30.4 C
Jakarta
Monday, September 29, 2025

Mendadak Syria

Kesimpulan sementara saya: Syria akan bangkit dengan cepat. Saat menulis naskah ini, kemarin, sudah tiga hari saya di Suriah. Aman sekali. Sisa-sisa perang hampir tak terpandang.

Memang saya baru lihat Damaskus, ibu kotanya. Baru hari ini akan ke Aleppo –lima jam naik mobil ke arah utara. Itu kota terbesar kedua di Syria. Juga kota dengan peradaban yang sangat tua. Aleppo kota dagang terkenal sejak berabad lalu: salah satu pusat transit utama jalan sutra Tiongkok-Eropa.

Di Damaskus saya keliling gang-gang sempit di kampung miskin di dalam kota. Saya ke pasarnya. Ke restoran-restorannya. Ke kementeriannya. Ke perusahaan swastanya. Diajak ke rumah salah satu orang sangat kaya di sana.

Saya melihat di mana-mana orang giat bekerja. Saya tidak melihat orang yang duduk-duduk menganggur di pinggir jalan. Semua orang bergerak. Dengan irama cepat.

Tentu masih terlihat bangunan yang rusak akibat rudal, bom, dan roket. Tapi tidak mencolok. Sudah tertutup oleh derap kesibukan di jalan-jalan.

Jumlah mobil sudah sangat banyak. Lalu-lintas padat. Mobil tua. Mobil baru. Mobil jelek. Mobil mewah. Campur. Dalam jumlah yang seimbang ragamnya. Pun segala macam merek mobil. Campur. Terbanyak mobil Korea: Hyundai dan Kia. Lalu segala macam mobil Jepang. Mobil Prancis. Italia. Jerman. Inggris. Tiongkok. Masih terlihat mobil Rusia. Taksi-taksi lama pakai mobil produksi Iran.

Sisa perang sesekali terlihat samar: bagian depan gedung Kedutaan Iran yang rusak ringan. Tutup. Duta besar dan stafnya tidak ada lagi. Sebagian kecil wajah depan gedung Kementerian Pertahanan runtuh. Selebihnya tidak terlihat puing-puing sisa perang.

Padahal belum setahun perang itu berlalu. Baru hampir setahun. Baru Desember tahun lalu penguasa diktator Basyar Al Assad tumbang: kabur ke Moskow, Rusia. Dengan istri dan anak-anaknya.

Suriah begitu cepat ke arah normal.

Baca Juga :  Kongres Bali

Rute saya ke Syria ini agak memutar: Surabaya-Hong Kong-Doha-Damaskus. Di Hong Kong saya harus bertemu teman bisnis dari Beijing. Lalu saya ajak ke Syria. Mendengar kata Syria istrinya terlihat bergidik. Waswas. Ragu. Aneh.

Saya pernah ajak mereka ke Amerika. Senang. Bersemangat. Berjingkrak. Tapi kali ini saya ajak mereka ke negara yang kesan umumnya masih mengerikan.

“Kami kan tidak punya visa?” kata Janet akhirnya. Lalu dia menengok ke arah suami.

“Saya sudah tanya Gus Najih. Kalian tidak perlu visa. Bisa urus visa on arrival di bandara Damaskus,” jawab saya.

Gus Najih adalah alumnus Suriah. Najih Arromadoni. Empat tahun kuliah di Syria. Hampir lulus. Gara-gara meletus perang ia pulang. Ambil ijazah di UIN Sunan Ampel, Surabaya. Kini Gus Najih, asal Brebes, sudah doktor –dosen di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Belakangan ia mondar-mandir ke Damaskus. Ia sekretaris alumni Timur Tengah.

Mendengar ajakan saya, Janet lantas sibuk dengan HP-nya. Saya sibuk ngobrol bisnis dengan suami.

“Anda sebagai orang Indonesia memang bisa urus VOA di Damaskus. Kami sebagai orang Tiongkok harus punya visa,” ujarnyi sambil menunjuk ke layar HP.

Saya jadi ragu dengan informasi yang saya terima. Saya pun hubungi Gus Najih. Ingin kepastian. Gus Najih hubungi kedutaan Indonesia di Damaskus. Cepat sekali dapat jawaban: orang Tiongkok pun bisa urus visa di bandara Damaskus.

Untuk meyakinkan saya Gus Najih sampai mengirimkan teks panjang. Isinya soal ketentuan baru visa. Dalam huruf dan bahasa Arab.

“Janet, ini Gus Najih sudah jawab. Anda tidak perlu bawa visa,” kata saya. “Nih, baca sendiri peraturan barunya,” kata saya sambil menyodorkan teks berhuruf Arab itu.

“Hahaha… Bagaimana saya bisa baca ini,” katanyi terpingkal. “Ok, saya percaya saja,” katanyi.

Baca Juga :  Lumpur Tiimah

Saya tahu banyak penerbangan dari Hong Kong arah Doha. Kami pun pilih Qatar Airways. Masih ada waktu sembilan jam lagi. Gus Najih saya minta berangkat dari Jakarta. Bertemu di Doha. Ia agak kesulitan cari tiket mendadak. Tapi dapat. Dua kali lipat lebih mahal daripada harga pulangnya.

Kami mendarat lebih dulu di Doha. Punya waktu empat jam menunggu penerbangan ke Damaskus. Saya lihat layar lebar berisi jadwal penerbangan: yang ke Damaskus belum ditentukan akan lewat gate berapa.

Empat jam di bandara Doha tidak akan terasa. Bandara ini besar sekali. Megah. Indah. Ada hutan mininya di dalamnya.

Saya ingin mandi dulu.

“Kamar mandi penuh,” jawab petugas. “Bisa tunggu?” katanyi ramah.

“Kira-kira berapa lama?”

“Satu jam,” jawabnyi.

Saya pun kembali ke kursi. Pesan makanan. Tidak ada prasmanan di lounge ini. Yang ada: daftar menu. Pelayan akan mengambilkan apa yang kita pesan. Seperti di restoran besar.

Saya pun tengok kanan-kiri: cari colokan listrik. Tidak ketemu. Inilah kelemahan kedua bandara ini: tidak ada colokan listrik di kursi-kursi mewahnya. Untuk zaman sekarang, colokan listrik tipe USB lebih penting dari kemewahan kursinya.

“Saya sudah menunggu di gate B4,” tulis Gus Najih lewat WA.

“Sudah pasti di gate 4?”

Gus Najih pun mengirim foto layar lebar. Rupanya saat saya sibuk membaca komentar para perusuh Disway, keputusan gate itu dibuat. Kami pun mencari Gus Najih ke sana. Sambil kembali lihat fotonya: wajahnya seperti apa.

Berarti sudah dua hari saya tidak mandi. Saya ingat para pengikut nabi baru di Medan itu –sebulan tidak mandi akibat ditahan di Makkah. Toh mereka masih hidup. Padahal saya hampir pasti akan mandi di Suriah nanti –kalau Tuhan menghendaki.(Dahlan Iskan)

Kesimpulan sementara saya: Syria akan bangkit dengan cepat. Saat menulis naskah ini, kemarin, sudah tiga hari saya di Suriah. Aman sekali. Sisa-sisa perang hampir tak terpandang.

Memang saya baru lihat Damaskus, ibu kotanya. Baru hari ini akan ke Aleppo –lima jam naik mobil ke arah utara. Itu kota terbesar kedua di Syria. Juga kota dengan peradaban yang sangat tua. Aleppo kota dagang terkenal sejak berabad lalu: salah satu pusat transit utama jalan sutra Tiongkok-Eropa.

Di Damaskus saya keliling gang-gang sempit di kampung miskin di dalam kota. Saya ke pasarnya. Ke restoran-restorannya. Ke kementeriannya. Ke perusahaan swastanya. Diajak ke rumah salah satu orang sangat kaya di sana.

Saya melihat di mana-mana orang giat bekerja. Saya tidak melihat orang yang duduk-duduk menganggur di pinggir jalan. Semua orang bergerak. Dengan irama cepat.

Tentu masih terlihat bangunan yang rusak akibat rudal, bom, dan roket. Tapi tidak mencolok. Sudah tertutup oleh derap kesibukan di jalan-jalan.

Jumlah mobil sudah sangat banyak. Lalu-lintas padat. Mobil tua. Mobil baru. Mobil jelek. Mobil mewah. Campur. Dalam jumlah yang seimbang ragamnya. Pun segala macam merek mobil. Campur. Terbanyak mobil Korea: Hyundai dan Kia. Lalu segala macam mobil Jepang. Mobil Prancis. Italia. Jerman. Inggris. Tiongkok. Masih terlihat mobil Rusia. Taksi-taksi lama pakai mobil produksi Iran.

Sisa perang sesekali terlihat samar: bagian depan gedung Kedutaan Iran yang rusak ringan. Tutup. Duta besar dan stafnya tidak ada lagi. Sebagian kecil wajah depan gedung Kementerian Pertahanan runtuh. Selebihnya tidak terlihat puing-puing sisa perang.

Padahal belum setahun perang itu berlalu. Baru hampir setahun. Baru Desember tahun lalu penguasa diktator Basyar Al Assad tumbang: kabur ke Moskow, Rusia. Dengan istri dan anak-anaknya.

Suriah begitu cepat ke arah normal.

Baca Juga :  Kongres Bali

Rute saya ke Syria ini agak memutar: Surabaya-Hong Kong-Doha-Damaskus. Di Hong Kong saya harus bertemu teman bisnis dari Beijing. Lalu saya ajak ke Syria. Mendengar kata Syria istrinya terlihat bergidik. Waswas. Ragu. Aneh.

Saya pernah ajak mereka ke Amerika. Senang. Bersemangat. Berjingkrak. Tapi kali ini saya ajak mereka ke negara yang kesan umumnya masih mengerikan.

“Kami kan tidak punya visa?” kata Janet akhirnya. Lalu dia menengok ke arah suami.

“Saya sudah tanya Gus Najih. Kalian tidak perlu visa. Bisa urus visa on arrival di bandara Damaskus,” jawab saya.

Gus Najih adalah alumnus Suriah. Najih Arromadoni. Empat tahun kuliah di Syria. Hampir lulus. Gara-gara meletus perang ia pulang. Ambil ijazah di UIN Sunan Ampel, Surabaya. Kini Gus Najih, asal Brebes, sudah doktor –dosen di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Belakangan ia mondar-mandir ke Damaskus. Ia sekretaris alumni Timur Tengah.

Mendengar ajakan saya, Janet lantas sibuk dengan HP-nya. Saya sibuk ngobrol bisnis dengan suami.

“Anda sebagai orang Indonesia memang bisa urus VOA di Damaskus. Kami sebagai orang Tiongkok harus punya visa,” ujarnyi sambil menunjuk ke layar HP.

Saya jadi ragu dengan informasi yang saya terima. Saya pun hubungi Gus Najih. Ingin kepastian. Gus Najih hubungi kedutaan Indonesia di Damaskus. Cepat sekali dapat jawaban: orang Tiongkok pun bisa urus visa di bandara Damaskus.

Untuk meyakinkan saya Gus Najih sampai mengirimkan teks panjang. Isinya soal ketentuan baru visa. Dalam huruf dan bahasa Arab.

“Janet, ini Gus Najih sudah jawab. Anda tidak perlu bawa visa,” kata saya. “Nih, baca sendiri peraturan barunya,” kata saya sambil menyodorkan teks berhuruf Arab itu.

“Hahaha… Bagaimana saya bisa baca ini,” katanyi terpingkal. “Ok, saya percaya saja,” katanyi.

Baca Juga :  Lumpur Tiimah

Saya tahu banyak penerbangan dari Hong Kong arah Doha. Kami pun pilih Qatar Airways. Masih ada waktu sembilan jam lagi. Gus Najih saya minta berangkat dari Jakarta. Bertemu di Doha. Ia agak kesulitan cari tiket mendadak. Tapi dapat. Dua kali lipat lebih mahal daripada harga pulangnya.

Kami mendarat lebih dulu di Doha. Punya waktu empat jam menunggu penerbangan ke Damaskus. Saya lihat layar lebar berisi jadwal penerbangan: yang ke Damaskus belum ditentukan akan lewat gate berapa.

Empat jam di bandara Doha tidak akan terasa. Bandara ini besar sekali. Megah. Indah. Ada hutan mininya di dalamnya.

Saya ingin mandi dulu.

“Kamar mandi penuh,” jawab petugas. “Bisa tunggu?” katanyi ramah.

“Kira-kira berapa lama?”

“Satu jam,” jawabnyi.

Saya pun kembali ke kursi. Pesan makanan. Tidak ada prasmanan di lounge ini. Yang ada: daftar menu. Pelayan akan mengambilkan apa yang kita pesan. Seperti di restoran besar.

Saya pun tengok kanan-kiri: cari colokan listrik. Tidak ketemu. Inilah kelemahan kedua bandara ini: tidak ada colokan listrik di kursi-kursi mewahnya. Untuk zaman sekarang, colokan listrik tipe USB lebih penting dari kemewahan kursinya.

“Saya sudah menunggu di gate B4,” tulis Gus Najih lewat WA.

“Sudah pasti di gate 4?”

Gus Najih pun mengirim foto layar lebar. Rupanya saat saya sibuk membaca komentar para perusuh Disway, keputusan gate itu dibuat. Kami pun mencari Gus Najih ke sana. Sambil kembali lihat fotonya: wajahnya seperti apa.

Berarti sudah dua hari saya tidak mandi. Saya ingat para pengikut nabi baru di Medan itu –sebulan tidak mandi akibat ditahan di Makkah. Toh mereka masih hidup. Padahal saya hampir pasti akan mandi di Suriah nanti –kalau Tuhan menghendaki.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru