31.1 C
Jakarta
Saturday, October 25, 2025

Jangan Ganggu

Hampir seribu orang kumpul. Semua pengusaha. Tionghoa. Di Batu, dekat Malang. Kamis malam, 23 Oktober 2025.

Saya tahu perasaan mereka –dan perasaan pengusaha pada umumnya: ke mana arah pembangunan ekonomi Indonesia ke depan.

Maka ketika saya diminta berbicara di depan mereka gambaran itu saya paparkan. Singkat. Sepengetahuan saya saja –yang bukan orang pemerintah.

Mereka bukan hanya pengusaha. Mereka juga aktivis. Utamanya di bidang sosial. Organisasi mereka disebut “Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia, PSMTI”. Saya menjadi bagiannya. Mereka sedang rapat kerja nasional.

Saya tahu: mereka sangat ingin Indonesia menjadi negara maju. Begitulah umumnya keinginan pengusaha. Agar usaha mereka ikut maju.

Saya juga tahu: dulu, mereka sangat pro Jokowi. Sebagian kurang suka Prabowo –utamanya sejak kerusuhan tahun 1998. Tapi mereka adalah orang-orang yang realistis. Begitu Prabowo menjadi presiden mereka menerimanya sebagai kenyataan.

Saya pun ingin meyakinkan mereka: Perubahan arah ekonomi yang dilakukan Prabowo bertujuan baik. Yakni agar Indonesia bisa keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah –yang membuat Indonesia tidak mungkin bisa menjadi negara maju.

Saya pun menunjukkan fakta bahwa selama 10 tahun terakhir jumlah kelas menengah kita turun. Sampai delapan juta orang. Pendapatan per kapita rakyat kita baru USD 4.800. Padahal kalau Indonesia ingin menjadi negara maju angka itu harusnya USD 12.000.

Maka tidak boleh lagi cara lama dilakukan. Itulah sebabnya Presiden Prabowo menginginkan cara baru. Cara serupa pernah ditempuh Taiwan dan Korea Selatan. Juga cara yang pernah ditempuh Amerika Serikat di masa nan lalu.

Baca Juga :  Relawan Lain

Cara baru itu: menggerakkan ekonomi lapisan menengah dan bawah. Menumbuhkan sebanyak mungkin pengusaha kecil yang “kecil tapi cabe rawit”. Bukan pengusaha kecil yang cengeng.

Di sinilah sensitifnya.

Bisa saja kebijakan “pro yang kecil” itu disalahtafsirkan sebagai sekaligus “anti yang besar”.

Saya lihat ada kecenderungan salah tafsir seperti itu. Maka di masa-masa perubahan arah ini, komunikasi sosial harus benar-benar dijaga. Tidak boleh terjadi salah tafsir.

Harus ada kampanye besar-besaran bahwa “pro orang kecil” tidak harus berarti “anti yang besar”. Harusnya muncul slogan baru: “Yang kecil dibantu, yang besar dijaga”.

Jangan sampai salah tafsir menjadi “Yang kecil dibantu, yang besar dibenci”.

Kalau sampai terjadi salah tafsir seperti itu akan berbahaya. Yang besar akan waswas. Tidak tenang. Lalu terjadilah gerakan kabur saja.

Lantas sikap apa yang harus diambil para pengusaha besar?

Pertama: menyadari bahwa cara lama terbukti hanya membuat Indonesia masuk jebakan pendapatan kelas menengah. Cara lama tidak akan bisa membuat Indonesia menjadi negara maju.

Kedua: menyadari bahwa perubahan arah ekonomi memang diperlukan –untuk membuat Indonesia bisa menjadi negara maju.

Ketiga: memahami dan bisa menerima bila pemerintah akan lebih banyak memperhatikan dan membantu pengusaha kecil.

Keempat: menyadari bahwa tanpa bantuan pemerintah pengusaha besar sudah harus bisa berjalan sendiri. Sudah punya modal. Sudah punya network.

Kelima: membantu pemerintah menyukseskan arah baru ekonomi itu.

Tentu para pengusaha besar juga punya keinginan. Keinginan terbesar mereka, saya coba rumuskan dalam satu kalimat seruan ini:

Baca Juga :  Kaus Oblong

“Kami, para pengusaha besar, tidak perlu dibantu. Bantulah para pengusaha kecil. Tapi kami jangan diganggu!”

Tidak dibantu, tapi jangan diganggu. Itu cukup. Jangan diganggu.

Apakah selama ini pengusaha banyak diganggu? Siapa saja pengganggunya?

Gangguan itu banyak sekali. Sampai taraf menyebalkan. Yang mengganggu juga banyak pihak. Mulai dari yang tidak berbaju, yang berbaju, sampai yang berbaju seragam.

Untuk contoh betapa parahnya gangguan itu, inilah kisah nyata yang saya ketahui. Sengaja yang saya pakai contoh ini adalah seorang pribumi, kiai besar, ulama terkemuka, tokoh berpengaruh, salah satu tim sukses Jokowi.

Ulama tersebut juga pengusaha. Tidak pernah ngemis bantuan pemerintah. Sangat mandiri. Salah satu usahanya pompa bensin.

Pompa bensinnya itulah yang terus diganggu. Ada saja yang dianggap melanggar aturan. Kesalahannya terus saja dicari-cari. Motifnya: minta uang.

Saking jengkelnya Pak Kiai itu mendatangi yang mengganggu. Sang kiai bilang begini –ditirukan ke saya: “Pak, pompa bensin saya itu ambil saja. Daripada saya diganggu terus. Saya relakan”.

Anda bisa membayangkan: kepada usaha seorang kiai terkemuka saja berani mengganggu sampai pada tingkat kiainya menyerah. Apalagi terhadap pengusaha biasa –pun pengusaha minoritas.

Tapi soal gangguan ini rasanya sudah sampai tidak mengenal lagi mayoritas dan minoritas. Saya mendapat keluhan gangguan seperti itu sangat merata. Pun sampai ke pengusaha kecil.

Maka Presiden Prabowo tidak hanya harus mengubah arah ekonomi, tapi juga mengubah sumber segala sumber gangguan itu.

Sekali lagi: pengusaha besar tidak perlu dibantu, tapi jangan diganggu. Itu saja cukup. (Dahlan Iskan)

Hampir seribu orang kumpul. Semua pengusaha. Tionghoa. Di Batu, dekat Malang. Kamis malam, 23 Oktober 2025.

Saya tahu perasaan mereka –dan perasaan pengusaha pada umumnya: ke mana arah pembangunan ekonomi Indonesia ke depan.

Maka ketika saya diminta berbicara di depan mereka gambaran itu saya paparkan. Singkat. Sepengetahuan saya saja –yang bukan orang pemerintah.

Mereka bukan hanya pengusaha. Mereka juga aktivis. Utamanya di bidang sosial. Organisasi mereka disebut “Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia, PSMTI”. Saya menjadi bagiannya. Mereka sedang rapat kerja nasional.

Saya tahu: mereka sangat ingin Indonesia menjadi negara maju. Begitulah umumnya keinginan pengusaha. Agar usaha mereka ikut maju.

Saya juga tahu: dulu, mereka sangat pro Jokowi. Sebagian kurang suka Prabowo –utamanya sejak kerusuhan tahun 1998. Tapi mereka adalah orang-orang yang realistis. Begitu Prabowo menjadi presiden mereka menerimanya sebagai kenyataan.

Saya pun ingin meyakinkan mereka: Perubahan arah ekonomi yang dilakukan Prabowo bertujuan baik. Yakni agar Indonesia bisa keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah –yang membuat Indonesia tidak mungkin bisa menjadi negara maju.

Saya pun menunjukkan fakta bahwa selama 10 tahun terakhir jumlah kelas menengah kita turun. Sampai delapan juta orang. Pendapatan per kapita rakyat kita baru USD 4.800. Padahal kalau Indonesia ingin menjadi negara maju angka itu harusnya USD 12.000.

Maka tidak boleh lagi cara lama dilakukan. Itulah sebabnya Presiden Prabowo menginginkan cara baru. Cara serupa pernah ditempuh Taiwan dan Korea Selatan. Juga cara yang pernah ditempuh Amerika Serikat di masa nan lalu.

Baca Juga :  Relawan Lain

Cara baru itu: menggerakkan ekonomi lapisan menengah dan bawah. Menumbuhkan sebanyak mungkin pengusaha kecil yang “kecil tapi cabe rawit”. Bukan pengusaha kecil yang cengeng.

Di sinilah sensitifnya.

Bisa saja kebijakan “pro yang kecil” itu disalahtafsirkan sebagai sekaligus “anti yang besar”.

Saya lihat ada kecenderungan salah tafsir seperti itu. Maka di masa-masa perubahan arah ini, komunikasi sosial harus benar-benar dijaga. Tidak boleh terjadi salah tafsir.

Harus ada kampanye besar-besaran bahwa “pro orang kecil” tidak harus berarti “anti yang besar”. Harusnya muncul slogan baru: “Yang kecil dibantu, yang besar dijaga”.

Jangan sampai salah tafsir menjadi “Yang kecil dibantu, yang besar dibenci”.

Kalau sampai terjadi salah tafsir seperti itu akan berbahaya. Yang besar akan waswas. Tidak tenang. Lalu terjadilah gerakan kabur saja.

Lantas sikap apa yang harus diambil para pengusaha besar?

Pertama: menyadari bahwa cara lama terbukti hanya membuat Indonesia masuk jebakan pendapatan kelas menengah. Cara lama tidak akan bisa membuat Indonesia menjadi negara maju.

Kedua: menyadari bahwa perubahan arah ekonomi memang diperlukan –untuk membuat Indonesia bisa menjadi negara maju.

Ketiga: memahami dan bisa menerima bila pemerintah akan lebih banyak memperhatikan dan membantu pengusaha kecil.

Keempat: menyadari bahwa tanpa bantuan pemerintah pengusaha besar sudah harus bisa berjalan sendiri. Sudah punya modal. Sudah punya network.

Kelima: membantu pemerintah menyukseskan arah baru ekonomi itu.

Tentu para pengusaha besar juga punya keinginan. Keinginan terbesar mereka, saya coba rumuskan dalam satu kalimat seruan ini:

Baca Juga :  Kaus Oblong

“Kami, para pengusaha besar, tidak perlu dibantu. Bantulah para pengusaha kecil. Tapi kami jangan diganggu!”

Tidak dibantu, tapi jangan diganggu. Itu cukup. Jangan diganggu.

Apakah selama ini pengusaha banyak diganggu? Siapa saja pengganggunya?

Gangguan itu banyak sekali. Sampai taraf menyebalkan. Yang mengganggu juga banyak pihak. Mulai dari yang tidak berbaju, yang berbaju, sampai yang berbaju seragam.

Untuk contoh betapa parahnya gangguan itu, inilah kisah nyata yang saya ketahui. Sengaja yang saya pakai contoh ini adalah seorang pribumi, kiai besar, ulama terkemuka, tokoh berpengaruh, salah satu tim sukses Jokowi.

Ulama tersebut juga pengusaha. Tidak pernah ngemis bantuan pemerintah. Sangat mandiri. Salah satu usahanya pompa bensin.

Pompa bensinnya itulah yang terus diganggu. Ada saja yang dianggap melanggar aturan. Kesalahannya terus saja dicari-cari. Motifnya: minta uang.

Saking jengkelnya Pak Kiai itu mendatangi yang mengganggu. Sang kiai bilang begini –ditirukan ke saya: “Pak, pompa bensin saya itu ambil saja. Daripada saya diganggu terus. Saya relakan”.

Anda bisa membayangkan: kepada usaha seorang kiai terkemuka saja berani mengganggu sampai pada tingkat kiainya menyerah. Apalagi terhadap pengusaha biasa –pun pengusaha minoritas.

Tapi soal gangguan ini rasanya sudah sampai tidak mengenal lagi mayoritas dan minoritas. Saya mendapat keluhan gangguan seperti itu sangat merata. Pun sampai ke pengusaha kecil.

Maka Presiden Prabowo tidak hanya harus mengubah arah ekonomi, tapi juga mengubah sumber segala sumber gangguan itu.

Sekali lagi: pengusaha besar tidak perlu dibantu, tapi jangan diganggu. Itu saja cukup. (Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/