28.2 C
Jakarta
Sunday, October 6, 2024

Krisis Chip

INI tebakan saya. Kalaupun meleset, itulah harapan saya: mereka berdua membicarakan krisis chip.

Ternyata tidak. Presiden Joe Biden memang bertemu Presiden Xi Jinping. Kemarin pagi, waktu Beijing. Atau kemarin malam, waktu Washington DC.

Itulah tatap muka mereka yang pertama –meski hanya lewat kamera– sebagai presiden. Rupanya dua orang itu sudah saling kangen. Pertemuan tersebut sampai empat jam lamanya.

Menurut yang tersiar luas, agendanya lebih banyak membicarakan apa yang Anda sudah tahu: perlindungan hak cipta, nuklir, senjata, ekonomi, Taiwan, Xinjiang, dan perubahan iklim.

Tidak ada hasil yang nyata –yang disiarkan ke media. Tapi, juga tidak ada pertengkaran baru. Keduanya, bahkan, sepakat untuk terus menjaga saling pengertian.

Mereka juga sepakat jangan sampai ada konflik. Biden mengatakan, kedua negara memang bersaing. Tapi, sebaiknya bersaing secara lugas saja.

Tidak terlihat masalah krisis chip sempat dibahas. Padahal, semula, dugaan saya, justru krisis semikonduktor itulah yang akan mendominasi pembicaraan.

Krisis chip itu sudah membahayakan ekonomi dua negara. Juga, ekonomi seluruh dunia.

Sejak Biden menjadi presiden, 10 bulan lalu, sebenarnya mereka sudah dua kali saling menyapa. Lewat telepon. Tapi, baru sekarang secara khusus ”tatap muka” –meski secara virtual.

Kedua presiden sudah sama-sama kenal secara baik. Secara pribadi. Yakni, sejak mereka masih sama-sama menjabat wakil presiden. Mereka pernah pergi ke Tibet bersama –yang waktu itu masih sesensitif Xinjiang sekarang.

Tibet, kala itu, juga punya problem separatis, masalah agama, dan perlakuan pada minoritas. Dalam hal agama, di Tibet menyangkut Buddha, di Xinjiang Islam.

Mereka tidak hanya saling kenal. Xi Jinping menyebut Biden sebagai teman lama. Belum pernah terjadi: dua pemimpin dunia menggunakan waktu bersama lebih lama dari Jinping-Biden.

Di Tibet mereka pun makan malam bersama. Di ketinggian 6.000 meter. Dalam suasana yang lebih rileks.

Itu dulu. Ketika Tiongkok belum sekuat sekarang. Tiongkok masih di urutan ketiga ekonomi dunia –setelah Amerika dan Jepang. Ketika belum terjadi perang dagang.

Mereka pun sudah lama tidak lagi bertemu. Selama kepresidenan Barack Obama, hubungan kedua negara sudah agak renggang. Lalu, boleh dibilang hancur oleh kebijakan nasionalistis Presiden Donald Trump: perang dagang.

Baca Juga :  Wah Wah

Di akhir masa jabatan Trump, sebenarnya tekanan pada Tiongkok seperti akan dilonggarkan. Ada upaya meredakannya. Tiongkok pun sudah menyetujui untuk impor lebih banyak barang dari Amerika. Angka-angkanya –yang tremendous– sudah disepakati.

Meleset total.

Belum lagi terlaksana, sudah muncul Covid-19. Masing-masing lebih sibuk menyelamatkan diri.

Akhirnya Tiongkok tidak bisa memenuhi komitmen impornya itu. Kecil sekali. Kurang dari 20 persennya. Justru ekspornya yang jalan terus. Meningkat terus. Sampai pun menyebabkan terjadi krisis kontainer: lebih banyak kontainer untuk mengirim barang ke Amerika. Hanya sedikit kontainer yang untuk mengirim barang dari Amerika. Kontainer kosong, banyak menumpuk nganggur di Amerika.

Dan kini terjadi krisis yang lebih berat: krisis chip semikonduktor.

Di seluruh dunia.

Termasuk di Amerika sendiri.

Inflasi juga naik di Amerika –sampai Biden jadi bulan-bulanan. Rating Biden sampai turun drastis –dimulai sejak penarikan seluruh pasukan Amerika dari Afghanistan akhir Agustus lalu.

Survei kredibel pun menunjukkan hasil: Trump sudah menang telak. Dengan selisih sampai dua digit. Itu kalau pilpres Amerika dilaksanakan antara Biden dan Trump sekarang ini.

Redanya Covid ternyata tidak membuat Biden berkibar. Ekonomi, yang begitu hebat di awal masa jabatan Trump, begitu merosot di awal masa jabatan Biden.

Pun tidak mudah mengatasinya. Setidaknya tidak bisa cepat. Krisis chip itu bisa melumpuhkan ekonomi.

General Motor sampai akan menghentikan produksi. Ribuan mobil Ford sudah hampir jadi, tapi tidak bisa diselesaikan. Toyota akan mengurangi produksi sampai 40 persen.

Pabrik mobil memang terpukul hebat. Satu mobil, di zaman ini, memerlukan sekitar 2.000 chip. Ada jenis mobil yang sampai memerlukan 3.000 chip.

Produksi barang-barang elektronik lebih terpukul lagi. Video games, handphone, smart TV, dan apa pun yang ada di sekitar Anda sangat bergantung pada chip.

Penyebab krisis chip itu, awalnya, sebenarnya akibat ulah Trump juga. Yang membatasi penjualan chip ke Tiongkok. Demi keamanan nasional. Lalu: semua chip Amerika harus diproduksi di Amerika. Demi keamanan nasional. Investasi Amerika di bidang itu harus dilakukan di Amerika. Demi keamanan nasional.

Baca Juga :  Tegur Jesus

Ternyata tidak mudah melaksanakan semua itu. Emosi nasionalisme saja tidak cukup. Untuk membangun pabrik chip –skala besar– diperlukan investasi sampai sekitar Rp 150 triliun. Juga, diperlukan tenaga kerja khusus yang terlatih di bidang itu. Rekrutmen tenaga kerjanya tidak bisa mendadak.

Juga, harus diciptakan instalasi penjernihan air yang sangat khusus. Dalam kapasitas yang sangat besar. Itu sudah bukan menjernihkan air lagi. Tingkatnya sudah pemurnian air.

Semua itu hanya ada di Tiongkok. Kalau mau cepat. Pun kalau ingin dalam jumlah yang besar –yang bisa mengatasi krisis chip dunia sekarang ini.

Intel sudah mengajukan usul: untuk dibolehkan memproduksi chip di pabrik raksasanya. Tapi, pabrik itu ada di Sichuan, Tiongkok bagian barat.

Berarti, sebenarnya, krisis ini bisa diatasi. Kalau Biden bersepakat dengan Jinping: perdagangan chip dinormalkan.

Dalam hal chip ini, kelihatannya Amerika dalam posisi kepepet lagi. Kalau tidak diatasi segera, dampak krisis chip itu lebih parah daripada Covid. Memang tidak akan ada yang masuk rumah sakit atau meninggal dunia. Tapi, dunia modern sudah terlalu bergantung pada benda sebesar 6 nanometer itu.

Selama ini Taiwan-lah yang memasok 50 persen keperluan chip dunia. Anda sudah tahu mereknya apa: TSMC. Yang dimiliki ilmuwan Amerika kelahiran Taiwan.

Tahun lalu Taiwan dilanda musim kering yang tidak biasa. Yang terburuk dalam 100 tahun. Pasokan air untuk pabrik chip itu sampai terganggu.

Padahal, pabrik chip TSMC memerlukan air murni, tiap hari, sampai 63.000 ton.

Masih ditambah: harga salah satu bahan bakunya, tembaga, naik.

Pabrik chip di Jepang, ndilalah, kebakaran. Sedangkan pabrik chip di Malaysia sempat tutup lama akibat Covid.

Pun kalau pabrik di Taiwan, Jepang, dan Malaysia itu sudah normal kembali. Belum akan bisa mengatasi krisis sekarang ini. Produksinya tetap. Keperluannya naik terus.

Inilah krisis kelas atas. Terlalu atas. Yang di bawah, untuk menontonnya pun sulit. (Dahlan Iskan)

INI tebakan saya. Kalaupun meleset, itulah harapan saya: mereka berdua membicarakan krisis chip.

Ternyata tidak. Presiden Joe Biden memang bertemu Presiden Xi Jinping. Kemarin pagi, waktu Beijing. Atau kemarin malam, waktu Washington DC.

Itulah tatap muka mereka yang pertama –meski hanya lewat kamera– sebagai presiden. Rupanya dua orang itu sudah saling kangen. Pertemuan tersebut sampai empat jam lamanya.

Menurut yang tersiar luas, agendanya lebih banyak membicarakan apa yang Anda sudah tahu: perlindungan hak cipta, nuklir, senjata, ekonomi, Taiwan, Xinjiang, dan perubahan iklim.

Tidak ada hasil yang nyata –yang disiarkan ke media. Tapi, juga tidak ada pertengkaran baru. Keduanya, bahkan, sepakat untuk terus menjaga saling pengertian.

Mereka juga sepakat jangan sampai ada konflik. Biden mengatakan, kedua negara memang bersaing. Tapi, sebaiknya bersaing secara lugas saja.

Tidak terlihat masalah krisis chip sempat dibahas. Padahal, semula, dugaan saya, justru krisis semikonduktor itulah yang akan mendominasi pembicaraan.

Krisis chip itu sudah membahayakan ekonomi dua negara. Juga, ekonomi seluruh dunia.

Sejak Biden menjadi presiden, 10 bulan lalu, sebenarnya mereka sudah dua kali saling menyapa. Lewat telepon. Tapi, baru sekarang secara khusus ”tatap muka” –meski secara virtual.

Kedua presiden sudah sama-sama kenal secara baik. Secara pribadi. Yakni, sejak mereka masih sama-sama menjabat wakil presiden. Mereka pernah pergi ke Tibet bersama –yang waktu itu masih sesensitif Xinjiang sekarang.

Tibet, kala itu, juga punya problem separatis, masalah agama, dan perlakuan pada minoritas. Dalam hal agama, di Tibet menyangkut Buddha, di Xinjiang Islam.

Mereka tidak hanya saling kenal. Xi Jinping menyebut Biden sebagai teman lama. Belum pernah terjadi: dua pemimpin dunia menggunakan waktu bersama lebih lama dari Jinping-Biden.

Di Tibet mereka pun makan malam bersama. Di ketinggian 6.000 meter. Dalam suasana yang lebih rileks.

Itu dulu. Ketika Tiongkok belum sekuat sekarang. Tiongkok masih di urutan ketiga ekonomi dunia –setelah Amerika dan Jepang. Ketika belum terjadi perang dagang.

Mereka pun sudah lama tidak lagi bertemu. Selama kepresidenan Barack Obama, hubungan kedua negara sudah agak renggang. Lalu, boleh dibilang hancur oleh kebijakan nasionalistis Presiden Donald Trump: perang dagang.

Baca Juga :  Wah Wah

Di akhir masa jabatan Trump, sebenarnya tekanan pada Tiongkok seperti akan dilonggarkan. Ada upaya meredakannya. Tiongkok pun sudah menyetujui untuk impor lebih banyak barang dari Amerika. Angka-angkanya –yang tremendous– sudah disepakati.

Meleset total.

Belum lagi terlaksana, sudah muncul Covid-19. Masing-masing lebih sibuk menyelamatkan diri.

Akhirnya Tiongkok tidak bisa memenuhi komitmen impornya itu. Kecil sekali. Kurang dari 20 persennya. Justru ekspornya yang jalan terus. Meningkat terus. Sampai pun menyebabkan terjadi krisis kontainer: lebih banyak kontainer untuk mengirim barang ke Amerika. Hanya sedikit kontainer yang untuk mengirim barang dari Amerika. Kontainer kosong, banyak menumpuk nganggur di Amerika.

Dan kini terjadi krisis yang lebih berat: krisis chip semikonduktor.

Di seluruh dunia.

Termasuk di Amerika sendiri.

Inflasi juga naik di Amerika –sampai Biden jadi bulan-bulanan. Rating Biden sampai turun drastis –dimulai sejak penarikan seluruh pasukan Amerika dari Afghanistan akhir Agustus lalu.

Survei kredibel pun menunjukkan hasil: Trump sudah menang telak. Dengan selisih sampai dua digit. Itu kalau pilpres Amerika dilaksanakan antara Biden dan Trump sekarang ini.

Redanya Covid ternyata tidak membuat Biden berkibar. Ekonomi, yang begitu hebat di awal masa jabatan Trump, begitu merosot di awal masa jabatan Biden.

Pun tidak mudah mengatasinya. Setidaknya tidak bisa cepat. Krisis chip itu bisa melumpuhkan ekonomi.

General Motor sampai akan menghentikan produksi. Ribuan mobil Ford sudah hampir jadi, tapi tidak bisa diselesaikan. Toyota akan mengurangi produksi sampai 40 persen.

Pabrik mobil memang terpukul hebat. Satu mobil, di zaman ini, memerlukan sekitar 2.000 chip. Ada jenis mobil yang sampai memerlukan 3.000 chip.

Produksi barang-barang elektronik lebih terpukul lagi. Video games, handphone, smart TV, dan apa pun yang ada di sekitar Anda sangat bergantung pada chip.

Penyebab krisis chip itu, awalnya, sebenarnya akibat ulah Trump juga. Yang membatasi penjualan chip ke Tiongkok. Demi keamanan nasional. Lalu: semua chip Amerika harus diproduksi di Amerika. Demi keamanan nasional. Investasi Amerika di bidang itu harus dilakukan di Amerika. Demi keamanan nasional.

Baca Juga :  Tegur Jesus

Ternyata tidak mudah melaksanakan semua itu. Emosi nasionalisme saja tidak cukup. Untuk membangun pabrik chip –skala besar– diperlukan investasi sampai sekitar Rp 150 triliun. Juga, diperlukan tenaga kerja khusus yang terlatih di bidang itu. Rekrutmen tenaga kerjanya tidak bisa mendadak.

Juga, harus diciptakan instalasi penjernihan air yang sangat khusus. Dalam kapasitas yang sangat besar. Itu sudah bukan menjernihkan air lagi. Tingkatnya sudah pemurnian air.

Semua itu hanya ada di Tiongkok. Kalau mau cepat. Pun kalau ingin dalam jumlah yang besar –yang bisa mengatasi krisis chip dunia sekarang ini.

Intel sudah mengajukan usul: untuk dibolehkan memproduksi chip di pabrik raksasanya. Tapi, pabrik itu ada di Sichuan, Tiongkok bagian barat.

Berarti, sebenarnya, krisis ini bisa diatasi. Kalau Biden bersepakat dengan Jinping: perdagangan chip dinormalkan.

Dalam hal chip ini, kelihatannya Amerika dalam posisi kepepet lagi. Kalau tidak diatasi segera, dampak krisis chip itu lebih parah daripada Covid. Memang tidak akan ada yang masuk rumah sakit atau meninggal dunia. Tapi, dunia modern sudah terlalu bergantung pada benda sebesar 6 nanometer itu.

Selama ini Taiwan-lah yang memasok 50 persen keperluan chip dunia. Anda sudah tahu mereknya apa: TSMC. Yang dimiliki ilmuwan Amerika kelahiran Taiwan.

Tahun lalu Taiwan dilanda musim kering yang tidak biasa. Yang terburuk dalam 100 tahun. Pasokan air untuk pabrik chip itu sampai terganggu.

Padahal, pabrik chip TSMC memerlukan air murni, tiap hari, sampai 63.000 ton.

Masih ditambah: harga salah satu bahan bakunya, tembaga, naik.

Pabrik chip di Jepang, ndilalah, kebakaran. Sedangkan pabrik chip di Malaysia sempat tutup lama akibat Covid.

Pun kalau pabrik di Taiwan, Jepang, dan Malaysia itu sudah normal kembali. Belum akan bisa mengatasi krisis sekarang ini. Produksinya tetap. Keperluannya naik terus.

Inilah krisis kelas atas. Terlalu atas. Yang di bawah, untuk menontonnya pun sulit. (Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru