MENGAPA dokter Terawan kelihatan tenang-tenang saja? Dan senyum-senyum saja? Dan justru masih terlihat memberikan suntikan vaksin Nusantara ke seorang pejabat tinggi? Yang videonya viral di medsos?
Padahal, Anda sudah tahu: ia baru saja dipecat dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Yang otomatis, mestinya, tidak bisa lagi praktik dokter.Senyumnya pun, saya lihat, tidak berubah. Tidak juga terlihat senyum yang menantang. Bukan pula senyum yang di-mencep-mencep-kan.
Itu senyum kesehariannya.
Heran, kok ia terus tersenyum.
Tentu Anda tidak tahu.
Saya juga tidak tahu.
Hanya ia yang tahu.
Dugaan saya, itu karena ia merasa tidak bersalah. Juga tidak punya rasa takut. Atau cuek. Atau terserah saja…
Saya sengaja tidak mau menanyakan itu kepadanya. Biar pun hubungan saya baik. Itu karena saya sudah pernah bertanya. Berkali-kali.
Jawabnya selalu sama: saya ini hanya ingin menolong orang, berbuat terbaik untuk bangsa, tidak peduli dibilang apa, tidak mikir dilakukan apa.
Kalimat-kalimat persisnya bukan itu tapi serupa dan senada dengan itu.
Saya putar dengan teknik pertanyaan memutar. Pun jawabnya konsisten.
Mengapa ia patut diduga merasa tidak bersalah?
Tentu Anda tidak tahu.
Saya juga tidak tahu.
Jangan-jangan ia juga tidak tahu.
Justru teman saya yang tahu. Setidaknya merasa tahu. Atau sekadar menduga untuk tidak dibilang sok tahu.
Teman saya itu orang Jerman. Asal Malang. Sudah lebih 40 tahun di sana. Awalnya sekolah apoteker di Jerman. Sekolah terus. Sampai jadi sarjana farmasi. Sekolah lagi, S-2. Lanjut. Bergelar doktor. Bidangnya tetap: farmasi.
“Di Jerman, untuk dokter yang melakukan seperti yang dilakukan dokter Terawan tidak harus melakukan uji klinis seperti yang dimaksud IDI,” ujar Rudy Susilo, Si Arema Jerman itu.
Susilo menyelesaikan S-1 di Free University, Berlin. Di situ juga meraih master of science di bidang bio chemistry (biochemiker). Dengan predikat sangat baik.
Sedang PhD-nya summa cum laude di bidang Pharmacognosy and Phytochemistry.
Yang dilakukan Terawan itu, menurut Susilo, bukan menemukan obat baru. Tapi disebut “menemukan metode pengobatan”.
Menurut Susilo, banyak sekali dokter menemukan metode pengobatannya sendiri-sendiri. Yang sederhana maupun yang rumit.
Sepanjang yang dilakukan adalah ”metode pengobatan” maka tidak perlu ada uji coba seperti yang harus dilakukan dalam proses penelitian menemukan obat baru.
Susilo, kini 72 tahun, pilih bekerja di sana. Awalnya sebagai staf penelitian, lantas jadi manajer berbagai departemen di pusat penelitian itu, sampai akhirnya mencapai posisi direktur Medical and Scientific di Trommsdorff GmbH & Co., Ferrer Group, di sana. Jabatan direktur itu ia pegang sampai hampir 10 tahun.
Ia juga anggota Scientific Commission of New Drug Development di Ferrer Group International, Spanyol.
Tapi bukankah dalam praktik DSA (“cuci otak”) itu Terawan menggunakan obat heparin? Yang oleh tokoh terkemuka IDI dipakai alasan yang sangat telak untuk melawan Terawan?
Saya sendiri harus banyak membaca pendapat yang ”menyerang” Terawan. Agar cukup pengetahuan dan info dari banyak pihak. Salah satunya artikel di majalah digital IDI. Terbitan April 2022.
Seorang dokter sengaja mengirimkan majalah itu untuk saya. Di situ ada tulisan bagus sekali. Pendek. Jelas. Runtut. Dengan bahasa yang sangat mudah dicerna. Enak untuk dibaca.
Salah satu isinya ditulis oleh Prof Dr dr Moh Hasan Mahfoed dan dr Prima Ardiansyah.
Di depan nama Prof Hasan itu ada kata Alm. Berarti beliau sudah meninggal dunia. Berarti artikel itu tulisan lama yang dipublikasikan ulang. Atau mungkin artikel lama yang disarikan ulang oleh dr Prima.
Di tulisan itu Prof Hasan telak sekali menyalahkan Terawan. Seperti tak terbantahkan lagi.
Awalnya Prof Hasan mengaku malas menanggapi soal Terawan. Tidak ilmiah sama sekali. Tapi karena soal neuro Indonesia disebut-sebut Prof Hasan pun menulis juga. Itu karena beliau adalah ketuanya.
“Heparin tidak bisa digunakan untuk mengobati stroke,” tulis beliau.
Beliau mengibaratkan baju yang kotor kena lumpur. Itu bisa dicuci dengan air. Tapi kalau baju itu terkena cat maka membersihkannya harus dengan minyak.
Obat stroke itu bukan ‘air’ heparin tapi ”minyak” r-tPA.
Saya pun ingat pendapat Susilo soal heparin. Maka saya tanyakan itu padanya.
Bahwa menggunakan heparin itu dianggap salah, menurut Susilo, bisa iya bisa tidak.
Susilo menyebutnya dengan istilah “setengah benar, setengah salah”.
“Standar terapi untuk stroke adalah re-canalization/LYSIS dengan thrombolytica. Syaratnya diberikan maksimum dalam waktu 4,5 jam sesudah ada gejala,” kata Susilo.
Dalam waktu 24 jam sesudah gejala, ujar Susilo, heparin dengan dosis tinggi justru tidak dianjurkan.
“Tetapi sesudah 24 jam, untuk menghindarkan thrombosis, dianjurkan untuk pemberian herparin dengan dosis rendah 10.000 IE,” katanya.
Apakah itu ada literaturnya?
“Ada,” jawabnya. “Barusan saya kirim ke Anda lewat email. Itu literatur papan atas dari New England Journal Medicine,” jawabnya.
Saya bukan dokter. Bukan peneliti. Bukan ahli.
Saya penulis.
Saya tidak berhak menilai apakah yang dilakukan Terawan dalam praktik “cuci otak”-nya itu adalah penemuan obat –yang harus lewat uji coba dalam disiplin penelitian. Atau metode pengobatan.
Saya juga tidak berhak menilai apakah untuk sebuah metode pengobatan juga harus lewat uji coba seperti dalam sebuah penelitian.
Anda lebih tahu.
Saya hanya tahu Terawan tetap tenang dalam sikapnya, senyum dalam bibirnya dan menyuntik tokoh di rumah sakitnya.(Dahlan Iskan)