INI TIDAK BIASA: pesta durian dilakukan bersama ahli durian dari negeri durian di kebun durian dengan minuman kopi durian. Sabtu lalu.
Kami tiba pukul 10.30. โMakan pecel dulu atau durian dulu?โ tanya Anis yang bukan Baswedan. Ia pengusaha ekspedisi. Tionghoa asal Gorontalo. Juga pengurus rumah kematian Adi Jasa Surabaya. Aktivis barongsai.
Liong, akuntan penggila durian lainnya, sudah membawa nasi pecel bungkus. Cukup untuk 10 orang. Bumbunya dipisah. Pun sayur dan iwak peyeknya.
โDurian dulu,โ celetuk saya.
Tuan rumah hanya senyum-senyum. Namanya Tirto. Pengusaha kecap dan saus terkenal. Pemilik kebun durian 10 hektare di kaki gunung Penanggungan. Ketua perkumpulan Guangshao โyang punya leluhur sesama dari suku Kanton.
Vilanya bagus. Halamannya luas. Dibuat seperti lapangan golf. Ia memang suka golf. Terutama sebelum lututnya dioperasi.
โ
Yang juga senyum-senyum adalah tamu utama hari itu: Dr Abdul Aziz Zakaria. Pak Aziz adalah si ahli durian. Dari Malaysia. Kelahiran negeri asal Musangking di Kelantan. Orangnya tinggi. Umurnya 78 tahun.
โSejak umur berapa makan durian?โ tanya saya.
โSaya dilahirkan di bawah pohon durian,โ jawabnya. Ia berhasil menyembunyikan logat Melayunya โpertanda sering keliling Indonesia.
Aziszak lulusan Universiti Malaysia โyang aslinya adalah perguruan tinggi pertanian mirip IPB Bogor. Ibunya Tionghoa, ayahnya Melayu. โKalau tidak ada darah Tionghoa mungkin saya tidak suka durian,โ celetuknya.
Kata Aziz: di kampungnya dulu hanya orang Tionghoa yang suka Musangking. Waktu ia kecil namanya belum Musangking. Masih disebut Durian Kunyik. Mungkin karena warna dagingnya yang kuning seperti kunyit.
โKami orang Melayu tidak suka durian yang rasanya pahit,โ ujar Aziz mengenang masa kecilnya. Lama-lama orang Melayu pun suka Musangking. โSetelah suka mulailah orang Melayu tidak mampu membeli musangking,โ tambahnya dengan nada pahit.
Harga musangking memang naik lebih 10 kali lipat โsekitar 10 tahun lalu. Yakni ketika terjadi el nino. Kemaraunya sangat panjang. Kekurangan air. Produksi sangat kurang. Lalu terbentuklah harga baru. Musangking seperti raja โtidak mau turun. Pun ketika el nino telah lama lewat.
Padahal sudah banyak syarikat besar yang melakukan investasi musangking besar-besaran. Sudah ada yang menanam 5.000 hektare. Kualitas sama. Rasa sama. Tidak ada konsumen yang tertipu ala beli durian.
โPemerintah sudah menentukan standar durian musangking,โ katanya. Cara penyelidikan tanahnya standar. Cara pengolahan tanahnya baku. Cara tanamnya ditentukan. Pun cara pemupukan, pengaturan air, dan pemeliharaan. Sampai ke masalah panennya.
Standarisasi seperti itu yang belum ia lihat di Indonesia. โSaya sudah keliling dari Aceh sampai Sulawesi,โ katanya.
โDi Indonesia durian apa dan dari daerah mana yang paling enak?โ tanya saya. Kepo.
Aziz terdiam. Lama. Seperti malas berpikir. Saya tahu: ia kesulitan menemukan jawaban.
โMungkin Medan,โ jawabnya tanpa semangat.
โBukan Jambi? Sorolangun?โ
Ia kembali diam. Lama. Tidak ada komentar apa-apa.
โSudah ke Kalimantan Barat?โ tanya saya setengah protes.
โBelum,โ jawabnya.
โAda yang bilang Musangking itu asal usulnya dari Kalbar,โ kata saya.
โTidak mungkin,โ tegasnya.
Lalu Aziz bercerita mengenai leluhur Musangking. Ia menyebut satu pulau di tengah sungai Kelantan. Lebar pulau itu 500 meter. Panjang 2 km. Namanya: Pulau Raya. Lokasinya agak di pedalaman: 30 km dari muara sungai.
Tahun 1700-an, seorang pendatang dari Tiongkok merantau ke selatan. Ia memasuki sungai Kelantan. Sampailah ke pulau itu โbelum bernama Raya. Pun belum ada nama Malaysia.
Di pulau kosong itu ia tinggal. Lalu kawin dengan wanita keturunan Thailand.
โKok wanita Thailand?โ
โBanyak wanita Thai di Kelantan. Kan dekat perbatasan,โ katanya. โDan lagi kalau kawin dengan wanita Melayu kan harus masuk Islam,โ tambahnya.
Orang pertama yang membiakkan durian Kunyik di pulau Raya adalah keturunan imigran tersebut.
Namanya: Wee Chong Bing. Kalau tidak ada Chong Bing mungkin saja durian Kunyik sudah punah. Dianggap tidak enak. Pahit.
Berkat Chong Bing itulah durian Kunyik berkembang. Disenangi. Lalu jadi Raja Kunyik.
Raja dalam bahasa Mandarin disebut โwangโ. โMaoโ adalah musang. Atau tupai. Sebangsanya. Itulah binatang yang suka naik pohon durian Kunyik.
โNaikโ disebut โshangโ. Musang menyukai durian. Seperti halnya kepiting menyukai kelapa. Keiting suka naik pohon kelapa. Di Gorontalo. Di sana kepiting paling gurih adalah yang suka naik pohon kelapa itu.
Begitulah kisah Musangking. Dari Kunyik. Lalu menjadi Raja Kunyik. Jadi Maoshangwang. Jadilah Musangking.
Pak Tirto memang sudah mengganti banyak pohon durian lama ke Musangking. Sudah sering panen. Maka lima Musangking ditaruh di depan Aziz. Dibuka. Difoto. Dimakan. Ramai-ramai.
Setelah Musangking hampir habis Liong nyeletuk keras: โKita tadi salah prosedur,โ katanya. โHarusnya makan durian lokal dulu, baru Musangking,โ tambahnya.
Maksudnya: agar dari yang kurang enak ke yang paling enak. Apa boleh buat. Telanjur Musangking duluan. Untuk membedakan rasa antar durian kami minum kopi dulu. Kopi durian. Yang dibawa Dr Aziz dari Malaysia.
Kami pun siap antiklimaks. Disajikanlah durian lokal. Kecil-kecil. Tiga kali ukuran bola tenis. Dari ukurannya saja sudah kurang meyakinkan.
Busyet! Enaknya bukan main. Kecil-kecil cabe Manado. Lezat. Teksturnya juga sempurna. Kombinasi manis dan pahitnya pas benar. Dagingnya juga tebal. Bijinya kecil.
Ini mah bukan antiklimaks. Ini klimaks kedua! (Dahlan Iskan)