27.1 C
Jakarta
Thursday, April 10, 2025

Kera

Saat saya tahu ada aktivitas yang dilakukan banyak orang di hutan Tanete, saat itu juga saya memelihara waspada. Saya selalu mengamati gerak-gerik orang-orang dari atas pohon. Kedatangan mereka mau tak mau membuat saya resah dan takut akan bahaya. Umur anak saya sudah setahun lebih.

Ia makin akrab dengan lingkungan dan saya berharap ia bisa menerima kepergian ibunya yang beberapa bulan lalu mati diserang penyakit. Kini, saya berusaha menghiburnya agar tak panik melihat keramaian yang berbeda.

SIANG terik saat perut lapar, saya dan anak saya yang bergerak dari satu pohon ke pohon lain tak sadar diamati oleh dua orang. Mereka berteriak-teriak sambil melambaikan sesuatu yang saya yakini itu buah. Mungkin mencoba merayu kami untuk mendekat ke arah mereka.

Anak saya tetap berada dalam pengamatan saya. Saya merasa bahaya sedang mengintai di depan mata. Saya mempertimbangkan keselamatan. Saya putuskan mundur dan pergi. Mereka adalah orang-orang asing yang sudah puluhan hari berada di hutan ini. Hutan yang sebelumnya amat jarang dijamah banyak orang, tetapi kini seperti dijadikan tempat menetap.

Keesokan harinya, di antara beberapa orang yang berkumpul, seseorang kembali melambaikan buah ke arah kami yang sedang bergelantung di dahan pohon. Entah ia orang yang sama atau orang lain. Susah memastikannya. Saya tak bisa menandai mukanya. Orang itu mencoba mengambil jarak dengan mendekat ke pohon tempat kami berada. Ia seperti tahu bahwa kami sangat terpikat dengan buah dan akan lahap memakannya.

Ia begitu antusias menyambut kami. Saya seakan diberi pilihan untuk menimbang. Entah mengapa, saya melihat ia tak akan mencoba melukai kami. Sebenarnya saya masih ragu, tetapi pada akhirnya saya dan anak saya pelan-pelan turun dari dahan ke dahan sampai kaki kami menyentuh tanah. Kami berhadap-hadapan dalam jarak yang saya rasa cukup aman. Ia kemudian melemparkan beberapa buah berwarna terang ke dekat kami. Ketakutan saya sirna, ia mau mengajak kami bersahabat.

Dari gerak-geriknya yang mengulurkan tangan, ia seperti menyuruh kami melahap buah pemberiannya. Saya dan anak saya tak menunda waktu. Kami pun mengambilnya dan melahap buahnya.

Itulah permulaan bagi saya dan anak saya biasa mendekat. Hari-hari yang berlangsung dengan suasana orang-orang di lingkungan sekitar seolah menuntut saya untuk belajar mengakrabinya. Saya mulai menandai orang yang sering memberi saya dan anak saya buah. Ia seperti mencoba menampakkan kebaikannya agar kami tidak ragu selalu mendekat dengannya.

***

Malam itu, selepas bapak menunaikan salat, ia mengajak saya duduk di hadapannya. Entah apa yang merasuki kepala bapak, ia menyuruh saya bergerilya bersama DI/TII. Tak ada alasan kuat bagi saya mengiyakan keinginannya. Saya bahkan tak membaca tanda-tanda itu bakal terjadi. Perkataan bapak seperti mimpi. Tak berharap saya alami, karenanya membuat saya kaget.

Sebelumnya, pasukan DI/TII telah berkali-kali merusak jembatan. Terutama jembatan Bulo-Bulo dan jembatan Salassae. Dua jembatan penyeberangan yang amat penting untuk akses sengaja dirusak untuk mengacaukan mobilitas TNI yang patroli.

Memasuki Mei 1956, di ruang tengah rumah, saya melihat bapak menatap karung-karung berisi gabah. Dua minggu lebih karung-karung itu menyesaki rumah. Hasil panen tak bisa dibawa untuk separo digiling dan separo dijual ke pedagang besar. Bapak tampak geram.

Baca Juga :  Vivo 1000

Namun, entah geram pada siapa? Melawan tentu saja bukan pilihan –jika pilihan itu hal paling akhir untuk ditunaikan demi martabat. Badik-badik bapak yang selalu ia tetesi air jeruk di malam Jumat memang masih tidur –tak menutup kemungkinan suatu hari perlawanan mendesak itu bakal terjadi.

Saya merasa, hidup cukup berat, pasukan DI/TII menganggap diri mereka suci. Penduduk diminta-mintai sesuatu yang macam-macam. Kemudian, cenderung memaksa bahkan mengintimidasi penduduk mengeluarkan zakat saat panen.

”Zakat itu kewajiban!”

Dua orang atau lebih selalu mengatakan kalimat pemungkas itu ke penduduk untuk menyudutkan keadaan. Mereka melakukan pemalakan demi menghidupi kebutuhan makanan mereka sehari-hari. Penduduk dijadikan tumpuan.

 

Saya heran, apa yang membuat bapak mengharapkan saya lebur dengan DI/TII. Keinginan bapak membuat saya mau tak mau berkata, saya akan jadi tumbal. Bapak terus mendesak saya menanggapi permintaannya. Bapak seperti tak mengerti keadaan. Tonjolan di lutut ibu semakin membesar. Saat tengah malam, ibu selalu meringis kesakitan.

***

Mereka membunuh satu per satu keluarga saya. Orang-orang yang menghuni hutan Tanete tak saya sangka bejat dan kejam. Saat marah, mereka melampiaskan kepada kami. Mereka membuat kami panik sehingga berhamburan. Mereka sengaja menyasar tubuh kami.

Sore itu, ada dua orang yang melihat kami dan dari mereka langsung terdengar suara ledakan yang menakutkan. Saya kelabakan. Tak sempat meraih tangan anak saya untuk segera melarikan diri. Anak saya yang sedang riang bergelantungan dan melompat dari dahan ke dahan langsung terjatuh ke tanah pas setelah ledakan mematikan itu berbunyi. Saya melarikan diri dari suara ledakan yang tak henti mengarah pada saya. Saya selamat dengan rasa kecewa yang tak termaafkan.

Sejak kedatangan orang-orang yang selalu bergerombol itu ke hutan, hidup kami seperti diintai. Rumah kami yang nyaman dan sejuk hanya hutan. Tak ada tempat lain yang bisa menggantikannya. Kenyamanan kami benar-benar terganggu. Mereka seperti ingin menguasai hutan.

Mereka membangun tempat tinggal. Saya dan kera yang lain selalu bergantian berjaga untuk melindungi keluarga. Kewaspadaan kami jauh berlipat ganda dari sebelumnya. Namun, seekor kera yang biasa mengajak saya bercanda menyalahkan saya. Ia menyudutkan saya. Ini seperti peringatan untuk memulai mengambil jarak.

Napas saya tiba-tiba tak keruan. Saya membuka mata lebar-lebar. Hanya mimpi. Anak saya dan kera yang lain masih hidup dan terlelap. Ini seperti tanda.

***

Saya melihat kera keluar dari dalam hutan. Kera yang terluka. Darah segar mengalir dari tubuhnya. Saya mencoba mendekat. Ia masih tegar menggendong anaknya. Tak ada yang lain, pasti ulah pasukan DI/TII. Binatang yang rumahnya di hutan dengan sadis mereka lukai, sekaligus secara tak langsung mereka usir.

Bapak harus melihat kejadian ini. Ia tak boleh lagi mendesak saya bergerilya bersama DI/TII. Saya tak ingin kotor. Saya tak ingin melukai siapa-siapa. Saya ingin menjauh dari ambisi bapak yang akan merugikan diri saya.

***

Anak muda itu mengencangkan langkah saat saya makin tak sanggup menahan kesakitan. Hari itu, demi menyelamatkan diri, saya dan anak saya meninggalkan hutan dalam keadaan terpaksa.

Baca Juga :  Minyak DMO

Saya menganggap hanya kesalahpahaman. Seekor kera yang biasa bercanda dengan saya sudah nyata membenci saya. Ia geram melihat saya makin dekat dengan orang-orang yang ada di hutan. Ia merasa, keluarga kami akan semakin dekat dengan bahaya jika saya tetap mengakrabkan diri dengan mereka. Sulit saya percaya, mimpi saya mewujud jadi nyata.

”Jika begitu caramu, mereka bisa tahu tempat persembunyian keluarga kita di hutan ini. Jika mereka tahu, kita akan dibunuh habis-habisan!”

Di hari terakhir saya di hutan, sebelum ia menyerang, luapan keresahan kera pejantan itu memang mencapai puncak. Namun, saya memiliki penilaian baik pada orang-orang itu.

”Mereka tak seperti yang kaupikirkan.”

Saya mencoba meyakinkannya, tetapi mungkin ia tak berharap saya menanggapi begitu lagi. Ia memang sudah berkali-kali mengingatkan saya untuk menjauh, tetapi saya tetap mendekat, karena saya merasa nyaman diberi makan secara cuma-cuma. Di samping itu, mungkin si kera pejantan melihat, orang-orang hanya akan memanfaatkan saya untuk memuluskan rencana-rencana mereka.

Perkelahian tak bisa saya hindari. Pasalnya, ia menyerang saya lebih dulu dan tentu saja saya tak ingin dilukai. Saya membalas, tetapi ia cukup kuat. Saya melarikan diri saat itu juga, karena saya terus dilukai dan ia seperti ingin membunuh saya. Ia sempat ingin menyerang anak saya, tetapi saya halau. Kami kemudian menjauh dari hutan dan keluar dari rumah kami yang teduh.

Kini, beruntung saya ditolong oleh seseorang. Namun, anak muda itu seperti salah paham. Ia tampak marah-marah melihat kondisi yang saya alami. Saya ingin menjelaskan peristiwa yang sebenarnya, tetapi sangat susah melakukannya. Ia mungkin mengira saya dilukai oleh orang-orang yang sedang berada di hutan.

***

Dari sekian banyak alasan, kera menjadi salah satu yang tampak jelas. Seekor kera rela terluka demi menyelamatkan dua nyawa. Bapak tak boleh lagi memaksakan kehendaknya. Tanpa saya bergabung DI/TII, saya yakin keluarga jauh lebih aman. Saya ingin tetap ada menjaga ibu.

”Bapak tak bisa memaksa saya lagi. Lihat kera itu!”

Saya menunjuk ke kera yang sementara saya kandang. Mereka masih butuh perhatian dan pertolongan. Saya berharap bapak melunak dan membuka mata.

”Kau tak bisa berpendapat seperti itu. Kau tak punya bukti bahwa kera itu dilukai oleh gerilyawan.”

”Bukti seperti apa lagi, Pak? Luka di tubuh kera itu saya kira sudah cukup.”

Bapak mengambil jeda untuk meluapkan isi kepalanya. Kalimatnya kemudian membuat saya terkejut.

”Kaukira mudah. Semua ini karena keadaan, Nak. Andai bapak masih kuat, saya tak akan menyuruhmu bergerilya bersama DI/TII. Saya ingin kau memerangi kesesatan.”

Air mata bapak menetes. Ada sesal yang susah saya tafsir. Ada amarah yang ia pendam, tetapi saya tak paham dan tak bisa bertindak. Lalu, kesesatan seperti apa yang dimaksud bapak? Saya rasa, balas dendam bukan pilihan akhir. (*)

ALFIAN DIPPAHATANG, Lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Buku kumpulan cerpennya Bertarung dalam Sarung (KPG, 2019) dan Pundak Kanan (Indonesia Tera, 2021). Sekarang bekerja sebagai penulis skrip di satu kanal YouTube dan pengajar di Departemen Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin.

Saat saya tahu ada aktivitas yang dilakukan banyak orang di hutan Tanete, saat itu juga saya memelihara waspada. Saya selalu mengamati gerak-gerik orang-orang dari atas pohon. Kedatangan mereka mau tak mau membuat saya resah dan takut akan bahaya. Umur anak saya sudah setahun lebih.

Ia makin akrab dengan lingkungan dan saya berharap ia bisa menerima kepergian ibunya yang beberapa bulan lalu mati diserang penyakit. Kini, saya berusaha menghiburnya agar tak panik melihat keramaian yang berbeda.

SIANG terik saat perut lapar, saya dan anak saya yang bergerak dari satu pohon ke pohon lain tak sadar diamati oleh dua orang. Mereka berteriak-teriak sambil melambaikan sesuatu yang saya yakini itu buah. Mungkin mencoba merayu kami untuk mendekat ke arah mereka.

Anak saya tetap berada dalam pengamatan saya. Saya merasa bahaya sedang mengintai di depan mata. Saya mempertimbangkan keselamatan. Saya putuskan mundur dan pergi. Mereka adalah orang-orang asing yang sudah puluhan hari berada di hutan ini. Hutan yang sebelumnya amat jarang dijamah banyak orang, tetapi kini seperti dijadikan tempat menetap.

Keesokan harinya, di antara beberapa orang yang berkumpul, seseorang kembali melambaikan buah ke arah kami yang sedang bergelantung di dahan pohon. Entah ia orang yang sama atau orang lain. Susah memastikannya. Saya tak bisa menandai mukanya. Orang itu mencoba mengambil jarak dengan mendekat ke pohon tempat kami berada. Ia seperti tahu bahwa kami sangat terpikat dengan buah dan akan lahap memakannya.

Ia begitu antusias menyambut kami. Saya seakan diberi pilihan untuk menimbang. Entah mengapa, saya melihat ia tak akan mencoba melukai kami. Sebenarnya saya masih ragu, tetapi pada akhirnya saya dan anak saya pelan-pelan turun dari dahan ke dahan sampai kaki kami menyentuh tanah. Kami berhadap-hadapan dalam jarak yang saya rasa cukup aman. Ia kemudian melemparkan beberapa buah berwarna terang ke dekat kami. Ketakutan saya sirna, ia mau mengajak kami bersahabat.

Dari gerak-geriknya yang mengulurkan tangan, ia seperti menyuruh kami melahap buah pemberiannya. Saya dan anak saya tak menunda waktu. Kami pun mengambilnya dan melahap buahnya.

Itulah permulaan bagi saya dan anak saya biasa mendekat. Hari-hari yang berlangsung dengan suasana orang-orang di lingkungan sekitar seolah menuntut saya untuk belajar mengakrabinya. Saya mulai menandai orang yang sering memberi saya dan anak saya buah. Ia seperti mencoba menampakkan kebaikannya agar kami tidak ragu selalu mendekat dengannya.

***

Malam itu, selepas bapak menunaikan salat, ia mengajak saya duduk di hadapannya. Entah apa yang merasuki kepala bapak, ia menyuruh saya bergerilya bersama DI/TII. Tak ada alasan kuat bagi saya mengiyakan keinginannya. Saya bahkan tak membaca tanda-tanda itu bakal terjadi. Perkataan bapak seperti mimpi. Tak berharap saya alami, karenanya membuat saya kaget.

Sebelumnya, pasukan DI/TII telah berkali-kali merusak jembatan. Terutama jembatan Bulo-Bulo dan jembatan Salassae. Dua jembatan penyeberangan yang amat penting untuk akses sengaja dirusak untuk mengacaukan mobilitas TNI yang patroli.

Memasuki Mei 1956, di ruang tengah rumah, saya melihat bapak menatap karung-karung berisi gabah. Dua minggu lebih karung-karung itu menyesaki rumah. Hasil panen tak bisa dibawa untuk separo digiling dan separo dijual ke pedagang besar. Bapak tampak geram.

Baca Juga :  Vivo 1000

Namun, entah geram pada siapa? Melawan tentu saja bukan pilihan –jika pilihan itu hal paling akhir untuk ditunaikan demi martabat. Badik-badik bapak yang selalu ia tetesi air jeruk di malam Jumat memang masih tidur –tak menutup kemungkinan suatu hari perlawanan mendesak itu bakal terjadi.

Saya merasa, hidup cukup berat, pasukan DI/TII menganggap diri mereka suci. Penduduk diminta-mintai sesuatu yang macam-macam. Kemudian, cenderung memaksa bahkan mengintimidasi penduduk mengeluarkan zakat saat panen.

”Zakat itu kewajiban!”

Dua orang atau lebih selalu mengatakan kalimat pemungkas itu ke penduduk untuk menyudutkan keadaan. Mereka melakukan pemalakan demi menghidupi kebutuhan makanan mereka sehari-hari. Penduduk dijadikan tumpuan.

 

Saya heran, apa yang membuat bapak mengharapkan saya lebur dengan DI/TII. Keinginan bapak membuat saya mau tak mau berkata, saya akan jadi tumbal. Bapak terus mendesak saya menanggapi permintaannya. Bapak seperti tak mengerti keadaan. Tonjolan di lutut ibu semakin membesar. Saat tengah malam, ibu selalu meringis kesakitan.

***

Mereka membunuh satu per satu keluarga saya. Orang-orang yang menghuni hutan Tanete tak saya sangka bejat dan kejam. Saat marah, mereka melampiaskan kepada kami. Mereka membuat kami panik sehingga berhamburan. Mereka sengaja menyasar tubuh kami.

Sore itu, ada dua orang yang melihat kami dan dari mereka langsung terdengar suara ledakan yang menakutkan. Saya kelabakan. Tak sempat meraih tangan anak saya untuk segera melarikan diri. Anak saya yang sedang riang bergelantungan dan melompat dari dahan ke dahan langsung terjatuh ke tanah pas setelah ledakan mematikan itu berbunyi. Saya melarikan diri dari suara ledakan yang tak henti mengarah pada saya. Saya selamat dengan rasa kecewa yang tak termaafkan.

Sejak kedatangan orang-orang yang selalu bergerombol itu ke hutan, hidup kami seperti diintai. Rumah kami yang nyaman dan sejuk hanya hutan. Tak ada tempat lain yang bisa menggantikannya. Kenyamanan kami benar-benar terganggu. Mereka seperti ingin menguasai hutan.

Mereka membangun tempat tinggal. Saya dan kera yang lain selalu bergantian berjaga untuk melindungi keluarga. Kewaspadaan kami jauh berlipat ganda dari sebelumnya. Namun, seekor kera yang biasa mengajak saya bercanda menyalahkan saya. Ia menyudutkan saya. Ini seperti peringatan untuk memulai mengambil jarak.

Napas saya tiba-tiba tak keruan. Saya membuka mata lebar-lebar. Hanya mimpi. Anak saya dan kera yang lain masih hidup dan terlelap. Ini seperti tanda.

***

Saya melihat kera keluar dari dalam hutan. Kera yang terluka. Darah segar mengalir dari tubuhnya. Saya mencoba mendekat. Ia masih tegar menggendong anaknya. Tak ada yang lain, pasti ulah pasukan DI/TII. Binatang yang rumahnya di hutan dengan sadis mereka lukai, sekaligus secara tak langsung mereka usir.

Bapak harus melihat kejadian ini. Ia tak boleh lagi mendesak saya bergerilya bersama DI/TII. Saya tak ingin kotor. Saya tak ingin melukai siapa-siapa. Saya ingin menjauh dari ambisi bapak yang akan merugikan diri saya.

***

Anak muda itu mengencangkan langkah saat saya makin tak sanggup menahan kesakitan. Hari itu, demi menyelamatkan diri, saya dan anak saya meninggalkan hutan dalam keadaan terpaksa.

Baca Juga :  Minyak DMO

Saya menganggap hanya kesalahpahaman. Seekor kera yang biasa bercanda dengan saya sudah nyata membenci saya. Ia geram melihat saya makin dekat dengan orang-orang yang ada di hutan. Ia merasa, keluarga kami akan semakin dekat dengan bahaya jika saya tetap mengakrabkan diri dengan mereka. Sulit saya percaya, mimpi saya mewujud jadi nyata.

”Jika begitu caramu, mereka bisa tahu tempat persembunyian keluarga kita di hutan ini. Jika mereka tahu, kita akan dibunuh habis-habisan!”

Di hari terakhir saya di hutan, sebelum ia menyerang, luapan keresahan kera pejantan itu memang mencapai puncak. Namun, saya memiliki penilaian baik pada orang-orang itu.

”Mereka tak seperti yang kaupikirkan.”

Saya mencoba meyakinkannya, tetapi mungkin ia tak berharap saya menanggapi begitu lagi. Ia memang sudah berkali-kali mengingatkan saya untuk menjauh, tetapi saya tetap mendekat, karena saya merasa nyaman diberi makan secara cuma-cuma. Di samping itu, mungkin si kera pejantan melihat, orang-orang hanya akan memanfaatkan saya untuk memuluskan rencana-rencana mereka.

Perkelahian tak bisa saya hindari. Pasalnya, ia menyerang saya lebih dulu dan tentu saja saya tak ingin dilukai. Saya membalas, tetapi ia cukup kuat. Saya melarikan diri saat itu juga, karena saya terus dilukai dan ia seperti ingin membunuh saya. Ia sempat ingin menyerang anak saya, tetapi saya halau. Kami kemudian menjauh dari hutan dan keluar dari rumah kami yang teduh.

Kini, beruntung saya ditolong oleh seseorang. Namun, anak muda itu seperti salah paham. Ia tampak marah-marah melihat kondisi yang saya alami. Saya ingin menjelaskan peristiwa yang sebenarnya, tetapi sangat susah melakukannya. Ia mungkin mengira saya dilukai oleh orang-orang yang sedang berada di hutan.

***

Dari sekian banyak alasan, kera menjadi salah satu yang tampak jelas. Seekor kera rela terluka demi menyelamatkan dua nyawa. Bapak tak boleh lagi memaksakan kehendaknya. Tanpa saya bergabung DI/TII, saya yakin keluarga jauh lebih aman. Saya ingin tetap ada menjaga ibu.

”Bapak tak bisa memaksa saya lagi. Lihat kera itu!”

Saya menunjuk ke kera yang sementara saya kandang. Mereka masih butuh perhatian dan pertolongan. Saya berharap bapak melunak dan membuka mata.

”Kau tak bisa berpendapat seperti itu. Kau tak punya bukti bahwa kera itu dilukai oleh gerilyawan.”

”Bukti seperti apa lagi, Pak? Luka di tubuh kera itu saya kira sudah cukup.”

Bapak mengambil jeda untuk meluapkan isi kepalanya. Kalimatnya kemudian membuat saya terkejut.

”Kaukira mudah. Semua ini karena keadaan, Nak. Andai bapak masih kuat, saya tak akan menyuruhmu bergerilya bersama DI/TII. Saya ingin kau memerangi kesesatan.”

Air mata bapak menetes. Ada sesal yang susah saya tafsir. Ada amarah yang ia pendam, tetapi saya tak paham dan tak bisa bertindak. Lalu, kesesatan seperti apa yang dimaksud bapak? Saya rasa, balas dendam bukan pilihan akhir. (*)

ALFIAN DIPPAHATANG, Lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Buku kumpulan cerpennya Bertarung dalam Sarung (KPG, 2019) dan Pundak Kanan (Indonesia Tera, 2021). Sekarang bekerja sebagai penulis skrip di satu kanal YouTube dan pengajar di Departemen Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin.

Terpopuler

Artikel Terbaru