Site icon Prokalteng

Jalan Tengah Nusantara

jalan-tengah-nusantara

INI hanya testimoni. Yang dalam hierarki penelitian derajatnya paling rendah. Dan wartawan terlalu banyak menulis berbasis testimoni. Pun seperti yang saya tulis hari ini.

“Alhamdulillah, tidak ada keluhan apa pun,” ujar Siti Fadilah Supari, mantan menteri kesehatan yang gelar akademisnyi profesor doktor.

Fadilah menjalani “vaksinasi nusantara” Jumat pagi lalu. Kesaksian ini diucapkan Sabtu petang kemarin.

“Apakah tidak meriang?”

“Tidak,” jawabnyi.

“Tidak mengantuk?”

“Tadi malam mengantuk sekali. Tidur nyenyak. Senang sekali bisa tidur nyenyak,” katanyi.

Saya juga mendapat WA testimoni suka rela dari Sudi Silalahi. Ia mantan sekretaris kabinet. Letnan Jenderal purnawirawan.

“Mas DI, Alhamdulillah, sejak ambil darah sample, sampai dengan pasca suntik Vaknus tidak ada keluhan apa-apa,” tulisnya.

Jam 17.00 kemarin saya menelepon Pak Sudi. Dengan ragu. Saya ingin testimoni lebih banyak. Tapi saya tahu, di bulan puasa seperti ini, pada jam seperti itu Pak Sudi pasti sudah di masjid.

Testimoni lainnya dari pionir VakNus: Aburizal Bakrie. Ia konglomerat yang pernah kesasar ke politik.

Kemarin adalah hari ke-6 setelah disuntik VakNus. “Tidak ada keluhan apa-apa,” katanya.

Tiga tokoh itu sudah tua semua. Punya penyakit-penyakit ikutan semua.

Pak Ical –nama panggilan Aburizal Bakrie– hari itu disuntik bersama istri, anak, dan sekretaris. Anaknya yang perempuan, Anindhita Anestya Bakrie. Empat-empatnya, kata beliau, tidak punya keluhan.

Dengan demikian tidak perlu menulis apa pun di formulir keluhan. Semua relawan VakNus memang diberi segepok dokumen. Ada penjelasan teknis. Ada hak dan kewajiban relawan. Ada formulir kesediaan secara suka rela. Ada pula lembaran untuk pelaporan keluhan.

Relawan harus menulis apa pun keluhan yang dirasakan. Termasuk yang paling ringan sekali pun. Bahkan pun yang tidak ada hubungannya dengan VakNus. Misalnya: diserempet sepeda motor.

Di samping menulis keluhan mereka juga harus menulis telah melakukan tindakan apa. Misalnya untuk yang pusing, minum obat apa. Semua harus ditulis dalam laporan sebagai persyaratan jadi objek penelitian.

Lalu mereka memperoleh daftar nomor telepon yang harus dihubungi kalau ada perkembangan yang dianggap penting atau darurat.

“Saya tidak menulis apa-apa. Demikian juga istri, anak saya, dan sekretaris saya,” kata Pak Ical.

“Saya juga tidak menulis apa-apa. Benar-benar tidak ada keluhan,” ujar Siti Fadilah.

Tapi mereka itu mungkin seperti saya: relawan yang tidak masuk daftar objek penelitian. Saya ternyata tidak memenuhi syarat jadi objek penelitian. Itu karena saya harus minum obat penurun imunitas. Setiap hari. Sejak transplant hati 15 tahun lalu. Untuk seumur hidup saya.

“Kalau saya ini tidak tahu masuk objek penelitian atau tidak,” ujar Pak Ical. “Terserah tim peneliti. Kalau memenuhi syarat silakan masukkan. Kalau tidak jangan dimasukkan,” tambahnya.

Saya sendiri sebenarnya berharap dokter Terawan mengalah. Lakukanlah tahap penelitian sejak dari binatang lagi. Memang rugi waktu. Memang tidak cocok dengan prinsip kedaruratan. Memang bisa bilang ”untuk apa lagi?” Atau: bukankah penelitian lewat binatang itu sudah dilakukan di Amerika?

Tapi para pengkritik Anda sekarang ini mempersoalkan itu: atas nama doktrin penelitian normal. Para pengritik Anda tidak mengakui adanya kedaruratan. Mereka bilang: penelitian lewat binatang di Amerika itu kan untuk kanker.

Sejak awal saya juga setuju jalan tengah: kalau begitu janganlah VakNus ini disebut vaksin. Ide I-Nu dari dr Tifa itu juga sangat seksi. (Baca: Tifa Nusantara)

Pikiran seperti itu muncul karena saya sangat takut ide mengembangkan VakNus ini macet di tengah jalan. Saya membayangkan kalau VakNus ini berhasil, inilah saatnya Indonesia tampil di peta bumi secara global.

Apalagi saya memang orang yang suka mengalah –sesekali. Jadi saran untuk mengalah tadi lebih mencerminkan sikap pribadi saya.

Mumpung sudah terbukti: di masa darurat ini anak bangsa mampu melahirkan ventilator (ITB) dan deteksi Covid Ge-Nose (UGM).

Tapi syukurlah ide pengembangan VakNus ini tidak sampai macet. MoU tiga instansi telah menemukan jalan tengah itu: TNI-AD, BPOM, dan Kemenkes.

Dengan MoU itu penelitian VakNus –atau apa pun namanya– tetap bisa dilakukan. Yakni di RSPAD. Bahkan proses pengambilan darah objek penelitian sudah selesai. Sudah mencapai jumlah yang dipersyaratkan dalam penelitian fase 2. Sebagian, bahkan, sudah disuntikkan. Sebagian lagi, seperti rombongan saya, mendapat giliran Selasa depan.

Saya harus minta maaf kepada calon relawan yang ingin jadi objek penelitian yang mendaftar lewat saya. Tidak bisa lagi. Jumlahnya sudah mencukupi. Saya anjurkan untuk ikut vaksinasi lain yang digalakkan sekarang. Atau ikut jadi relawan fase 3 kelak.

Atau ikut ramai-ramai jadi relawan salah satu Vaksin Merah Putih. Unair, UI, UGM, LIPI, Eijkman lagi mengembangkan itu. Dengan cara mereka sendiri-sendiri. Tinggal kita tunggu kapan salah satu dari lima Vaksin Merah Putih itu memasuki uji coba fase 1. Saya juga berharap dengan sabar siapa yang duluan memasuki fase 1 itu.

Merah Putih adalah Nusantara. Nusantara adalah Merah Putih. (Dahlan Iskan)

Exit mobile version