Rumah bambu itu bocor. Rumah baru. Air menetes ke lantai. Nasib sebagian Perusuh Disway kali ini ternyata kurang baik.
Inilah musim hujan pertama bagi rumah bambu itu. Saya sudah beberapa kali tidur di situ. Pun teman dari Singapura dan dari Tiongkok. Tidak ada air menetes saat itu: saat rumah bambu itu jadi musim lagi kemarau.
Di antara 40 Perusuh Disway, 12 orang yang pilih bermalam di rumah kebun ini: DIC Farm. Selebihnya pulang seusai pertemuan tahunan ini. Disway merchandise
Saya lupa siapa yang memberi nama DIC Farm itu. Rasanya nama itu kini tidak relevan lagi. Hanya Pak Mirza Mirwan yang masih ingat bahwa itu singkatan dari Demi Indonesia Cerah.
Kata “Demi Indonesia”, waktu itu, banyak dipakai oleh tim yang menginginkan DI ikut konvensi Partai Demokrat.
Semua cita-cita telah terkubur bersamaan dengan akhir konvensi itu. Sayangnya nama itu tetap hidup di Google Map. Biar saja. Sayang juga kalau ikut terkubur.
Akhirnya hanya dua orang pemberani yang tetap tidur di rumah bambu: nama mereka dirahasiakan. Mereka harus menggeser-geser kasur ke celah-celah tetesan air.
Selebihnya pilih pindah ke ”Rumah Manado”. Itulah rumah kayu yang kami beli dari Manado. Dikirim pakai kapal. Dipasang ulang di wilayah pedesaan berbukit di Mojokerto ini. Umurnya sudah lebih 25 tahun.
Lantai atasnya ada tiga kamar. Masih ada ruang keluarga. Kebetulan malam itu sepak bola Indonesia melawan Vietnam. Mereka nonton di situ. Lesehan di lantai berkasur.
Sampai keesokan harinya banyak yang tidak tahu kalau Indonesia kalah. Mereka sudah “tewas” ketika posisi masih 0-0.
Dokter Sandra Widjajahakim dan suami berada di kamar depan. Nicky dan Dewi di kamar samping. Rani di kamar belakang. Selebihnya di ruang keluarga.
Nicky dan Dewi harus ikut bermalam di situ: besok paginya mereka yang jadi pelatih senam di halaman tengah. Yakni di dekat “lorong bambu” yang panjang.
Suami dokter, Hady Marzuki, pilih tidak ikut senam. Sejak dari Jakarta ia membawa alat pruning.
Ia pilih keliling kebun memotongi ranting-ranting jambu putih, juwet putih, rambutan binjai, kelengkeng merah, jeruk Bali, dan banyak lagi.
Siangnya saya lihat banyak kulit rambutan berserakan –tanpa saya menuduhnya melakukan pruning sekalian merasakan rambutannya.
Malam itu saya sendiri, bersama istri, tidur di rumah tipe desa di seberang jauh rumah bambu.
Sebenarnya saya menginginkan hidup berdua di rumah bambu itu. Istri tidak mau. Dia takut rumahnya roboh ditiup angin. Dia pilih di rumah lama, rumah asli desa ini.
Istri saya juga tidak ikut senam. Ia sibuk di dapur. Dapurnya di bagian belakang kolong Rumah Manado.
Di depan dapur itu kolong rumahnya terbuka. Ada tiga meja besar nan panjang. Tempat duduknya dingklik kayu.
Tiga-tiganya, pagi-pagi, sudah penuh dengan makanan.
Ada perusuh yang menghitung: 12 jenis masakan. Si Galuh Banjar memang bangun pukul 03.00: menyiapkan semua menu itu.
Saya lihat banyak yang memotretnya sebelum memakannya. Mungkin baik juga kalau foto itu di-share di kolom komentar.
Inilah daftar makanan yang masih saya ingat: gule kambing, sayur asam, terong goreng, woku kepala ikan, sambal selayah besar, pecel lele, dadar jagung, tempe goreng, bandeng krispi.
Itu menu untuk sarapan! Dan hanya untuk 12 orang perusuh yang tersisa: lima dari Jakarta, dua dari Ketapang, Kalbar. Satu dari Kuala Lumpur. Satu dari Blitar. Satu dari Gresik.
Maka selesai senam, kami menyerbu meja panjang itu. “Senam tadi berhasil membuang 300 kalori. Lihat makanan ini bisa naik 1000 kalori,” celetuk Nicky.
Setelah sarapan mereka pun berkomentar. “Lain kali tidak usah di hotel. Di sini saja. Jauh lebih nyaman,” ujar mereka.
Tentu DIC Farm tidak cukup kalau untuk 40 orang. Kecuali di musim kemarau nanti kebocoran sudah bisa diperbaiki: bisa untuk 10 orang.
Lantai atas rumah bambu itu sendiri sebenarnya menawarkan pemandangan sawah dan gunung yang indah.
Ada juga pemandangan kandang usaha ternak ayam yang agak kumuh. Terlihat juga sungai curam yang berbatu. Setiap saat suara airnya gemuruh –dan di malam hari terasa lebih menderu.
Pertemuan perusuh sendiri dilakukan di kolong rumah bambu itu. Sebagian di bawah kolong. Sebagian lagi di bawah pohon asam atau di sekitar sumur tua. Ada juga yang pilih sambil duduk-duduk di pinggir parit berair deras.
Ada dua topik yang dibahas di kolong rumah bambu itu: swasembada pangan dan swasembada pikiran.
Yang terakhir itu dipimpin oleh karikaturis terkemuka Wahyu Kokang (Disway 21 November 2024: Kokkang Ibunda).
Topik yang dibawakan Wahyu adalah ”membuat lingkaran”. Seru. Semua perusuh diberi kertas A3. Juga spidol. Semua harus membuat lingkaran.
Itu metode Wahyu untuk mengajar menggambar di rumah sakit jiwa. Wahyu ingin melihat siapa di antara penghuni RSJ yang sudah bisa membuat lingkaran sempurna. Yakni lingkaran yang ujung dan awalnya bisa bertemu.
Perusuh pun banyak yang terbahak ketika selesai menggambar: banyak yang ujungnya tidak ketemu.
Yang juga seru adalah ketika Perusuh harus saling berpasangan. Berhadapan. Lalu saling menggambar wajah yang di hadapannya.
Juaranya, Eksan Susanto, mendapat hadiah: satu kantong keripik tempe dari Mayasari Tempeh, Indiana Amerika Serikat.
Kalau memang dikehendaki saya setuju tahun depan pertemuannya di sini saja: tentu perlu ada pengumuman agar setiap peserta membawa jas hujan. Siapa tahu harus ada yang tidur dengan jas hujan.(Dahlan Iskan)