HARI-HARI ini saya menunggu datangnya penjelasan rinci soal korupsi di timah Bangka senilai Rp 270 triliun itu: di mana letak korupsinya.
Dalam perjalanan dari Shantou ke Meizhou kemarin saya sering buka link berita dari tanah air. Ramai.
Yang soal Mahkamah Konstitusi tidak saya ikuti. Begitu banyak yang masih harus saya pikirkan.
Yang soal korupsi timah saya ikuti: kecewa. Tidak segera ada berita yang menjelaskan letak korupsinya di mana.
Yang riuh adalah bumbu-bumbunya: ada crazy rich nan jelita bernama Helena Lim. Saya jadi ingin kenal. Setidaknya ingin lihat koleksi sepatunya.
Saya juga dibuat sibuk cari tahu: siapa Helena. Ternyata selebriti. Saya cari instagramnyi: sudah tidak ada. Saya cari album lagunyi. Di YouTube. Ketemu: judulnya Pasrah. Feat dengan penyanyi Tiffany Leonardy –siapa pula dia.
Saya tidak terlalu bisa menikmati lagu Helena, tapi video klipnyi memang sesuai dengan ke-crazy-annyi: rumah mewah, kolam renang, Lamborghini berderet, dan kalung gemerlap.
Wow!
Ketika saya mendekati kota Meizhou muncul pula bumbu timah yang tak kalah sedap: suami penyanyi Sandra Dewi ditangkap: Harvey Moeis. Juga sangat kaya. Saking kayanya perkawinan mereka dilaksanakan di salah satu istana di Disneyland Jepang.
Sandra Dewi dan Harvey Moeis Menikah 2016-Pernikahan digelar di Disneyland Jepang-Bridestory
Maka lengkap sekali drama kasus korupsi timah di Bangka ini. Harta, wanita, takhta –takhtanya: jabatan direktur utama BUMN PT Timah Tbk dan dirkeu-nya.
Bumbu-bumbu itu, di media, mengalahkan substansinya: bagaimana konstruksi korupsinya kok sampai begitu besar.
Sedikit kisi ada disebut: angka itu termasuk kerusakan lingkungan. Tapi saya belum menemukan rincian dari Rp 270 triliun itu berapa yang berupa kerusakan lingkungan. Jangan-jangan lebih besar.
Disebut juga sedikit kisi: ada kerja sama antara PT Timah dengan sekelompok perusahaan swasta.
Di situ disebut soal penambangan ilegal. Lalu soal peralatan processing timah milik swasta.
Tapi tidak ada media yang memberitakan di mana letak korupsinya. Saya pun jadinya hanya menduga-duga.
Reza Pahlevi, dirut PT Timah di tahun kerja sama itu (2016?) adalah orang keuangan. Ia memang sarjana geologi dari Trisakti Jakarta, tapi setelah itu lebih mendalami soal keuangan. Ia meraih gelar MBA dari Cleveland, Ohio, Amerika.
Sebelum jadi dirut Timah pun Reza menjabat direktur keuangan PGN, juga BUMN.
Sebagai orang keuangan mungkin Reza pusing melihat keadaan PT Timah: lahan garapannya mahaluas. Di darat dan di laut. Di sekitar Bangka dan Belitung.
Yang lebih tidak masuk akal lagi: ekspor timah swasta lebih besar dari ekspor timah PT Timah. Pertanyaannya: dari mana swasta itu dapat timah. Padahal lahan garapannya sangat kecil.
Semua orang tahu apa yang terjadi. Anda pun tahu. Hanya tidak bisa bicara. Tidak berani. Apalagi direksi PT Timah. Sejak dulu. Sampai kini.
Saya tidak tahu apakah Reza, sebagai dirut saat itu, ingin keluar dari kemelut turun-temurun itu: dari pada cadangan timah milik PT Timah dicuri, lebih baik biarlah tetap dicuri tapi PT Timah dapat bagian.
Maka lebih baik pencurian itu dilegalkan. Dikoordinasi. Diolah di dalam negeri.
Kebetulan ada swasta yang sanggup mengoordinasi. Juga sanggup menampung hasil curian yang sudah dilegalkan itu. Lalu lumpur timahnya diolah di mesin mereka. Dimurnikan. Mirip pemurnian nikel.Kalau yang terjadi seperti itu saya angkat topi pada Reza. Ia bisa mengakhiri pencurian masal berwindu-windu di sana.
Asal demi PT Timah. Demi negara. Tidak ada kongkalingkong antara swasta dan pribadi-pribadi di manajemen PT Timah.
Jangan-jangan korupsinya di situ? Kelompok swasta tersebut mengalirkan sebagian keuntungan ke oknum PT Timah?
Jangan-jangan itu hanya perkiraan saya yang salah. Ternyata bukan itu sama sekali. Hanya jaksa yang tahu.
Maka saya harus sabar menunggu berita lanjutan: di mana letak korupsinya.
Toh besok saya masih harus ke Songkou –satu jam ke pedalaman Meizhou. Telanjur janji ke sana. Rencana awal saya ke Songkou dengan Mimi, cucu Tjong A Fie Medan. Itulah kampung halaman Tjong orang yang terkaya se Asia Tenggara di masa nan lalu.
Mimi di usianyi yang menjelang 70 tahun belum pernah ke Songkou –bahkan belum pernah ke Tiongkok.
Begitu saya ajak berangkat ke Meizhou, Mimi tiba-tiba tidak bisa meninggalkan Medan.
Saya yang merencanakan. Mimi yang memutuskan. (Dahlan Iskan)