NAMANYA satu kata: Sukirman. Ia dokter. Ahli. Spesialis mata.
Opo tumon: Sukirman takut pada alat suntik. Dan itu harus ia bayar mahal: telat tahu bahwa dirinya menderita sakit lever.
Sebenarnya sudah lama Sukirman merasa cepat lelah. Sampai sang istri sayang sekali padanya: gak usahlah praktik spesialis sore hari. Cukup dari penghasilan sebagai dokter pegawai negeri saja. Agar jangan sampai kelelahan.
Sang istri juga dokter. Ahli. Spesialis mata.
Sang istrilah yang akhirnya merayu Sukirman. Agar mau memeriksakan diri. Pun cukup pemeriksaan yang tidak usah berhubungan dengan jarum suntik. Tidak perlu juga pakai tusukan untuk mengambil darah.
Cukup periksa urine.
Rayuan itu dilakukan karena kaki sang suami sudah kian bengkak. Kaus kaki panjang sudah diganti dengan yang lebih pendek. Yang tebal sudah diganti yang tertipis.
Tetap saja: kakinya kian bengkak. Sampai akhirnya hanya bisa pakai sandal.
Dari pemeriksaan urine itulah diketahui: levernya sudah parah. Maka mau tidak mau harus periksa darah. Sangat lengkap. Rupanya hanya takut mati yang bisa mengalahkan takut jarum suntik.
Jelaslah: levernya sudah sirosis. Di tahap akhir pula. Ketahuan juga: ada hepatitis B.
Berita baiknya: belum ada tanda-tanda kanker di dalamnya.
Anda sudah bisa menduga: pasangan itu bertemu di kampus –ketika sama-sama kuliah spesialis mata.
Sang suami dokter umum dari Universitas Brawijaya Malang.
Sang istri dokter umum dari Universitas Andalas (Unand) Padang.
Bak asam dari gedung bertingkat dan garam dari kolam renang, mereka bertemu di belanga Universitas Indonesia.
"Tidak ada jalan lain. Harus transplantasi hati," ujar dokter yang memeriksanya, seperti dikatakannya kepada saya kemarin.
Sang istri langsung ambil putusan: akan menyerahkan separuh hatinyi untuk suaminyi. Masalahnya, golongan darah sang istri O. Sang suami AB.
Tapi, yang seperti itu sekarang tidak masalah: darah O memang lebih dermawan daripada Akidi –ups, dari jenis darah lainnya. Darah O bisa ke mana-mana, tapi tidak bisa menerima dari mana-mana. Itulah juga saya, dan sebagian Anda.
Pasangan ini sudah mencoba ke Singapura. Bukan untuk berobat. Hanya karena dekat –mereka tinggal di Batam. Jarak Batam ke Singapura hanya sepelempar batu –kalau yang melemparkan gabungan semua pengusaha PCR.
Tujuan mereka ke Singapura bukan untuk transplan. Itu tidak mungkin. Mahal sekali. ”Kami ini dokter biasa. Memang spesialis, tapi hanya cukup untuk hidup,” ujar sang istri.
Dari Singapuralah mereka tahu: di negara mana biaya transplan hati yang paling murah. India. Mereka belum mendengar kalau di Iran juga mampu dan murah (Disway: Ganti Hati di Iran).
”India?” Itulah pertanyaan spontan yang mereka ucapkan kepada dokter Singapura.
Maknanya: India identik dengan kemiskinan, kotor, dan belum masuk peta ingatan untuk urusan transplantasi hati. Justru transplan mata yang mereka tahu: India sudah jago.
Dokter Singapura meyakinkan pasangan tersebut: memang rumah sakit di India itu sederhana, tapi kemampuan dokternya bisa diandalkan.
Mereka pun ke New Delhi. Mengontrak rumah di dekat RS ILBS (Institute of Liver and Biliary Sciences).
Lebih hemat. Daripada langsung ngamar di RS. Yang penting tiap hari bisa ke RS untuk pemeriksaan. Cukup jalan kaki.
Sukirman pun tiap hari diambil darahnya. Tidak takut lagi. Atau terpaksa. ”Rumah sakitnya memang sederhana. Kamar operasinya juga kecil. Tapi, alatnya lengkap,” ujar sang istri, yang di sana dipanggil dengan nama Vijei. Namanyi sendiri: Hafizah.
Intinya: transplan berjalan lancar.
”Seberapa banyak hati Anda dipotong untuk suami?” tanya saya.
”60 persen,” jawab Vijei. Setelah hati Vijei diambil 60 persen itu, hari kedua sudah disuruh latihan duduk. Hari ketiga latihan jalan. Dalam tiga bulan hati Vijei yang tinggal 40 persen itu sudah kembali utuh.
Begitulah hati. Anda sudah tahu. Satu-satunya organ yang bisa tumbuh.
Mereka pun pulang ke Batam. Hanya tiga bulan di sana: 1,5 bulan sebelum operasi dan 1,5 bulan setelah transplan.
Begitu pulang, Sukirman mengontak saya. Diskusi untuk pascaoperasi. Lewat telepon –keburu pandemi masuk Indonesia. Baru kemarin Sukirman-Vijei ke rumah saya. Sekalian saya ajak olahraga.
Vijai dan Sukirman mengunjungi Dahlan Iskan untuk berdiskusi pascaoperasi Ganti Hati.
Vijai (depan) senam bersama Nafsiah Sabri dan grup senam Dahlan Iskan.
Empat dari tengah Dahlan Iskan, istri, Vijai, dan Sukirman usai mengikuti senam.
Selama di India, Vijei teringat almamaternyi: Universitas Andalas. Harusnya Unand lebih mampu daripada India. Negara itu benar-benar mengusik hati Vijei: bagaimana bisa India yang seperti itu mampu melaksanakan transplantasi hati. ”Saya lihat pasiennya ada yang dari Iran dan Kanada,” ujar Vijei.
Itulah bedanya, kalau yang transplan seorang dokter. Dia langsung memikirkan agar ada kerja sama antara FK Unand dan RS di India itu.
Selama di sana, Vijei pun melakukan pembicaraan kerja sama tersebut. Sebenarnya mereka sudah siap menerima delegasi dari Unand. Pihak Unand pun sudah menyiapkan tim yang akan berangkat. Sekalian langsung menyaksikan jalannya operasi di sana. Namun, pandemi keburu tiba.
Harus lebih sabar.
Sukirman sendiri lahir di desa lereng gunung: Tumpang, Malang Timur. Ayahnya buruh tani. Anaknya 10 orang. Semua sarjana –kecuali satu wanita yang keburu dilamar orang. Hanya satu yang dokter: Sukirman.
”Saya kuliah di kedokteran karena dipaksa kakak,” ujar Sukirman. Sang kakaklah yang membiayai kuliah.
Begitulah di keluarga itu: kakak yang sudah bekerja membiayai adik. Itulah sebabnya nyaris semua anak buruh tani tersebut jadi sarjana.
”Waktu pertama praktik ambil darah, saya pingsan,” ujar Sukirman mengenang saat menjadi mahasiswa.
Vijei juga satu-satunya dokter di antara empat saudaranyi. Ayahnyi punya bengkel kecil. Ibunyi guru.
Begitu lulus, Vijei ditempatkan di pulau terpencil: Karimun. Dia empat tahun di sana. Dia aktif di kegiatan sosial. Termasuk jadi panitia operasi katarak gratis. Begitu aktifnyi di pengurusan katarak, akhirnya Vijei ditawari untuk mengambil spesialis mata.
Vijei sebenarnya enggan. Dia bertekad di Karimun saja. Di situ dia sering dibayar pasien dengan dolar Singapura. Memang banyak warga negara tetangga itu ke Karimun. Kuliner. Atau rekreasi lainnya.
Tabungan dolarnyi itulah yang dia pakai untuk mengambil spesialis mata.
Ternyata Vijei sekaligus berhasil mendapat Sukirman –duda cerai dua anak. ”Awalnya saya tidak mau. Kan ia duda cerai. Tapi, ibu saya terus mengatakan ia orang baik,” kenang Vijei. Sang ibu memang senang tinggal bersama Vijei. Pun saat Vijei di Karimun. Apalagi setelah di Jakarta.
Dari perkawinan itu, lahirlah satu anak laki-laki. Kini sudah SMA.
Pasangan tersebut telah membukakan mata saya: India juga bisa. Murah pula.
Vijei juga mengesankan saya: bagaimana sambil menahan sakitnyi masih ingat almamaternyi. (Dahlan Iskan)