33 C
Jakarta
Wednesday, November 26, 2025

Jembatan Merah

Setelah dari Wamena, barulah saya ke Jayapura. Kali ini membawa bagasi: talas Wamena.

Dalam perjalanan Sentani-Jayapura saya tidak ingin tidur di mobil –seberapa pun mengantuknya. Saya ingin tahu perubahan apa saja yang terjadi selama 10 tahun terakhir.

Anda sudah tahu dari bandara Sentani perlu waktu 1,5 jam ke Jayapura. Itu karena mobil tidak bisa melaju cepat. Padahal jalan menuju Jayapura kini sudah dua jalur. Dua lajur di kiri dan dua lajur di kanan. Tetap saja berliku.

Begitu keluar dari Bandara Sentani yang terlihat adalah kekumuhan dan keruwetan kota kecil ini. Ini tipikal kota pendatang. Sentani adalah ibu kota Kabupaten Jayapura.

Padahal yang terus hidup di pikiran saya: Sentani itu indah. Dari udara pun indahnya bukan main. Kalau dipertandingkan pemandangan mana paling indah sebelum pesawat mendarat adalah Sentani.

Bandara ini dekat Danau Sentani –yang teduh dan permai. Danau di kanan, laut di kiri. Sungguh indahnya –dilihat dari jendela pesawat. Pemandangan sebelum mendarat di Bali pun tidak seindah di Sentani.

Setelah meninggalkan batas kota Sentani barulah muncul yang indah-indah itu. Gunung-gunung hijau. Jalan mulus berkelok. Liukan menyusuri tepian danau Sentani. Teduhnya air danau yang mengaca, itulah Sentani aslinya.

Electronic money exchangers listing

Sekitar 10 km setelah meninggalkan kota Sentani masih terlihat tugu lama yang kecil itu. Tugu helikopter. Sudah tidak terawat. Itu patung untuk menandai jatuhnya helikopter yang dikemudikan suami pertama Megawati Soekarnoputri. Ia tewas di danau itu.

Sebenarnya jarak Sentani-Jayapura sudah dibuat lebih pendek: Presiden Jokowi sudah membangun jalan by-pass. Panjangnya 3,7 km. Itu bisa mempercepat waktu setengah jam. Tidak perlu lagi ikut lika-liku bukit terliku.

Baca Juga :  Kokkang Ibunda

Tapi sudah lima tahun jalan itu ditutup –tertimbun longsoran tebing. Belum ada perbaikan hingga sekarang.

Kalau Sentani punya danau, Jayapura punya teluk. Teluknya tidak kalah indahnya. Perpaduan antara teluk dan gunung-gunung di Jayapura itu sungguh tidak dimiliki kota lain di Indonesia.

Teluknya begitu tenang. Itu karena di mulut teluk terpajang gugusan pulau-pulau kecil. Pulau-pulau itu menambah-nambah pula keindahan teluk Jayapura. Juga menjadi penghadang ombak alami dari Samudera Pacific.

Hotel tempat saya menginap di bibir keindahan teluk itu: Swiss-Bell Hotel. Dulu tidak ada hotel ini. Kamar saya seperti mepet airnya. Dari kamar saya sudah langsung terlihat air nan jernih. Di kejauhan terlihat dua pulau kecil –salah satunya ditancapi salib besar.

 

Di sudut lain jendela terlihat bukit tinggi. Di puncaknya terbaca tulisan ini: I Love Jayapura City. ”Love”-nya pakai gambar hati.

Di malam hari tulisan itu terlihat lebih indah: berupa lampu putih bercahaya. Gambar hatinya warna merah. Cahayanya memantul ke permukaan laut berkelindan dengan pantulan cahaya-cahaya lampu lainnya.

Untuk makan malam kami dipilihkan lokasi baru yang belum pernah saya bayangkan: di Pantai Jembatan Merah. Ini kawasan baru. Dulunya bernama kampung Holtekam.

Jembatan Merah itu dibangun menjelang Pekan Olahraga Nasional di Jayapura tahun 2021 lalu. Dengan adanya jembatan itu pantai Holtekam menjadi icon baru di Jayapura. Dari kampung nelayan menjadi pusat kuliner water front.

Keindahan teluk ini bertambah lagi lantaran ada anak teluknya –di belakang jembatan itu. Di bagian terdalam teluk Jayapura itulah terbentuk anak teluk yang lebih kecil. Teluk dan anak teluk itu dibatasi oleh daratan tipis seperti tangan panjang yang ingin menggapai daratan di seberangnya. Tangan itu seperti kurang panjang. Tidak sampai menggapai daratan di seberang. Kurang sekitar 100 meter.

Baca Juga :  Ruwet Indah

Kini sudah ada jembatan yang menghubungkan ujung tangan itu dengan daratan di seberangnya. Jembatan itu pun menjadi faktor tambahan keindahan. Seperti melengkung di atas laut. Ia menjadi penghias antara teluk dan anak teluk.

Kami makan di pantai baru di dekat Jembatan Merah itu. Saya memuji arsitektur pantai resto ini. Restonya besar sekali. Terdiri dari banyak sektor. Ada sektor sisi kolam renang untuk anak-anak.

Ada sektor mirip bunga-bunga teratasi –tiap satu bunga satu meja di atas air. Ada sektor gasebo-gasebo. Ada sektor lesehan di dekat air pantai. Ada ruangan-ruangan formal ber-AC. Masih beberapa lagi. Pohon-pohon ketapang lama pun  dipertahankan.

Usai makan saya ke pantai kecilnya. Berpasir. Sambil kaki menyampari paris mata menatap Jembatan Merah yang bercahaya. Terlihat begitu dekatnya.

Cahaya gemerlap dari restoran lain juga menambah keramaian cahaya pantai. Setidaknya ada lima resto besar sejenis di sepanjang pantai Jembatan Merah. Gayanya semua gaya pantai. Saya baca satu per satu nama resto itu: Djimbaran, Marlin, Lyma, Sultan, dan tempat saya makan itu: Juragan Dapur.

Semua resto besar itu bergaya pantai Holtekam –kini lebih dikenal sebagai pantai Jembatan Merah. Saya tidak menyangka Jayapura sudah punya pusat tujuan wisata kuliner sekelas ini. Bukan lagi seperti pada umumnya pantai di daerah-daerah: yang hanya dipenuhi warung sederhana yang kurang tertata.

Saya bayangkan betapa gatal tangan para ahli tata kota dan arsitek perkotaan melihat potensi Jayapura yang kaya alam seperti itu.

Jayapura akan jadi kota terindah di Indonesia –pada saatnya. (Dahlan Iskan)

Setelah dari Wamena, barulah saya ke Jayapura. Kali ini membawa bagasi: talas Wamena.

Dalam perjalanan Sentani-Jayapura saya tidak ingin tidur di mobil –seberapa pun mengantuknya. Saya ingin tahu perubahan apa saja yang terjadi selama 10 tahun terakhir.

Anda sudah tahu dari bandara Sentani perlu waktu 1,5 jam ke Jayapura. Itu karena mobil tidak bisa melaju cepat. Padahal jalan menuju Jayapura kini sudah dua jalur. Dua lajur di kiri dan dua lajur di kanan. Tetap saja berliku.

Electronic money exchangers listing

Begitu keluar dari Bandara Sentani yang terlihat adalah kekumuhan dan keruwetan kota kecil ini. Ini tipikal kota pendatang. Sentani adalah ibu kota Kabupaten Jayapura.

Padahal yang terus hidup di pikiran saya: Sentani itu indah. Dari udara pun indahnya bukan main. Kalau dipertandingkan pemandangan mana paling indah sebelum pesawat mendarat adalah Sentani.

Bandara ini dekat Danau Sentani –yang teduh dan permai. Danau di kanan, laut di kiri. Sungguh indahnya –dilihat dari jendela pesawat. Pemandangan sebelum mendarat di Bali pun tidak seindah di Sentani.

Setelah meninggalkan batas kota Sentani barulah muncul yang indah-indah itu. Gunung-gunung hijau. Jalan mulus berkelok. Liukan menyusuri tepian danau Sentani. Teduhnya air danau yang mengaca, itulah Sentani aslinya.

Sekitar 10 km setelah meninggalkan kota Sentani masih terlihat tugu lama yang kecil itu. Tugu helikopter. Sudah tidak terawat. Itu patung untuk menandai jatuhnya helikopter yang dikemudikan suami pertama Megawati Soekarnoputri. Ia tewas di danau itu.

Sebenarnya jarak Sentani-Jayapura sudah dibuat lebih pendek: Presiden Jokowi sudah membangun jalan by-pass. Panjangnya 3,7 km. Itu bisa mempercepat waktu setengah jam. Tidak perlu lagi ikut lika-liku bukit terliku.

Baca Juga :  Kokkang Ibunda

Tapi sudah lima tahun jalan itu ditutup –tertimbun longsoran tebing. Belum ada perbaikan hingga sekarang.

Kalau Sentani punya danau, Jayapura punya teluk. Teluknya tidak kalah indahnya. Perpaduan antara teluk dan gunung-gunung di Jayapura itu sungguh tidak dimiliki kota lain di Indonesia.

Teluknya begitu tenang. Itu karena di mulut teluk terpajang gugusan pulau-pulau kecil. Pulau-pulau itu menambah-nambah pula keindahan teluk Jayapura. Juga menjadi penghadang ombak alami dari Samudera Pacific.

Hotel tempat saya menginap di bibir keindahan teluk itu: Swiss-Bell Hotel. Dulu tidak ada hotel ini. Kamar saya seperti mepet airnya. Dari kamar saya sudah langsung terlihat air nan jernih. Di kejauhan terlihat dua pulau kecil –salah satunya ditancapi salib besar.

 

Di sudut lain jendela terlihat bukit tinggi. Di puncaknya terbaca tulisan ini: I Love Jayapura City. ”Love”-nya pakai gambar hati.

Di malam hari tulisan itu terlihat lebih indah: berupa lampu putih bercahaya. Gambar hatinya warna merah. Cahayanya memantul ke permukaan laut berkelindan dengan pantulan cahaya-cahaya lampu lainnya.

Untuk makan malam kami dipilihkan lokasi baru yang belum pernah saya bayangkan: di Pantai Jembatan Merah. Ini kawasan baru. Dulunya bernama kampung Holtekam.

Jembatan Merah itu dibangun menjelang Pekan Olahraga Nasional di Jayapura tahun 2021 lalu. Dengan adanya jembatan itu pantai Holtekam menjadi icon baru di Jayapura. Dari kampung nelayan menjadi pusat kuliner water front.

Keindahan teluk ini bertambah lagi lantaran ada anak teluknya –di belakang jembatan itu. Di bagian terdalam teluk Jayapura itulah terbentuk anak teluk yang lebih kecil. Teluk dan anak teluk itu dibatasi oleh daratan tipis seperti tangan panjang yang ingin menggapai daratan di seberangnya. Tangan itu seperti kurang panjang. Tidak sampai menggapai daratan di seberang. Kurang sekitar 100 meter.

Baca Juga :  Ruwet Indah

Kini sudah ada jembatan yang menghubungkan ujung tangan itu dengan daratan di seberangnya. Jembatan itu pun menjadi faktor tambahan keindahan. Seperti melengkung di atas laut. Ia menjadi penghias antara teluk dan anak teluk.

Kami makan di pantai baru di dekat Jembatan Merah itu. Saya memuji arsitektur pantai resto ini. Restonya besar sekali. Terdiri dari banyak sektor. Ada sektor sisi kolam renang untuk anak-anak.

Ada sektor mirip bunga-bunga teratasi –tiap satu bunga satu meja di atas air. Ada sektor gasebo-gasebo. Ada sektor lesehan di dekat air pantai. Ada ruangan-ruangan formal ber-AC. Masih beberapa lagi. Pohon-pohon ketapang lama pun  dipertahankan.

Usai makan saya ke pantai kecilnya. Berpasir. Sambil kaki menyampari paris mata menatap Jembatan Merah yang bercahaya. Terlihat begitu dekatnya.

Cahaya gemerlap dari restoran lain juga menambah keramaian cahaya pantai. Setidaknya ada lima resto besar sejenis di sepanjang pantai Jembatan Merah. Gayanya semua gaya pantai. Saya baca satu per satu nama resto itu: Djimbaran, Marlin, Lyma, Sultan, dan tempat saya makan itu: Juragan Dapur.

Semua resto besar itu bergaya pantai Holtekam –kini lebih dikenal sebagai pantai Jembatan Merah. Saya tidak menyangka Jayapura sudah punya pusat tujuan wisata kuliner sekelas ini. Bukan lagi seperti pada umumnya pantai di daerah-daerah: yang hanya dipenuhi warung sederhana yang kurang tertata.

Saya bayangkan betapa gatal tangan para ahli tata kota dan arsitek perkotaan melihat potensi Jayapura yang kaya alam seperti itu.

Jayapura akan jadi kota terindah di Indonesia –pada saatnya. (Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru