Saya mendekati seorang ibu dengan anak remaja putrinyi. “Bolehkah berfoto bersama?” tanya saya sesopan mungkin.
“Boleh,” jawab sang ibu.
Si ibu pakai kerudung. Si remaja tanpa penutup kepala.
Itulah gambaran wanita di Damaskus, ibu kota Syria. Memang masih lebih banyak yang berkerudung tapi tidak sedikit yang tanpanya.
Yang berkerudung pun umumnya bukan kerudung panjang. Juga bukan kerudung yang menutup bahu. Kerudung mereka menutup rambut tapi dililitkan di leher. Dengan demikian kerudung itu tidak menyembunyikan leher yang jenjang.
Cara umumnya wanita Syria berpakaian mirip muslimah di Indonesia. Pakai kerudung tapi atasannya bisa apa saja: kaus, jaket, blus, kemeja, berbunga, dan seterusnya. Terasa lebih modis dan santai.
Pun bawahan mereka. Apa saja. Jeans, celana ketat, rok panjang, atau celana komprang. Benar-benar seperti gaya muslimah di Indonesia. Apalagi postur badan mereka juga tidak banyak beda dengan ukuran wanita Indonesia. Bukan seperti di Arab Saudi.
Hanya saja hidung mereka tetap mancung. Mata agak kebiruan. Kulit mereka putih –ini Arab putih.
Ada juga wanita yang mendatangi Janet. Minta berfoto. Tumben. Di Indonesia tidak ada yang minta foto bersama Janet. Apalagi di Amerika.
“Mungkin saya dikira Korea,” kata Janet merendah.
“Mereka mengira Anda bintang film Korea,” sahut saya.
Gus Najih menjelaskan: di Suriah pun film drama Korea disukai. Mereka kecanduan. Seperti kita juga.
Wanita di Suriah juga bekerja. Seperti wanita Muslimah di Indonesia. Juga ber-make-up –lebih berani.
Ketika diskusi dengan pemilik sebuah perusahaan di Damaskus, yang menjelaskan teknis detailnya juga seorang staf wanita. Pakai kaus T-shirt, celana jeans, rambut terurai.
Hanya ketika ke masjid Muawiyah, Janet harus pakai baju panjang, lengan panjang. Bentuknya seperti jas hujan berpenutup kepala. Warna kainnya biru muda mencolok. Bagian depannya tidak harus dikancing. Sebelum masuk halaman masjid ada tempat persewaan baju seperti itu: untuk para turis.
Ornamen luar masjid Muawiyah bisa bicara: masjid ini dulunya gereja. Yang diperluas. Ornamen Romawiyahnya bertebaran di luarnya. Di salah satu pojok halaman itu: makam jenderal besar perang salib Salahudin Al Ayyubi. Di sebelah jauhnya disebut ”pojok Al Ghazali” –di situlah filsuf Imam Al Ghazali menyelesaikan penulisan buku Ikhya Ulumuddin.
Di depan makam itu kami mendongak ke atas: ke puncak menara tua. Kepercayaan yang pernah ada: kelak, Nabi Isa –Jesus– akan kembali turun ke bumi lewat menara itu.
Belum banyak turis yang masuk masjid ini. Waktu salat asar baru saja berlalu. Senja menjelang. Udara sejuk. Terlihat 10-an wanita berbaju biru-muda-mencolok di halaman masjid. Mereka masuk masjid lewat pintu yang berbeda dengan laki- laki. “Aturan ini berlaku sejak pemerintahan baru berkuasa,” ujar Gus Najih.
Ada plaza berlantai batu di samping masjid. Lebih ramai lagi. Plaza itu menghubungkan pintu samping masjid dengan gerbang pasar.
Kami masuk pasar itu. Ingatan saya: seperti ketika masuk pasar kuno di Xinjiang, Tiongkok. Hampir persis. Lengkung koridor utamanya, lorong-lorong percabangannya, cara menempatkan barang di tiap kiosnya.
Berarti kuat sekali pengaruh desain pasar di Syria masa silam ke pasar Xinjiang masa lalu. Pasti ini pengaruh perdagangan jalur sutera.
Di pedalaman pasar itu kami hanya beli satu barang: es krim. Es krim kuno. Icon di pasar itu. Icon di seluruh negara. Pun saya yang sudah tahunan tidak makan es krim harus merasakannya.
Porsinya besar. Pembelinya berjubel. Pembuatan es krimnya manual. Sampai ada empat lumpang pembuat es krim di kios itu. Lumpangnya stainless steel. Sebesar dandang. Alu kecilnya berkepala besar. Alu itu untuk menumbuk bahan di dalam lumpang.
Es krimnya fresh from the lumpang.
Azan magrib pun menggema keras di dalam pasar yang padat manusia ini –70 persennya wanita. Tidak ada yang hirau. Semua tetap di kesibukan mereka. Tidak ada ekspresi wajah yang berubah.
Sampai malam pasar ini tetap ramai. Malam yang redup. Nyala listriknya seperti rembulan yang tertutup awan.
“Kita ke kampung Kristen dan Yahudi,” ajak Gus Najih.
“Di mana?” tanya saya.
“Di situ. Di depan masjid,” jawabnya. “Mepet dengan masjid,” tambahnya.
Itulah kampung Arab Kristen. Tidak pernah terganggu. Sepanjang masa. Pun di masa pemerintahan baru yang dipimpin mantan petinggi Taliban sekarang ini.
Kampung ini sudah sepi. Lorong-lorongnya gelap. Tapi tidak ada perasaan tidak aman berjalan malam di Damaskus. Apalagi sambil memegang es krim.
Di kota Aleppo, keesokan harinya, kami juga jalan-jalan malam. Menyusuri jalan-jalan kecil kota. Tidak ada perasaan takut. Atau waswas. Pun Janet. Bahkan di beberapa lokasi ada anak kecil yang menyapa Janet: ni hao!
Sampai matahari tenggelam pun toko-toko alat listrik di Aleppo masih buka. Begitu semangat mereka berjualan. Kian malam kian banyak kafe yang buka. Wanita yang ke kafe di Aleppo, 80 persen tanpa penutup kepala.
Pukul 21.00 kami kembali ke hotel. Sepanjang hari belum istirahat. Mulai terasa mengantuk.
Tiba di lobi hotel terlihat begitu banyak wanita Arab. Pakaian umumnya hitam. Pakaian pesta. Ternyata ada pengantin di hotel itu. Para wanita terus berdatangan. Naik ke ballroom di lantai dua.
Saya minta Gus Najih bertanya ke wanita 5i yang duduk di sofa di sebelah saya.
“Apakah pengantinnya sudah tiba?”
Kalau belum, kami ingin menunggu kedatangannya. Seperti apa.
“Belum. Pengantin baru tiba pukul 22.00 nanti,” jawabnyi.
Pengantin baru tiba jam 10 malam? Begitulah adatnya. Di dunia Arab. Malam itu pestanya hanya untuk wanita. Undangan laki-laki di lain hari.
Kami pun siap-siap tidak bisa tidur nyenyak. Pesta itu nanti akan full music. Sampai pukul dua malam. Mereka melepas pakaian luar warna hitam itu. Di dalamnya sudah dikenakan pakaian pesta untuk bersaing sesama wanita. Jilbab pun mereka lepas. Akan terlihat tatanan rambut aslinya. Termasuk catnya warna apa.
Saya ingin sekali mengintipnya. Tapi seandainya berhasil pun pandangan saya akan kabur. Mata ini seperti tinggal lima watt. Meski tegangan listrik di bawah tinggi, voltase tegangan atasnya payah.(Dahlan Iskan)