KEINGINAN lima bulan lalu baru tercapai sekarang: naik taksi tanpa pengemudi. Di San Francisco, Amerika Serikat. Selasa kemarin.
Nama taksinya: Waymo. Sekarang sudah bisa dipesan seperti pesan Grab atau Uber. Lewat aplikasi.
Lima bulan lalu saat saya di San Francisco masih harus mendaftar pakai email. Atau aplikasi, tapi belum bisa langsung dilayani. Masih harus menunggu jawaban dari Waymo kapan bisa dilayani.
Kemarin itu saya makan siang dengan Konsul Jendral RI di San Francisco Prasetyo Hadi. Orang Jember lulusan hubungan internasional UTA Jakarta.
Anda sudah tahu UTA: Universitas Tujuhbelas Agustus, d/h Untag. Saya datang bersama Ari Sufiati dan Nico. Beliau didampingi kang Deden Mahmudin Nur Al-Gozaly, seorang pejabat di konjen.
Dari Pak Konjen saya tahu: Waymo sudah bisa dipesan seperti taksi biasa. Lewat aplikasi Waymo.
Selesai makan siang, Ari –sudah 10 tahun menjadi seksi sibuk setiap rombongan juara basket DBL Indonesia tur ke Amerika– membuka aplikasi Waymo.
Ari minta Waymo datang ke Wisma Indonesia, tempat kami makan. Tujuan kami berikutnya: Thai Street Food di Jalan Bangkok Street.
Kami masih asyik ngobrol di ruang tamu Wisma Indonesia ketika pemberitahuan masuk ke HP Ari: satu menit lagi Waymo tiba.
Kami pun bergegas membuka pintu keluar. Dari jauh kelihatan Waymo-nya datang. Mobilnya khas: warna putih dengan benda hitam lebih besar dari lampu sirine berputar di atas atapnya.
Waymo tidak berhenti persis di tempat kami berdiri di trotoar depan pintu utama Wisma Indonesia.
Waymo tidak mau berhenti di pojokan jalan. Ia menepi dan berhenti di tempat kosong di belakang mobil yang parkir paling dekat pojokan.
Kami pun maju beberapa langkah menuju Waymo. Kang Deden mengambil video (lihat di Instagram saya). Saya membuka pintu depan. Saya duduk di sebelah kursi sopir yang kosong. Ari dan Nico di kursi belakang.
Setelah memasang sabuk pengaman saya melihat layar di dekat dashboard. Ada kata ‘’START’’ di bagian bawah layar itu.
Saya segera sentuh kata “START” itu. Waymo pun menghidupkan lampu lighting kiri. Mobil lantas bergerak serong ke tengah jalan. Melaju tanpa ada yang pegang kemudi.
Perjalanan taksi Waymo ini –seperti terlihat di layar– selama 13 menit. Setiap lampu merah ia berhenti sendiri. Lalu jalan lagi setelah lampunya hijau. Waymo sangat disiplin. Ketika lampu sudah kuning ia berhenti. Tidak terlihat ia mempercepat lajunya memanfaatkan mumpung masih kuning.
Setiap kali berbelok setirnya berputar sendiri. Seperti ada hantu yang memutarnya. Tidak pernah sekali pun Waymo membunyikan klakson –apalagi memaki orang yang menerobos jalan.
Kami pilih tujuan akhir di depan resto Thailand agar dekat ke lokasi yang saya incar: pusat kota yang banyak tuna wismanya. Kami ingin berjalan-jalan di situ. Bagaimana bisa kota sekaya dan semodern San Francisco begitu banyak tuna wismanya.
Waymo ternyata bisa melihat ada tempat minggir kosong di depan resto tersebut. Waymo minggir di situ. Berhenti.
“Tujuan Anda sudah sampai.” Kami pun turun. Biasanya saya mengucapkan terima kasih kepada sopir taksi. Kali ini saya terpaku: apakah perlu mengucapkan terima kasih kepada setir mobil itu.
Jelaslah bahwa taksi tanpa sopir sudah ada. Sudah terwujud. Sudah beroperasi. Di San Francisco. Juga di Phoenix, kota terbesar yang agak sepi di Arizona. Daftar tunggu berikutnya: Los Angeles.
Dalam waktu tiga tahun ke depan pastilah semakin banyak kota yang mengijinkan Waymo beroperasi. Lalu akan mewabah ke seluruh dunia. Amerika yang memulai. Bukan Tiongkok. Mobil-mobil listrik Tiongkok sudah bisa berjalan tanpa kemudi tapi izin yang belum bisa keluar.
Pun yang di San Francisco ini. Awalnya hanya bisa di dalam kota. Kini sudah ada satu kota lagi, kota kecil di luar San Francisco, yang mengijinkannya: Dali. Letaknya antara San Francisco dan San Jose. Inilah kota yang mayoritas penduduknya orang asal Filipina.
Maka Waymo sudah bisa melayani penumpang dari San Francisco dengan tujuan Dali. Saya tidak sempat mencoba sejauh itu. Anda saja. Minggu depan. Atau bulan depan.
Berapa tarifnya?
“Sedikit lebih murah daripada Uber,” ujar Ari yang bekerja di Apple.
Dia pun menunjukkan copy aplikasi: USD 12,68. Tambah pajak transportasi yang murah karena taksi ini bebas emisi: USD 0,20. Total USD 12,87 . Sekitar Rp 200.000. Untuk jarak 1,35 mil.
Perasaan saya?
Tidak sedikit pun was-was. Toh sudah lama beroperasi tanpa kecelakaan. Sudah percaya penuh.
Marissa, anak St Louis Surabaya saat masih tinggal di San Francisco. Yang sekali bersama papa mamanyi saat keduanya menengoknyi di San Francisco.
Kini Marissa tinggal di San Bruno. Di selatan San Francisco. Saya makan malam di rumahnyi yang baru.
Saat pulang ke rumah Ari kami diantar dengan Tesla barunyi. Dia terlihat pegang kemudi tapi tidak mengemudi.
“Saya lebih percaya Tesla yang mengemudikan mobil ini daripada saya sendiri yang mengemudi,” ujar Marissa.
Dunia sudah berjalan begitu jauhnya. Tapi kita juga sudah berjalan lebih jauh: mampu lebih banyak membicarakan ke mana jalan kita setelah mati.(Dahlan Iskan)