33.7 C
Jakarta
Friday, June 27, 2025

Separo Jalan

Inilah daging bagi Danantara: membangun pabrik baru yang hasilnya 100 persen laku. Pabrik itu sudah hampir selesai dibangun. Dua-tiga bulan lagi sudah bisa berproduksi.

Itulah pabrik alumina. Di Kalbar. Dekat pelabuhan baru Kijing di luar kota Pontianak. Bahan baku alumina Anda sudah tahu: bauksit. Di Kalbar banyak sekali tambang bauksit.

Alumina dari Kalbar itu nanti dikirim sepenuhnya ke Inalum di  Sumut. Menjadi bahan baku peleburan alumunium  di Tanjung Balai, dekat muara sungai Asahan itu.

Berarti satu lagi hilirisasi terwujud: bauksit. Kalau hasil hilirisasi nikel di Morowali untuk dikirim ke Tiongkok, yang bauksit ini untuk kepentingan dalam negeri. Dengan hilirisasi di Kalbar ini Inalum tidak akan impor lagi bahan baku. Selama ini Inalum impor alumina dari Australia. Sejak dulu. Sejak Inalum didirikan dan dimiliki oleh perusahaan Jepang.

Melakukan hilirisasi bauksit di Kalbar hampir mustahil: tidak cukup ada listrik di sana. Tidak pula ada air terjun yang bisa untuk PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air). Kalau membangun pembangkit dari minyak solar harga listriknya mahal sekali.

Pilihan terbaiknya adalah PLTU batubara. Tapi pemerintah sudah telanjur bertekad tidak akan memberi izin baru untuk PLTU batubara. Alasannya: untuk memenuhi komitmen internasional dalam mengurangi emisi.

Khusus untuk pabrik alumina di Kalbar rupanya ada izin khusus. Proyek ini terlalu penting untuk dilewatkan. Kepentingan dalam negerinya sangat besar. Maka diizinkanlah pembangunan PLTU batubara di sana: 3 x 25MW. Cukup untuk kepentingan pabrik alumina itu.

Tentu Kalbar harus mendapat izin khusus itu. Morowali saja bisa dapat izin. Di sana juga dibangun PLTU batubara baru. Untuk smelter nikel. Padahal produknya untuk dikirim ke Tiongkok.

Anda pun menjadi tahu: salah satu alasan Indonesia dikenakan tarif tinggi oleh Presiden Donald Trump adalah PLTU. Indonesia masih membangun pembangkit listrik baru tenaga batubara.

Baca Juga :  Tesla Halmahera

Awalnya saya kaget: itu tidak benar. Indonesia sudah menghentikan izin baru PLTU batubara. Bahkan PLTU yang ada pun akan dipensiunkan dini. Demi memenuhi komitmen internasional di bidang pengurangan emisi.

Saat saya ke Pontianak Senin lalu saya merasa malu sendiri. Ternyata Indonesia memang masih mengizinkan pembangunan PLTU baru batubara. Hanya saja bukan di lingkungan PLN. Bukan pula milik swasta yang listriknya dijual ke PLN. Semua PLTU baru itu kaitannya dengan smelter: nikel, tembaga dan bauksit.

Tiongkok sebenarnya juga melakukan hal yang sama. Di sana saat ini juga sedang dibangun PLTU-PLTU baru batubara. Ribuan MW. Tiongkok mengabaikan kritik internasional demi memenuhi kebutuhan listrik dalam negerinya.

Dengan adanya PLTU 3 x 25 MW di Kalbar pabrik alumina terbangun. Kita pun mampu memproduksi sendiri baham baku untuk peleburan alumunium  di Inalum.

Kalau pabrik di Kalbar memproduksi alumina, Inalum di Asahan memproduksi  alumunium batangan –ingot. Alumunium batangan dijual ke pabrik-pabrik alumunium untuk memproduksi panci, wajan, kerangka atap rumah, kusen pintu dan banyak lagi. Kini praktis alumunium sudah meggantikan fungsi kayu yang kian mahal.

Inalum itu awalnya milik Jepang. Mengapa Jepang membangun  peleburan itu di muara sungai Asahan? Bukankah tidak ada bahan baku di sana?

Alasannya satu: listriknya murah. Peleburan apa pun memerlukan listrik yang sangat besar. Di Asahan ada air terjun di dekat danau Toba. Jepang mengincar air terjun itu. Di situ dibangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Listriknya, sebanyak 600 MW, dialirkan sejauh 60 km dari Toba ke pantai Kuala Tanjung –lokasi pabrik Inalum.

Anda sudah tahu: listrik hasil PLTA murahnya luar biasa. Maka Inalum sukses besar. Kalau saja listriknya dibangkitkan dengan BBM, maka biaya listriknya bisa  50 persen sendiri. Tapi tidak semua wilayah punya air terjun. Di Kalbar, Morowali, Halmahera tidak mungkin dibangun PLTA. Padahal di wilayah-wilayah itu kaya nikel dan bauksit.

Baca Juga :  Eksis Belum

Maka pilihannya tidak lain batubara. Tanpa batubara tidak mungkin nikel dan bauksit itu bisa dilakukan hilirisasi. Apa boleh buat. PLTU baru terpaksa diizinkan, khusus untuk mereka.

Siapa pemilik pabrik baru peleburan alumina di dekat Pontianak itu? Tiongkok lagi? Bukan! Pemiliknya adalah Inalum. Bersama Antam. Seratus persen BUMN. Tanpa pinjaman asing pula. Bahkan tanpa pinjaman bank dalam negeri.

Uangnya dari mana?

“Lho bapak lupa?” jawab Agus Tjahyana, seorang manajer proyek di situ.

“Apa hubungannya dengan saya?”

“Waktu bapak ambil alih Inalum dari Jepang uang kasnya kan banyak sekali…”

Tentu saya ingat. Tapi tidak benar kalau saya yang mengambil alih Inalum. Yang bekerja paling keras adalah menteri perindustrian waktu itu: Mohamad Hidayat. Terutama tim negosiasinya yang dipimpin sekjen Kementerian Perindusterian. Tentu kami semua mendapat restu dari Presiden SBY saat itu.

Waktu kita ambil alih sebenarnya pihak Jepang sangat keberatan. Jepang ingin sekali tetap menjadi pemilik Inalum –kontraknya minta diperpanjang.

Kami tidak perpanjang –dengan cara yang sangat baik. Jadilah milik BUMN sepenuhnya.

Keputusan Inalum untuk kemudian membuat pabrik bahan baku di Kalbar tentu bersejarah. Keputusan Inalum itu jauh lebih bagus dibanding Antam yang membangun smelter serupa di Tayan –juga di Kalbar tapi jauh dari pelabuhan besar.

Kebutuhan alumunium kita terus bertambah. Kian banyak barang terbuat dari alumunium. Perlu banyak lagi pabrik hilirisasi di Kalbar. Perlu ijin khusus lagi untuk menambah PLTU di lokasi lain. Kita sudah separo jalan menuju mandiri alumunium –kenapa takut Donald Trump dengan segala tarifnya. (Dahlan Iskan)

Inilah daging bagi Danantara: membangun pabrik baru yang hasilnya 100 persen laku. Pabrik itu sudah hampir selesai dibangun. Dua-tiga bulan lagi sudah bisa berproduksi.

Itulah pabrik alumina. Di Kalbar. Dekat pelabuhan baru Kijing di luar kota Pontianak. Bahan baku alumina Anda sudah tahu: bauksit. Di Kalbar banyak sekali tambang bauksit.

Alumina dari Kalbar itu nanti dikirim sepenuhnya ke Inalum di  Sumut. Menjadi bahan baku peleburan alumunium  di Tanjung Balai, dekat muara sungai Asahan itu.

Berarti satu lagi hilirisasi terwujud: bauksit. Kalau hasil hilirisasi nikel di Morowali untuk dikirim ke Tiongkok, yang bauksit ini untuk kepentingan dalam negeri. Dengan hilirisasi di Kalbar ini Inalum tidak akan impor lagi bahan baku. Selama ini Inalum impor alumina dari Australia. Sejak dulu. Sejak Inalum didirikan dan dimiliki oleh perusahaan Jepang.

Melakukan hilirisasi bauksit di Kalbar hampir mustahil: tidak cukup ada listrik di sana. Tidak pula ada air terjun yang bisa untuk PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air). Kalau membangun pembangkit dari minyak solar harga listriknya mahal sekali.

Pilihan terbaiknya adalah PLTU batubara. Tapi pemerintah sudah telanjur bertekad tidak akan memberi izin baru untuk PLTU batubara. Alasannya: untuk memenuhi komitmen internasional dalam mengurangi emisi.

Khusus untuk pabrik alumina di Kalbar rupanya ada izin khusus. Proyek ini terlalu penting untuk dilewatkan. Kepentingan dalam negerinya sangat besar. Maka diizinkanlah pembangunan PLTU batubara di sana: 3 x 25MW. Cukup untuk kepentingan pabrik alumina itu.

Tentu Kalbar harus mendapat izin khusus itu. Morowali saja bisa dapat izin. Di sana juga dibangun PLTU batubara baru. Untuk smelter nikel. Padahal produknya untuk dikirim ke Tiongkok.

Anda pun menjadi tahu: salah satu alasan Indonesia dikenakan tarif tinggi oleh Presiden Donald Trump adalah PLTU. Indonesia masih membangun pembangkit listrik baru tenaga batubara.

Baca Juga :  Tesla Halmahera

Awalnya saya kaget: itu tidak benar. Indonesia sudah menghentikan izin baru PLTU batubara. Bahkan PLTU yang ada pun akan dipensiunkan dini. Demi memenuhi komitmen internasional di bidang pengurangan emisi.

Saat saya ke Pontianak Senin lalu saya merasa malu sendiri. Ternyata Indonesia memang masih mengizinkan pembangunan PLTU baru batubara. Hanya saja bukan di lingkungan PLN. Bukan pula milik swasta yang listriknya dijual ke PLN. Semua PLTU baru itu kaitannya dengan smelter: nikel, tembaga dan bauksit.

Tiongkok sebenarnya juga melakukan hal yang sama. Di sana saat ini juga sedang dibangun PLTU-PLTU baru batubara. Ribuan MW. Tiongkok mengabaikan kritik internasional demi memenuhi kebutuhan listrik dalam negerinya.

Dengan adanya PLTU 3 x 25 MW di Kalbar pabrik alumina terbangun. Kita pun mampu memproduksi sendiri baham baku untuk peleburan alumunium  di Inalum.

Kalau pabrik di Kalbar memproduksi alumina, Inalum di Asahan memproduksi  alumunium batangan –ingot. Alumunium batangan dijual ke pabrik-pabrik alumunium untuk memproduksi panci, wajan, kerangka atap rumah, kusen pintu dan banyak lagi. Kini praktis alumunium sudah meggantikan fungsi kayu yang kian mahal.

Inalum itu awalnya milik Jepang. Mengapa Jepang membangun  peleburan itu di muara sungai Asahan? Bukankah tidak ada bahan baku di sana?

Alasannya satu: listriknya murah. Peleburan apa pun memerlukan listrik yang sangat besar. Di Asahan ada air terjun di dekat danau Toba. Jepang mengincar air terjun itu. Di situ dibangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Listriknya, sebanyak 600 MW, dialirkan sejauh 60 km dari Toba ke pantai Kuala Tanjung –lokasi pabrik Inalum.

Anda sudah tahu: listrik hasil PLTA murahnya luar biasa. Maka Inalum sukses besar. Kalau saja listriknya dibangkitkan dengan BBM, maka biaya listriknya bisa  50 persen sendiri. Tapi tidak semua wilayah punya air terjun. Di Kalbar, Morowali, Halmahera tidak mungkin dibangun PLTA. Padahal di wilayah-wilayah itu kaya nikel dan bauksit.

Baca Juga :  Eksis Belum

Maka pilihannya tidak lain batubara. Tanpa batubara tidak mungkin nikel dan bauksit itu bisa dilakukan hilirisasi. Apa boleh buat. PLTU baru terpaksa diizinkan, khusus untuk mereka.

Siapa pemilik pabrik baru peleburan alumina di dekat Pontianak itu? Tiongkok lagi? Bukan! Pemiliknya adalah Inalum. Bersama Antam. Seratus persen BUMN. Tanpa pinjaman asing pula. Bahkan tanpa pinjaman bank dalam negeri.

Uangnya dari mana?

“Lho bapak lupa?” jawab Agus Tjahyana, seorang manajer proyek di situ.

“Apa hubungannya dengan saya?”

“Waktu bapak ambil alih Inalum dari Jepang uang kasnya kan banyak sekali…”

Tentu saya ingat. Tapi tidak benar kalau saya yang mengambil alih Inalum. Yang bekerja paling keras adalah menteri perindustrian waktu itu: Mohamad Hidayat. Terutama tim negosiasinya yang dipimpin sekjen Kementerian Perindusterian. Tentu kami semua mendapat restu dari Presiden SBY saat itu.

Waktu kita ambil alih sebenarnya pihak Jepang sangat keberatan. Jepang ingin sekali tetap menjadi pemilik Inalum –kontraknya minta diperpanjang.

Kami tidak perpanjang –dengan cara yang sangat baik. Jadilah milik BUMN sepenuhnya.

Keputusan Inalum untuk kemudian membuat pabrik bahan baku di Kalbar tentu bersejarah. Keputusan Inalum itu jauh lebih bagus dibanding Antam yang membangun smelter serupa di Tayan –juga di Kalbar tapi jauh dari pelabuhan besar.

Kebutuhan alumunium kita terus bertambah. Kian banyak barang terbuat dari alumunium. Perlu banyak lagi pabrik hilirisasi di Kalbar. Perlu ijin khusus lagi untuk menambah PLTU di lokasi lain. Kita sudah separo jalan menuju mandiri alumunium –kenapa takut Donald Trump dengan segala tarifnya. (Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru