Inilah salah satu video yang saya lihat lebih 10 kali. Tetap saja video itu bisa membuat saya tiba-tiba tertawa di bagian-bagian tertentunya.
Kesimpulan saya: Donald Trump lagi cemburu dengan Zohran Mamdani. Orang cemburu memang bisa aneh-aneh. Contohnya Anda. Trump cemburu Mamdani karena kepopulerannya, kecerdasannya, ketampanannya, dan terutama, karakternya.
Sulitnya cemburu tercampur dengan rasa kagum. Yang terakhir itu yang membuat Trump memutuskan: bertemu Mamdani. Ia tahu apa yang harus diperbuat menghadapi orang sepopuler Mamdani. Padahal Mamdani musuh besar politiknya. Saat Pilkada New York City Trump bertekad menghadangnya: jangan sampai Mamdani terpilih.
Pun sampai Trump berseru jangan pilih calon wali kota dari Partai Republik. Pilih calon independen saja –karena lebih berpotensi mengalahkan Mamdani. “Memilih calon dari Republik sama dengan memilih Mamdani,” ujar Trump seperti ditulis media di sana.
Alasannya: Mamdani itu komunis. Juga Demokrat ekstrem kiri; jihadis dan masih anak kecil yang belum tahu apa-apa.
Mamdani sendiri menilai Trump sebagai diktator. Bahkan menantang Trump dalam pidato kemenangannya dalam Pilkada New York City: raise your volume!
Itu sindiran keras bahwa seruan Trump selama masa kampanye ternyata tidak didengar oleh publik New York City. Atau kecamatan Trump padanya ternyata kurang galak.
Maka ketika akhirnya Trump justru mengundang Mamdani ke Gedung Putih semua analis bingung: apa yang sebenarnya terjadi.
Lawan maupun kawan Trump lantas menggunakan istilah yang sama untuk menggambarkan pertemuan itu: “Trump sedang main catur empat dimensi”.
Istilah politik ”main catur empat dimensi” dipakai sejak abad 16 atau 17. Permainan catur dua dimensi saja rumit. Maka betapa rumitnya catur empat dimensi. Mustahil. Tidak ada itu catur tiga dimensi –apalagi empat dimensi.
Tapi Trump memainkannya. Pendukung Republik yang tidak suka Trump sampai bersatire: “Jadi, sekarang kita harus berbaik-baik dengan komunis?” Ada satire yang lain lagi: “Ternyata komunis itu baik-baik saja”.
Kalimat-kalimat itu muncul setelah terlihat begitu hangatnya pertemuan antara Trump dan Mamdani. Itu tercermin dari konferensi pers yang videonya saya lihat berkali-kali itu.
Saya sangat terkesan dengan ekspresi dua tokoh tersebut. Begitu cair. Begitu natural. Begitu rukun. Ibarat dua orang yang sudah lama bersahabat.
Padahal itulah kali pertama Trump bertemu Mamdani –pun sebaliknya. Tapi sudah terlihat begitu akrabnya.
Salah satu adegan yang saya sukai adalah ketika wartawan wanita bertanya pada Mamdani: apakah ia akan menarik kembali penilaian buruknya pada Trump. Khususnya bahwa Trump itu diktator.
Mamdani terlihat akan menjawab pertanyaan dengan cepat. Beberapa kata sudah diucapkan. Tapi Trump lebih cepat menjawil lengan Mamdani: “bilang saja, ya,” katanya. Lalu Trump menepuk dua kali lengan Mamdani bagian atas –sambil Trump menatap wajahnya dengan senyum penuh arti.
“Ok,” jawab Mamdani lirih sambil menatap Trump sesapuan.
Setelah itu Trump menjelaskan bahwa ia tidak merasa keberatan dengan penilaian Mamdani itu. Banyak pihak lain yang memberi penilaian lebih buruk dari itu.
Salah satu bentuk permainan ”catur empat dimensi” itu terlihat dari setting konferensi pers itu sendiri. Trump duduk di kursi kepresidenannya. Mamdani di-setting hanya berdiri. Di sebelahnya. Kelihatannya sengaja di-setting hanya ada satu kursi di situ.
Mamdani seperti menerima saja itu dengan apa adanya. Mungkin ia tahu bahwa ia ”hanya” seorang wali kota terpilih. Tidak layak duduk di kursi yang bersebelahan dengan presiden. Dan itu lebih baik bagi Mamdani. Daripada duduk di kursi bersebelahan tapi dimaki-maki. Seperti yang dialami Presiden Zelenskyy dari Ukraina dulu.
Terhadap Mamdani kata-kata Trump penuh puja-puji. Terutama soal kenaikan tinggi ratingnya yang begitu cepat. Bagaimana bisa: dari bukan siapa-siapa, dari rating 2, terus naik melejit menjadi 6, 9, 16, dan akhirnya terpilih dengan suara lebih 50 persen.
Rasanya di situlah kecemburuan terbesar Trump. Tapi ia harus menerima kenyataan. Mamdani begitu populer. Tidak hanya di New York melainkan telah melanda seluruh negeri. Padahal Amerika sedang menghadapi Pemilu parlemen dan Pilkada tahun depan. Trump tidak ingin dominasi Republik di Kongres tergerus. Sampai pun ia harus ”main catur empat dimensi”.
Megawati juga pernah memainkan jenis catur ini. Yakni ketika memanggil Presiden Jokowi ke DPP-PDI Perjuangan. Anda masih ingat posisi duduk Jokowi yang di depan meja kerja Megawati itu. Permainan ”catur Mega” dibantu pula oleh putrinya, Puan Maharani, dengan memvideokannya –yang Anda pasti pernah geleng kepala melihatnya.
Rasanya Megawati kalah dalam permainan catur empat dimensi lawan Jokowi kala itu. Entah Trump kali ini. Yang jelas, rasanya, Mamdani juga terlihat tidak ingin menang sendiri. Ia begitu matang: bisa menempatkan diri di depan Trump; di depan presiden; di lokasi Gedung Putih pula.
Cara Mamdani berdiri, caranya menaruh tangan, cara ia bicara, anggukan-anggukan kecil kepalanya, ekspresi wajahnya sama sekali tidak ada cacat. Itu justru menambah simpati publik pada Mamdani.
Pun ketika Mamdani menyela pembicaraan Trump, caranya menyela sangat intelektual dan proporsional. Misalnya ketika Trump menyampaikan banyak juga pengikutnya yang memilih Mamdani. Dengan celetukan hanya tiga kata Mamdani menyela kalimat Trump itu dengan tepat: “one of ten” –dengan mimik wajah yang datar.
Itu berbeda sekali dengan cara Zelenskyy memotong pembicaraanTrump. Bikin Trump lebih marah. Lalu memaki Zelenskyy. Sedang celetukan Mamdani tidak membuat Trump terganggu.
Ada juga wartawan yang usil ke Trump. Terutama terkait dengan banyaknya ancaman pengusaha besar yang akan kabur dari New York. Terutama kalau Mamdani terpilih.
“Apakah Anda akan menyukai New York?”
“Iya,” jawab Trump. “Terutama setelah pertemuan tadi,” tambahnya. Berarti pertemuannya dengan Mamdani sangat mengesankannya.
Anda sudah tahu: Trump sudah lebih dulu meninggalkan New York. Pindah KTP ke Florida. Padahal ia lahir di New York dan mulai jadi konglomerat dari New York.
Mamdani sendiri setelah itu pergi ke pulau di laut Karibia yang masuk wilayah Amerika Serikat. Mamdani salat Jumat di situ. Di Centro Islamico del Caribe. Yakni di Masjid Ebadur Rahman. Itu salah satu masjid di San Juan, ibukota Puerto Rico.
Apa hubungannya?
Warga Puerto Rico adalah warga negara Amerika Serikat. Meski secara formal ibu kota Puerto Rico adalah San Juan, tapi ibu kota ”sebenarnya” adalah New York.
Lebih satu juta orang Puerto Rico tinggal di New York –terbanyak di luar Puerto Rico. Mereka yang tinggal di New York City umumnya memilih Mamdani. Ini bagian dari ”main catur dua dimensi” bagi Mamdani.
Ternyata Mamdani adalah orang Syi’ah yang salat Jumat. Di Iran salat Jumat tidak wajib. Saya pernah urung salat Jumat di sana karena di seluruh kota besar Teheran salat Jumatnya hanya di satu tempat. Tapi di Lebanon, di Beirut, saya salat Jumat di masjid Syi’ah –yang menganggap salat Jumat itu wajib.
Trump sendiri menyatakan akan membantu Mamdani untuk melaksanakan janji-janji kampanyenya –entah dalam hatinya. (DAHLAN ISKAN)


