BANYAK jalan untuk nge-top. Pun Ning Imaz. Dia jadi terkenal lewat orang yang lagi terpeleset: Eko Kuntadhi. Tokoh medsos dari Semarang itu diserang habis oleh kalangan NU: dianggap melecehkan Ning Imaz.
Heboh.
Saya pun menghubungi Ning Imaz. Nama lengkapnyi: Fatimatuz Zahra. “Saya tidak tahu mengapa dipanggil Imaz. Sejak kecil itulah nama panggilan saya,” katanyi. Sedangkan ”Ning” di Kediri, adalah panggilan untuk putri seorang kiai. Sama dengan ”Gus” kalau anak kiai itu laki-laki.
Ning Imaz memang anak salah satu kiai pondok pesantren Lirboyo. Yakni sebuah pondok di pinggir barat kota Kediri. Para peziarah Goa Maria Poh Sarang pasti melewati depan pondok Lirboyo. Pesantren ini sangat besar. Lirboyo tergolong pondok level bintang sembilan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
Dengan demikian Ning Imaz memang pemilik darah biru di Lirboyo. Tapi namanyi memang belum menasional. Dia tidak aktif di organisasi pelajar, mahasiswa, atau wanita NU tingkat nasional. Dia juga tidak aktif di politik. Tidak salah kalau Eko Kuntadhi tidak mengenal siapa dia.
Mengomentari negatif video Ning Imaz mungkin dianggap tidak berisiko. Mungkin juga Eko Kuntadhi sangat ideologis. Liberalis. Mungkin saja ia ingin ”meluruskan” pikiran umum yang terlalu sempit dalam beragama.
Di kalangan tertentu memang muncul kegelisahan besar. Yakni terlalu fanatiknya masyarakat kita dalam beragama. Itu dianggap salah satu penyebab kita sulit maju.
Ning Imaz sendiri tidak pernah ingin terkenal. Begitulah ajaran yang dia terima sejak kecil. Dia lahir, tumbuh, remaja sampai dewasa di lingkungan pondok Lirboyo. Sampai tamat setingkat SMA di situ –dengan kemampuan ilmu lebih tinggi dari umumnya sarjana agama Islam.
Di pondok itu Ning Imaz mendalami ilmu fikih, tata cara peribadatan. Dia bisa dibilang ahli fikih. Terbukti sering jadi pembicara dalam forum bahtsul masail –pembahasan masalah-masalah keagamaan yang rumit yang lagi hangat di tengah masyarakat modern.
Dan dia hafal Quran.
Kalau saja tidak ada pandemi nama Ning Imaz tidak akan muncul di medsos. Gara-gara pandemilah Ning Imaz terbiasa dengan yang serba online.
Selama masa Covid-19 pekerjaan utamanyi, mengajar, terhenti. Demikian juga undangan berceramah di pengajian-pengajian. Berhenti total.
Di tengah pandemi itu dia masuk dunia Instagram. Maksudnyi, agar tetap bisa menyebarkan ilmu agama di masa pandemi.
Karena itu isi Instagram Ning Imaz melulu soal ajaran agama. Khususnya menyangkut wanita dan rumah tangga. Penggemar Instagramnyi banyak sekali. Follower-nyi 129.000 kemarin pagi dan menjadi 130.000 sore harinya.
Bahasan soal wanita tidak pernah habis daya tariknya. Termasuk bagaimana wanita kelak di surga. Apa ”hadiah” yang dijanjikan Tuhan untuk wanita di surga kelak.
Menurut Ning Imaz hadiah bagi wanita tidak sama dengan hadiah bagi laki-laki. Puncak kenikmatan laki-laki itu ada di wanita. Karena itu di surga kelak laki-laki akan mendapat banyak bidadari.
Sedang wanita tidak akan mendapat bidadara –lelaki ganteng nan perkasa dan romantis. Wanita kelak mendapat perhiasan yang diinginkan. Itu karena puncak kepuasan wanita ada di perhiasan. Bahkan wanita itu sendiri adalah perhiasan.
Selasa malam, Kuntadhi mengomentari postingan Ning Imaz itu. Ning Imaz dikatakan tolol, kadal dan hanya berorientasi pada selangkangan. Lalu ia tinggal tidur. Bangun-bangun kehebohan sudah meluas.
Isu-isu agama punya memang pasarnya sendiri. Besar sekali. Tanya jawab soal agama sangat disukai. Pun sampai ke soal kewajiban mandi basah setelah bersetubuh. Demikian juga masalah pacaran dan hubungan suami istri.
Tentu tidak semua ahli agama setuju dengan tafsir yang disampaikan Ning Imaz. Kalau semua lelaki disediakan bidadari bagaimana dengan lelaki yang lebih mencintai harta daripada wanita. Bahkan Nabi Yunus dikenal sebagai orang yang tidak berselera dalam hal seks.
Tafsir tentang surga, neraka, bidadari, dan segala hal yang terkait hidup setelah mati memang sangat beragam. Tidak tunggal. Kuntadhi memilih menghakimi Ning Imaz. Secara kurang sopan pula. Ia bukan menyajikan pilihan yang berbeda tapi mencela. Dan ia sudah menghukum dirinya.
Ning Imaz sendiri santai saja. Menurut dia Kuntadhi tidak perlu minta maaf pada dirinyi. Kalau minta maaf kepada publik. Tapi tetap saja Kuntadhi ke Lirboyo. Kemarin sore. Ia didampingi tokoh Islam liberal sekaligus tokoh intelektual muda NU Guntur Romli. Ia ingin minta maaf secara langsung. Ning Imaz juga hadir di pertemuan itu. Suaminyi ikut menemui.
Sang suami, Gus Rifqil Moeslim, adalah kiai muda dari pondok pesantren Mambaul Hikmah, Kaliwungu. Ia putra bungsu kiai utama di pondok itu. Kemarin Gus Rifqil tiba di Lirboyo dari Kaliwungu. Ning Imaz sendiri masih harus mondar-mandir Kaliwungu-Kediri. Dia masih harus mengajar banyak mata pelajaran di pondok putri Lirboyo.
Ning Imaz ini boleh dikata masih pengantin baru. Dia menikah Maret lalu. Tanpa lewat proses pacaran. Dia kenal Gus Rifqil di acara yang khusus diadakan oleh keluarga: itulah acara ta’aruf. Tanggal 2 Oktober tahun lalu.
Gus Rifqil diundang makan di sebuah restoran di Kediri. Resto Kebun Rojo. Ia diantar keluarga dekat. Ning Imaz juga diundang di acara makan itu. Juga didampingi keluarga.
Di restoran Kebun Rojo itulah Gus Rifqil diberi tahu: gadis yang itu yang bernama Ning Imaz. Yang diinginkan keluarga agar menjadi jodohnya. Cocok. Gus Rifqil berusia 34 tahun, Ning Imaz 25 tahun.
Maka diputuskanlah kapan menikah: 10 Maret 2022. Waktu pernikahan itu banyak tokoh hadir. KH Said Aqil Siraj adalah sepupu ibunda Ning Imaz. Gus Yasin, wakil gubernur Jateng juga hadir. Pengantin laki-laki adalah alumni pondok pesantren Sarang, Rembang. Berarti Gus Rifqil adalah santri Kiai Maimoen Zubeir, ayahanda Gus Yasin.
Yang harus dicatat: Gubernur Jateng Ganjar Pranowo juga hadir. Bahkan memberikan sambutan. Maka kalau ketua tim Ganjar blunder terhadap Ning Imaz tentu semata-mata karena Kuntadhi tidak tahu siapa ”korban” ledekannya itu.
Ning Imaz itu aktif benar di Instagram juga tidak. Dia mengaku tidak begitu peduli dengan jumlah follower. “Belum tentu seminggu sekali saya posting. Kadang sebulan hanya satu kali,” katanyi.
Saya juga bicara dengan Sang suami. Keduanya segera ke Yogyakarta. Diundang tampil bersama di kota gudeg. “Kami memang sering diundang tampil bersama,” ujar Gus Rifqil.
Tentu ke depan mereka kian sering tampil berdua. Asal jangan lupa: merencanakan punya kiai besar di tahun 2050 kelak. (Dahlan Iskan)