28.2 C
Jakarta
Sunday, October 6, 2024

99,2 Persen

DEAR Omicron, thanks!

Itu pasti berlebihan. Omicron bukan Tuhan. Juga bukan pemerintah yang rajin mendorong vaksinasi.Berita gembiranya: seluruh dunia kemarin tahu. Ada berita baik dari Indonesia: tingkat imunitas masyarakat Indonesia telah mencapai 99,2 persen.

Kantor berita internasional Reuters sampai memberitakan itu. Sumbernya: Pandu Riono, epidemiologist dari Universitas Indonesia. Rupanya UI telah ditunjuk pemerintah untuk melakukan penelitian khusus:  seberapa luas masyarakat kita sudah punya imun pada Covid-19.

Maret lalu survei itu dilakukan lagi. Respondennya 2.100 orang. Di Jawa. Dan Bali. Mereka diambil darah. Diperiksa di lab. Hasilnya itu tadi: 99,2 persen sudah memiliki imun.

Angka itu lebih tinggi dari Inggris: 92 persen. Jangan-jangan sudah yang tertinggi.

Dari mana saja sumber imunitas itu? Tentu Anda sudah tahu: vaksinasi.

Juga karena ada yang pernah terkena Covid-19 generasi induk –sembuh.

Lalu dari yang terkena varian Delta yang ganas itu –berhasil lolos. Jangan-jangan yang terbanyak akibat –atau  berkat?– terkena varian Omicron. Yang penyebarannya begitu cepat –tapi tidak begitu menakutkan.

Vaksinasi di Jawa memang fenomenal. Di kota-kota besarnya. Terutama Jakarta dan Surabaya. Mencapai jauh di atas 100 persen –yang ber-KTP luar kota pun divaksin.

Tiap bulan pemerintah melakukan kajian tingkat imunitas itu. Dari situlah, antara lain, ditentukan kebijakan level PPKM.

Biar pun tiap bulan angka imunitas itu naik terus, pemerintah terlihat  sangat hati-hati. Pun setelah 99,2 persen. Belum ada gambaran kapan bebas masker.

Di desa-desa penduduk tidak menunggu kebijakan itu. Mungkin juga karena harus menghemat pengeluaran.

Di kota masih banyak yang bermasker. Masjid Agung Surabaya masih melarang jamaah salat tarawih yang tidak bermasker. Hanya barisan salatnya sudah boleh mepet-mepet. Masjid itu juga menjadi lebih bersih dan rapi. Pengurus membagikan kantong sandal yang didesain khusus. Rapi. Warna-warni.

Singapura sudah bebas masker. Tapi kalau Anda jalan-jalan di Orchard Road –Jalan Thamrinnya Jakarta– 80 persen masih bermasker.

 

“Hanya yang bule tidak ada yang bermasker,” ujar anggota senam saya yang kini bekerja di perusahaan IT di Singapura. Ia terlihat senam di Surabaya kemarin. Lagi liburan.

Baca Juga :  Luhut Merit

Apakah di Jepang sudah bebas masker?

“Hehehe… Orang Jepang itu suka bermasker,” ujar Taki Tikada, tamu saya pekan lalu. “Sebelum Covid pun, kalau di tempat umum, kami bermasker,” katanyi.

Dia ke Indonesia untuk memperkenalkan sistem evaluasi hasil pembangunan proyek di Jepang. Yang sudah berlangsung lebih 20 tahun.

Evaluasi itu dilakukan oleh rakyat yang di sekitar proyek. Apakah hasilnya sesuai dengan tujuan dan anggaran. Wakil pemerintah hadir hanya sebagai pendengar. Tidak boleh bicara. Tidak boleh klarifikasi.

Saya tidak bisa tahu apakah Taki masih secantik dulu. Dia ke rumah saya bermasker. Kami ngobrol panjang di teras belakang. Out door. Ketika saya copot masker, dia tetap bermasker.

Pemerintah kita belum mau menyinggung bebas masker. Mungkin karena ujian Covid masih akan kita hadapi lagi. Semoga ini ujian terakhir: Lebaran Idul Fitri. Orang bisa menyebut sebagai ”ujian kelulusan”.

Saya tentu termasuk yang sangat gembira. Tapi masih ada yang lebih gembira lagi. “Kalau yang sudah punya antibodi 99,2 persen berarti sebenarnya sudah 100 persen,” ujar seorang peneliti virus.

Bisa jadi yang 0,8 persen itu hanya tidak terlihat punya antibodi. Padahal bisa saja sebenarnya mereka sudah punya. Hanya tidak terbaca di lab.

Seseorang yang sudah divaksin pasti sudah punya antibodi. Begitu juga yang sudah pernah terkena Covid.

Antibodi itu tidak terbaca lab setelah lewat enam bulan. Padahal antibodi itu tetap tersimpan di memori tubuh. Tidak akan hilang. Puluhan tahun. Kalau kelak tertular virus yang sama, barulah antibodi itu keluar secara otomatis.

Itulah sebabnya, ia termasuk yang tidak setuju vaksin booster. Hanya buang uang. Tapi…ia lantas tertawa. “Siapa tahu berpahala,” ujarnya. Bisa membuat banyak orang senang –para pedagang vaksin.

Kenapa yang diteliti hanya 2.100 responden?

Tentu karena angka itu sudah memenuhi kaidah penelitian yang benar. Juga supaya cepat: mereka kan harus diambil darah untuk diperiksa di lab.

Baca Juga :  Baik Saja

 

Sang peneliti, kini sudah selesai memeriksa berbagai virus Covid. Ia sudah bisa tahu perbedaan virus Wuhan yang dari Tiongkok, virus Delta yang dari India, dan virus Omicron yang dari Afrika Selatan.

Ia menyimpan semua koleksi virus itu di lab khusus yang diperbolehkan untuk itu. Di virus Wuhan, katanya, ada unsur virus korona kelelawar. Yang Delta ada unsur virus korona kucing. Sedang yang Omicron ada unsur virus korona dari tikus.

Ia juga menyimpulkan: virus Wuhan dan Delta menyerang langsung saluran pernapasan dan paru. Yang mengakibatkan sesak napas. Sedang Omicron menyerang pencernaan. Yang mengakibatkan diare.

Kini ia lagi konsentrasi untuk sebuah pertanyaan besar: mengapa Tiongkok sampai me-lockdown kota sebesar Shanghai. Yang berpenduduk 25 juta jiwa.

“Logikanya tidak masuk”, katanya. Ia curiga, itu bukan hanya karena Omicron. Tiongkok itu penemu vaksin Sinovac. Penemuan tercepat dibanding vaksin yang lain. Tingkat vaksinasi di sana juga sudah merata. Berarti mayoritas sudah punya imunitas.

Perbedaan varian Omicron dengan sebelumnya hanya 2 persen. Mestinya bukan perkara besar bagi Tiongkok. Tapi kok sampai lockdown.

Padahal Tiongkok sudah berhasil mengatasi virus Wuhan. Juga bisa mencegah virus Delta. Wuhan, Delta, Omicron sama-sama Covid-19. Mestinya Shanghai tidak perlu takut. Toh hanya beda 2 persen.

Peneliti itu pun curiga jangan-jangan ada varian lain yang sengaja dilepas di sana. Lalu Tiongkok masih merahasiakannya. Sampai Tiongkok berhasil menemukan vaksinnya.

Bisa saja ditemukan varian yang lebih berbahaya: yang ada unsur dari korona unta. Yakni Covid-19 tercampur virus Merc. Yang sangat mematikan di Timur Tengah itu.

Ia kian tenggelam di lab. Ia harus tahu kalau itu sampai terjadi di sana. Agar tidak menjalar ke sini. Maka, lockdown di Shanghai itu, baik juga untuk kita. Dan untuk dunia.

Kita berharap kecurigaan peneliti kita itu salah. Ternyata itu hanya Omicron kita juga. Biarlah ia terus meneliti.

Kalau pun itu benar, kita doakan Tiongkok cepat menemukan vaksinnya. Dan kita bisa mengimpornya –lagi. (Dahlan Iskan)

DEAR Omicron, thanks!

Itu pasti berlebihan. Omicron bukan Tuhan. Juga bukan pemerintah yang rajin mendorong vaksinasi.Berita gembiranya: seluruh dunia kemarin tahu. Ada berita baik dari Indonesia: tingkat imunitas masyarakat Indonesia telah mencapai 99,2 persen.

Kantor berita internasional Reuters sampai memberitakan itu. Sumbernya: Pandu Riono, epidemiologist dari Universitas Indonesia. Rupanya UI telah ditunjuk pemerintah untuk melakukan penelitian khusus:  seberapa luas masyarakat kita sudah punya imun pada Covid-19.

Maret lalu survei itu dilakukan lagi. Respondennya 2.100 orang. Di Jawa. Dan Bali. Mereka diambil darah. Diperiksa di lab. Hasilnya itu tadi: 99,2 persen sudah memiliki imun.

Angka itu lebih tinggi dari Inggris: 92 persen. Jangan-jangan sudah yang tertinggi.

Dari mana saja sumber imunitas itu? Tentu Anda sudah tahu: vaksinasi.

Juga karena ada yang pernah terkena Covid-19 generasi induk –sembuh.

Lalu dari yang terkena varian Delta yang ganas itu –berhasil lolos. Jangan-jangan yang terbanyak akibat –atau  berkat?– terkena varian Omicron. Yang penyebarannya begitu cepat –tapi tidak begitu menakutkan.

Vaksinasi di Jawa memang fenomenal. Di kota-kota besarnya. Terutama Jakarta dan Surabaya. Mencapai jauh di atas 100 persen –yang ber-KTP luar kota pun divaksin.

Tiap bulan pemerintah melakukan kajian tingkat imunitas itu. Dari situlah, antara lain, ditentukan kebijakan level PPKM.

Biar pun tiap bulan angka imunitas itu naik terus, pemerintah terlihat  sangat hati-hati. Pun setelah 99,2 persen. Belum ada gambaran kapan bebas masker.

Di desa-desa penduduk tidak menunggu kebijakan itu. Mungkin juga karena harus menghemat pengeluaran.

Di kota masih banyak yang bermasker. Masjid Agung Surabaya masih melarang jamaah salat tarawih yang tidak bermasker. Hanya barisan salatnya sudah boleh mepet-mepet. Masjid itu juga menjadi lebih bersih dan rapi. Pengurus membagikan kantong sandal yang didesain khusus. Rapi. Warna-warni.

Singapura sudah bebas masker. Tapi kalau Anda jalan-jalan di Orchard Road –Jalan Thamrinnya Jakarta– 80 persen masih bermasker.

 

“Hanya yang bule tidak ada yang bermasker,” ujar anggota senam saya yang kini bekerja di perusahaan IT di Singapura. Ia terlihat senam di Surabaya kemarin. Lagi liburan.

Baca Juga :  Luhut Merit

Apakah di Jepang sudah bebas masker?

“Hehehe… Orang Jepang itu suka bermasker,” ujar Taki Tikada, tamu saya pekan lalu. “Sebelum Covid pun, kalau di tempat umum, kami bermasker,” katanyi.

Dia ke Indonesia untuk memperkenalkan sistem evaluasi hasil pembangunan proyek di Jepang. Yang sudah berlangsung lebih 20 tahun.

Evaluasi itu dilakukan oleh rakyat yang di sekitar proyek. Apakah hasilnya sesuai dengan tujuan dan anggaran. Wakil pemerintah hadir hanya sebagai pendengar. Tidak boleh bicara. Tidak boleh klarifikasi.

Saya tidak bisa tahu apakah Taki masih secantik dulu. Dia ke rumah saya bermasker. Kami ngobrol panjang di teras belakang. Out door. Ketika saya copot masker, dia tetap bermasker.

Pemerintah kita belum mau menyinggung bebas masker. Mungkin karena ujian Covid masih akan kita hadapi lagi. Semoga ini ujian terakhir: Lebaran Idul Fitri. Orang bisa menyebut sebagai ”ujian kelulusan”.

Saya tentu termasuk yang sangat gembira. Tapi masih ada yang lebih gembira lagi. “Kalau yang sudah punya antibodi 99,2 persen berarti sebenarnya sudah 100 persen,” ujar seorang peneliti virus.

Bisa jadi yang 0,8 persen itu hanya tidak terlihat punya antibodi. Padahal bisa saja sebenarnya mereka sudah punya. Hanya tidak terbaca di lab.

Seseorang yang sudah divaksin pasti sudah punya antibodi. Begitu juga yang sudah pernah terkena Covid.

Antibodi itu tidak terbaca lab setelah lewat enam bulan. Padahal antibodi itu tetap tersimpan di memori tubuh. Tidak akan hilang. Puluhan tahun. Kalau kelak tertular virus yang sama, barulah antibodi itu keluar secara otomatis.

Itulah sebabnya, ia termasuk yang tidak setuju vaksin booster. Hanya buang uang. Tapi…ia lantas tertawa. “Siapa tahu berpahala,” ujarnya. Bisa membuat banyak orang senang –para pedagang vaksin.

Kenapa yang diteliti hanya 2.100 responden?

Tentu karena angka itu sudah memenuhi kaidah penelitian yang benar. Juga supaya cepat: mereka kan harus diambil darah untuk diperiksa di lab.

Baca Juga :  Baik Saja

 

Sang peneliti, kini sudah selesai memeriksa berbagai virus Covid. Ia sudah bisa tahu perbedaan virus Wuhan yang dari Tiongkok, virus Delta yang dari India, dan virus Omicron yang dari Afrika Selatan.

Ia menyimpan semua koleksi virus itu di lab khusus yang diperbolehkan untuk itu. Di virus Wuhan, katanya, ada unsur virus korona kelelawar. Yang Delta ada unsur virus korona kucing. Sedang yang Omicron ada unsur virus korona dari tikus.

Ia juga menyimpulkan: virus Wuhan dan Delta menyerang langsung saluran pernapasan dan paru. Yang mengakibatkan sesak napas. Sedang Omicron menyerang pencernaan. Yang mengakibatkan diare.

Kini ia lagi konsentrasi untuk sebuah pertanyaan besar: mengapa Tiongkok sampai me-lockdown kota sebesar Shanghai. Yang berpenduduk 25 juta jiwa.

“Logikanya tidak masuk”, katanya. Ia curiga, itu bukan hanya karena Omicron. Tiongkok itu penemu vaksin Sinovac. Penemuan tercepat dibanding vaksin yang lain. Tingkat vaksinasi di sana juga sudah merata. Berarti mayoritas sudah punya imunitas.

Perbedaan varian Omicron dengan sebelumnya hanya 2 persen. Mestinya bukan perkara besar bagi Tiongkok. Tapi kok sampai lockdown.

Padahal Tiongkok sudah berhasil mengatasi virus Wuhan. Juga bisa mencegah virus Delta. Wuhan, Delta, Omicron sama-sama Covid-19. Mestinya Shanghai tidak perlu takut. Toh hanya beda 2 persen.

Peneliti itu pun curiga jangan-jangan ada varian lain yang sengaja dilepas di sana. Lalu Tiongkok masih merahasiakannya. Sampai Tiongkok berhasil menemukan vaksinnya.

Bisa saja ditemukan varian yang lebih berbahaya: yang ada unsur dari korona unta. Yakni Covid-19 tercampur virus Merc. Yang sangat mematikan di Timur Tengah itu.

Ia kian tenggelam di lab. Ia harus tahu kalau itu sampai terjadi di sana. Agar tidak menjalar ke sini. Maka, lockdown di Shanghai itu, baik juga untuk kita. Dan untuk dunia.

Kita berharap kecurigaan peneliti kita itu salah. Ternyata itu hanya Omicron kita juga. Biarlah ia terus meneliti.

Kalau pun itu benar, kita doakan Tiongkok cepat menemukan vaksinnya. Dan kita bisa mengimpornya –lagi. (Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru