NANGGUNG sekali. Saya mendarat dari Chongqing sudah senja. Matahari Shanghai sudah mulai redup. Delegasi dari negara lain sudah lengkap. Ketua umum barongsai Indonesia Edy Kusuma, pengganti saya, lebih dulu tiba.
Sebentar lagi jamuan makan malam dimulai: untuk semua peserta kongres barongsai dunia. Sebenarnya saya sudah tidak harus hadir. Tapi saya masih diminta hadir. Terakhir kalinya. Masih ada jabatan kecil di kepengurusan dunia.
Edy Kusuma memiliki banyak usaha. Mulai makanan anak-anak merek Taro sampai pabrik terigu, pabrik gula, dan masih banyak lagi. Anaknya sudah bisa mewarisi usahanya sehingga punya waktu mengurus barongsai Indonesia.
Saat jamuan makan malam, pikiran saya ke liga Inggris. Di mana bisa nonton live pertandingan malam itu. Alvand Gosal, teman saya dari Wuhan dan Chongqing, sangat paham Shanghai. Ia lulusan Fudan, universitas terbaik di Shanghai. Ia pemilik resto terbesar di Pandaan, di atas bukit golf Taman Dayu.
Alvand berhasil mendapatkan apa yang saya idamkan: nobar di sport cafe terbesar di Tiongkok –rasanya terbesar di dunia. Di Jing An –sport & fitnes center. Di pusat kota Shanghai.
Di negara mana pun saya berusaha nonton saat klub sepak bola Inggris yang satu itu bermain. Jam berapa pun. Seperti kemarin itu: pukul 23.30 baru mulai. Berarti jam 01.30 baru berakhir. Masih harus lihat pesta kemenangannya. Satu jam kemudian baru tiba kembali di hotel.
Praktis, pukul 02.30 baru bisa naik ranjang. Padahal kongres barongsai dimulai pukul 08.00.
Sebenarnya saya sudah menawarkan ke Alvand untuk pulang setelah babak pertama selesai. Toh tim itu sudah menang 4-1. Sudah pasti jadi juara liga Inggris.
Dan lagi Alvand bukanlah penggemar bola. Belum pernah nobar seperti itu. Saya khawatir ia bosan. Mengantuk. Atau pura-pura tidak mengantuk hanya karena sungkan kepada saya
Ternyata di babak pertama tadi Alvand banyak browsing: apa itu Liverpool. Siapa saja pemainnya. Saat Mo Salah ber-selfie bersama penonton ia sudah bisa bertanya: itukah yang cetak gol terbanyak Liga Inggris.
Ternyata ia menikmati nobar ini. Mungkin karena suasananya mirip di stadion. Banyak spanduk, selendang, dan teriakan mendukung klub itu. Juga selalu riuh dengan nyanyian-nyanyian supporter-nya.
Ia tidak mau pulang. Saya pun senang. Saya akan bisa melihat pesta seperti apa di akhir pertandingan.
“Pendukung klub apa?” tanya petugas saat kami baru sampai di lantai tiga gedung itu.
“Liverpool,” jawab Alvand.
“Di sana,” ujar petugas sambil menunjuk ruang kiri.
Ruang itu besar sekali. Sekitar 16 x 42 meter. Layar-layar lebar memenuhi dinding. Lebarnya layar-layar itu sekitar 6 x 8 meter. Ada empat layar di kiri. Empat layar di kanan. Tiga layar di depan. Atraktif sekali. Semua menampilkan sepak bola. Gambarnya tajam sekali.
Di sebelah kanan masih ada ruang yang besarnya sama. Kami tidak diarahkan ke situ. Di situlah supporter MU berkumpul.
Saya mengintip ke situ. Sedih semua. Saya lihat skor di layar: MU lagi kalah lagi. Dikalahkan Bournemouth 0-1.
Pertandingan Liverpool sendiri belum dimulai. Masih lama. Saya menonton MU dulu. Syukurlah, berkat saya tonton, MU bisa membalas kekalahan. Akhirnya 1-1.
Sambil nonton MU, saya jalan-jalan ke berbagai ruangan di gedung itu. Ada permainan basket satu bola. Bisa untuk delapan orang. Ada permainan balap mobil. Balap motor. Apa saja.
Lalu saya sampai ke ruang paling kanan: lebih penuh dari yang di depan tadi. Saya pun bertanya dalam hati: kenapa kami tadi tidak diarahkan masuk ke ruang yang ini.
Rupanya itu ruang khusus untuk penggemar kelas fanatik. Semua meja dan kursi sudah penuh. Harus memesan kursi lebih dulu. Tidak ada kursi kosong untuk yang go show.
Ruang khusus ini lebarnya sekitar 12 meter. Panjangnya 24 meter. Penuh. Padat. Bising. Sangat mirip suasana di stadion.
“Terima kasih, Anda bisa menemukan tempat nobar ini. Lain kali mau nonton di sini saja,” kata saya kepada Alvand.
Hampir semua penontonnya orang Tionghoa. Jarang yang minum bir. Beda dengan nobar di Amerika atau Eropa. Kalau toh ada satu dua bule itu dari Rusia atau Eropa Timur. Bule Amerika dan Eropa kian jarang terlihat di Shanghai.
Udara ruangan bersih. Tidak ada yang merokok. Beda dengan nobar di Jakarta atau Surabaya.
Di Wuhan, bos di sana mengatakan ”bebek telah mempersatukan selera dunia”. Di Shanghai malam itu ”bola telah mempersatukan bangsa”. Sayang Trump bukan penggemar sepak bola.
Saya ingat tahun-tahun pertama mulai tergoda sepak bola. Saya ciptakan jargon untuk kaus supporter ”Kami Haus Gol Kamu”. Bunyi di kaus itu:
Satu Nusa
Satu Bangsa
Satu Bahasa –bahasa bola. (DAHLAN ISKAN)