasien-pasien lainnya. ”Pak JK
(Jusuf Kalla) pas awal pandemi juga menganjurkan tetap donor karena masih ada
yang butuh darah,” ceritanya.

 

Nisa berharap pemerintah membantu persoalan itu. Dia
mencontohkan kebijakan Pemerintah Provinsi Aceh yang mewajibkan ASN mendonorkan
darah di masa pandemi perlu diikuti daerah lainnya.

 

Sadar akan situasi yang tidak mudah, para penderita talasemia
di wilayah Jabodetabek sendiri sudah berserikat. Sudah lebih dari empat tahun
mereka membentuk komunitas sebagai wadah saling berbagi pengalaman dan
pertolongan hingga menggerakkan misi sosial. ”Salah satu kegiatan rutin yang
dilakukan adalah menggelar acara donor darah,” imbuhnya.

 

Selain untuk kepentingan para penderita, komunitas
Thalassemia Movement dalam dua tahun belakangan mulai mengampanyekan bahaya
talasemia. Salah satunya dengan mendorong dilakukannya skrining (screening)
darah sebelum menikah.

 

Skrining tersebut penting untuk menghindari pernikahan yang
berpotensi melahirkan anak talasemia. Kalaupun memutuskan tetap menikah,
minimal kedua pasangan tahu risikonya. ”Bisa juga dengan adopsi anak atau bayi
tabung atau gimana,” ujarnya.

 

Pencegahan lahirnya anak
talasemia, kata Nisa, dibutuhkan untuk memutus rantai gen penurunan penyakit.
”Karena kalau didiemin jadi bom waktu, bisa banyak pasiennya,” tutur dia. 

Terpopuler

Artikel Terbaru