Abayanyi hitam. Panjang. Sampai lantai. Kerudungnyi hitam. Rapat. Menutup seluruh rambut. Kacamatanyi besar. Modis.
Wanita ini seperti membantah bahwa usaha itu sulit. Dua tahun terakhir outletnya tambah 12 buah. Karyawannya terus bertambah.
Dia tidak mau ambil kredit bank.
Namanyi: Mulyani Hadiwijaya. Dipanggil Bu Mul.
Usahanyi: Dea Bakery.
Lokasinya: Kepanjen, Malang.
Kemarin saya berkunjung ke pabrik Dea Bakery. Tidak sendirian. Bersama saya 36 pengusaha kecil-menengah dari berbagai kota di Indonesia.
Disway Malang memang mengadakan “Business Adventure”. Bukan ke Tiongkok tapi ke Malang dan Batu. Mereka berkunjung ke beberapa UMKM yang layak untuk jadi sumber inspirasi. Salah satunya ke Dea Bakery. Saya didaulat oleh Disway Malang untuk tur bersama mereka.
“Masak ke Tiongkok melulu,” ujar Agung Pamujo, pimpinan Disway Malang.
Awalnya Bu Mul membuka toko di sebuah ruko di Kepanjen –tidak jauh dari stadion Kanjuruhan. Tokonyi sewa. Dia jualan bahan-bahan pembuat kue. Inilah toko Tbk pertama. Tbk di situ singkatan dari Toko Bahan Kue.
Lama-lama Bu Mul bikin kue sendiri. Dijajakan di depan toko Tbk-nyi. Laris. Roti pertama yang dia jual adalah donat.
“Kenapa donat?”
“Saya lihat anak-anak saya suka donat,” kata Bu Mul.
Dari situ Bu Mul lebih semangat jualan roti. Apa saja. Kemarin, kedatangan saya itu, dimanfaatkan untuk launching produk baru: Sultan Bluder Dea. Kini ratusan jenis bakery dihasilkan Dea.
“Dea itu nama anak bungsu saya,” ujarnyi.
Kini sang anak sudah punya anak. Dari tiga anaknyi Bu Mul punya enam cucu.
Di sela-sela dua hari kumpul ratusan pengusaha Tionghoa di Batu, saya sempat mengunjungi tiga UMKM. Tiga-tiganya berkembang pesat. Salah satunya akan saya tulis di lain waktu.
Berarti, sebenarnya di lapisan bawah pun banyak usaha yang bankable. Alasan bank sulit menyalurkan dana karena ekonomi lesu tidak sepenuhnya benar.
Tapi orang seperti Bu Mul tidak mau pakai kredit bank. Dia ekspansi dengan kekuatan sendiri. Semua outlet itu milik sendiri. Atau milik anak-anaknyi.
Cara berpakaian Bu Mul sangat syar’i. Pun ibunyi yang ikut hadir. Abaya dan kerudung sang ibu juga hitam. Rapat. Sang ibu sudah 80 tahun tapi masih sangat sehat.
Di layar promosi tertulis: “Dea, Roti Halal untuk Semua”. Tidak hanya halal. Masih ada lagi kalimat: “Halal dan Thoyib”.
Kalau “halal” berarti bahan-bahan yang dipakai tidak ada yang mengandung unsur haram, “thoyib” adalah cara mendapatkan semua bahan itu secara baik: tidak lewat cara curang, menipu, menyengsarakan orang lain, dan sebangsanya. Pun cara pengolahannya.
Lalu perusahaan Bu Mul mewajibkan karyawan “cuti khusus” dua minggu dalam setahun. Khusus untuk mukim di pondok. Memperdalam agama dan isi Al Quran. Secara bergilir. Bergantian.
Saya pun bertanya: “Apakah tidak mau ambil kredit bank itu lantaran takut riba?”
Jawab bu Mul agak di luar dugaan saya.
“Tidak,” katanyi. “Mungkin hanya karena saya wanita. Lebih banyak pakai otak kiri,” tambahnyi.
Lalu Bu Mul membuka rahasia gaya hidupnyi. “Saya ini orang yang selalu hidup di bawah garis kemampuan,” katanyi. Saya tertawa –terkecoh dengan kalimat plesetan itu.
“Dulu, ketika uang saya sedikit, saya sudah merasa cukup. Kini uang saya banyak juga hanya merasa cukup”.
Meski dua tahun terakhir mampu membuka 12 outlet baru, tidak berarti tiap tahun membuka outlet. Pernah beberapa tahun sengaja tidak mau buka outlet baru. Dia pilih benah-benah internal Dea. Termasuk hanya fokus pada kebersihan dan kesehatan di pabriknyi.
Cara bicara Bu Mul agak khas –menandakan bukan orang Malang. Bunyi ‘r’ nyi cedal.
“Saya Tionghoa,” katanyi.
Campuran?
“Asli. Bapak saya Tionghoa. Ibu saya Tionghoa,” katanyi.
Saya pun memperhatikan mata dan wajahnyi.
Saya pun bertanya ke Pak Lurah yang satu meja dengan saya. “Apakah Pak Lurah tahu kalau bu Mul ini Tionghoa?”
“Baru tahu sekarang,” katanya.
Saya juga baru tahu kemarin itu. Padahal saya sudah kenal bu Mul delapan tahun lalu. Waktu itu ada forum UMKM.
“Siapa yang sudah pernah merasakan bangkrut?” tanya saya di awal bicara.
Yang angkat tangan banyak sekali. Lebih 20 UMKM.
Lalu pertanyaan saya ubah: siapa yang pernah bangkrut lebih lima kali?
Satu wanita berjilbab angkat tangan. Itulah Bu Mul.
“Sudah pernah bangkrut berapa kali?”
“Delapan kali,” katanyi.
Maka kunjungan saya kemarin itu sebenarnya kunjungan kangen-kangenan. Saya tidak menyangka Bu Mul, yang delapan tahun lalu masih UMKM kecil yang belum lama bangkit dari bangkrut ke delapan kalinyi, kini sudah punya pabrik Dea dengan 52 outlet milik sendiri semua.
Bedanya orang berjiwa pengusaha dan bukan adalah itu: yang punya jiwa pengusaha akan selalu bangkit meskipun baru saja jatuh.(Dahlan Iskan)
