Site icon Prokalteng

Mikir Taliban

mikir-taliban

ANAK buah yang baik adalah yang bisa mencarikan jalan keluar problem atasannya. Kian sering kian baik.

Anak buah yang payah adalah yang suka melempar bola api ke atas. Kian sering kian payah.

Dua prinsip itu yang tiba-tiba teringat ketika Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo memberikan keterangan pers ini: akan menjadikan 57 orang yang diberhentikan dari KPK sebagai aparatur sipil negara di lingkungan Polri.

Asumsi saya: Kapolri tahu bahwa Presiden Jokowi, atasannya itu, lagi menghadapi si malakama. Di satu pihak presiden terikat janji untuk memperkuat KPK.

Di sisi lain ada arus besar di bawahnya untuk mengubah KPK. Sampai-sampai dimunculkanlah stigma Taliban. Bahkan sampai diciptakan taktik agar para Taliban itu tersingkir dari KPK: harus dites nilai-nilai kebangsaan.

Hasilnya, Anda sudah tahu: 57 orang itu tidak lulus tes. Harus diberhentikan dari KPK.

Saya tidak tahu mereka itu dianggap Taliban 1.0 atau 2.0. Jangan-jangan mereka itu Taliban 09.0.

Yang jelas simpati pada para Taliban itu tetap besar –pun bila rasa simpati itu hanya bisa diteriakkan keras-keras di dalam hati.

Saya kenal banyak pemimpin yang memiliki problem simalakama seperti itu. Mulai dari pemimpin yang sangat tinggi sampai yang kelas bawah.

Seorang pemimpin umumnya punya keinginan baik. Tapi ia juga punya lingkungannya sendiri. Belum tentu semua yang ada di lingkungannya seirama dengan sang pemimpin.

Sering kali sang pemimpin ingin juga ''menghukum'' lingkungannya itu. Tentu dengan cara yang ''canggih''. Atau dengan cara muter-muter dulu. Sering juga dengan cara meminjam tangan orang lain.

Sang pemimpin umumnya ingin menjaga perasaan semua kelompok yang ada di lingkungannya. Juga keinginan kelompok di luar lingkungannya.

Keseimbangan lingkungan harus dijaga dengan seharmonis-harmonisnya. Pemimpin selalu berpikiran untuk menghindari guncangan. Guncangan di luar, lebih-lebih di dalam.

Tapi sang pemimpin tetaplah manusia. Ia hanya satu orang. Dengan satu kepala, dua tangan, dan dua kaki. Ketersediaan waktunya pun sama dengan siapa saja: hanya 24 jam.

Maka kalau ada anak buah yang bisa tahu kerumitan yang lagi dihadapi atasannya itulah anak buah yang baik. Lebih baik lagi kalau bawahan itu punya sikap: tidak mau menambah kerumitan atasan. Dengan cara kerja keras dan berprestasi di bidangnya.

Di antara yang baik-baik itu, yang terbaik adalah: kalau anak buah bisa ikut menyelesaikan problem atasannya.

Mengetahui adalah baik. Tidak menambah kerumitan adalah lebih baik. Bisa ikut menyelesaikan adalah yang terbaik.

Saya pun, diam-diam, memuji langkah Kapolri itu: bisa ikut menyelesaikan kerumitan atasannya.

Memang bisa saja Kapolri dianggap sedang melemparkan bola api ke samping: orang yang sudah dinyatakan tidak lulus tes kebangsaan kok dijadikan pegawai negeri di lingkungan Polri –lembaga yang seharusnya berada di barisan depan soal kebangsaan.

Saya bisa membayangkan betapa riuh reaksi dari lembaga yang ada di samping Polri. Bisa saja Kapolri dianggap cari muka. Atau Kapolri dianggap mencampakkan sistem yang baru saja dipakai menyisihkan para Taliban di KPK.

Kemarin semuanya baru jelas: Presiden Jokowi sendiri yang menghendaki itu. Agar 57 Taliban itu dijadikan ASN di lingkungan Polri. Itu sesuai dengan keterangan resmi Mensesneg Pratikno kepada media kemarin.

Maka selamatlah posisi sulit Kapolri di mata sebelah-sebelahnya.

Ternyata bisa terjadi juga: atasan harus menyelesaikan kerumitan yang dihadapi bawahan.

Sungguh menarik perkembangan ini: untuk apa Presiden Jokowi sampai punya ide menampung 57 orang Taliban itu di lingkungan Polri? Apa tugas yang dibayangkan Presiden untuk mereka?

Sangkaan baik saya: Presiden Jokowi akan melakukan langkah besar pembenahan di bidang hukum. Bukankah sejauh ini reputasi pemerintah dalam bidang hukum tergolong ''rapor merah?''.

Mengapa saya sampai punya prasangka baik seperti itu? Indikasi pertama: saya dengar Kapolri yang baru ini dilarang berhubungan dengan markus –makelar kasus. Saya dengar, kini, banyak markus yang belum berhasil bertemu Kapolri.

Indikasi kedua: 57 Taliban itu kebanyakan adalah mantan penyelidik/penyidik. Mereka teruji dalam menghindari markus.

Siapa tahu mereka akan diminta untuk ikut memperkuat sistem di Polri –meski apakah itu bisa dilakukan oleh hanya 57 orang.

Yang jelas Polri, Kejaksaan dan Kehakiman harus menjadi baik. Harus kita ingat bahwa KPK itu lembaga sementara. Jangan menjadi lembaga permanen –akibat Polri dan Kejaksaan dan Kehakiman belum bisa diandalkan.

Siapa tahu kini pembenahan hukum kita akan dimulai dari Polri. Kita lihatlah perkembangan setelah ini.

Masalahnya: apakah 57 orang Taliban itu mau menjadi ASN di Polri. Mereka bukanlah orang yang sekadar sedang mencari lowongan pekerjaan. Mereka adalah Taliban –dengan prinsip kuat mereka.

Baiklah. Kalau pun mereka menolak, Presiden sudah terlihat menjadi pemimpin yang baik hati. (Dahlan Iskan)

Exit mobile version