“Sepatu untuk Pak Guru” adalah sebuah film produksi Pondasi Visual Production garapan M. Suaib seorang sineas dari Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan. Selain sebagai executive producer, M.Suaib juga menjadi script supervisor, art director, director of photography dan location manager dalam pembuatan film ini. Film yang diproduksi tahun 2019 ini menjadi runner-up dalam Festival Film Pendek NET 2021.
Lima belas menit running time (durasi) film ini, telah memberi ruang kepada para cast yang merupakan orang-orang baru di perfilman, bergerak leluasa mengekspresikan ransangan imajiner sutradara. Setting film ini sebagian besar adalah di sebuah sekolah di Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan, SMPN 1 Wasuponda dengan pembuka jalan cerita mengambil latar masjid Nurul Hijriah di Kecamtan Wasuponda.
Film dimulai dari tersiarnya berita duka via toa masjid, perihal meninggalnya mama atau wali murid dari Risma, murid sebuah sekolah menengah dengan Pak Muklis (Mursid Muchsin) sebagai wali kelasnya. Bu Mira (Nunung Ardiansa), salah satu guru di sekolah tersebut lalu memanggil Feby (Virgia Geovany Kaba), Dita (Andi Zahra Rifai), Sinta (Feby Nathania) dan Astrid (Grace Saila Pando Tampasoro) untuk mengkoordinasi teman-teman satu sekolah agar mengumpulkan sumbangan atau uang duka. Setelah uang duka terkumpul sebanyak Rp. 1.317.000 dari murid-murid kelas 7 (tujuh) sampai 9 (sembilan), Feby mengajak Dita, Astrid dan Sinta untuk menyetor ke Bu Mira hari itu juga agar segera tersalurkan ke keluarga duka. Namun, Dita menyarankan agar menyetor uang sumbangan ke Bu Mira keesokan harinya saja dan mengingatkan Feby bahwa besok adalah ulang tahun Pak Mukhlis. Pak Mukhlis adalah guru yang banyak membantu menyelesikan masalah-masalah mereka termasuk masalah di OSIS. Mereka sebelumnya sepakat untuk membelikan sepatu baru di ulang tahun Pak Muklis karena sepatu kerja yang dipakai Pak Muklis sudah robek-robek.
Masalah muncul karena mereka tidak mungkin menarik iuran lagi dari teman-teman, mengingat mereka baru menyumbang untuk uang duka. Disinilah film sebagai sebuah peristiwa gagasan menemukan puncaknya dan kekuatan dialog antara Feby dan teman-temannya untuk menemukan jalan keluar dihadirkan dengan begitu menggigit.
Hubungan kausalitas cerita berdasarkan logika yang terjalin rapi tak memunculkan plot hole alih-alih plot twist yang mendebarkan. Potret kultur musyawarah mufakat sebagai tradisi Indonesia membuat film ini terasa bernilai. Diskusi yang dilakukan Feby dan teman-temannya yang begitu natural, interaktif dan responsif seperti mengangkat peristiwa budaya yang tumbuh dalam masyarakat Indoneisa. Chemistry solid antar empat sekawan: Feby, Sinta, Dita dan Astrid berhasil menjadi scene stealer tersendiri.
Sejak detik-detik awal film, kepekaan dan kepedulian sosial yang ditandai dengan upaya mengumpulkan sumbangan uang duka dan hadiah sepatu untuk Pak Guru Mukhlis telah memperlihatkan endapan nilai adiluhung dalam kehidupan dan menjadi lumbung nilai pendidikan. Begitu mencerahkan. Ironis memang, film yang sebagian besar pemerannya adalah remaja dan berbau komedi ini ternyata mampu mengangkat nilai moral.
Nilai estetik film ini begitu tinggi, tapi tetap mampu menghibur, seperti hadirnya pemeran Sinta yang membuat tertawa karena hobi makannya meski berada di situasi sulit. Penikmat film akan dibuat marah dan tertawa dalam satu waktu. Beberapa adegan muncul kesan gimik main-main tetapi sarat pesan manusiawi yang menyentuh.
Seluruh cast memakai dialek Makasar yang kental dan mengadaptasi bahasa remaja gaul masa kini. Sutradara berhasil mixing dengan brilian genre remaja dan komedi. Bahkan seolah memasukkan genre horor juga, elemen paling sinematik yang menjadi kekuatan terbesar film ini sebetulnya terletak last scene film saat Bu Mira mulai tergoda untuk menilap uang duka dalam amplop yang akan digunakan untuk melunasi utang-utangnya pada rentenir (Seni Lingga) yang terus mendesaknya. Sukses memetik heartstring. Film pendek ini lolos dari bayang-bayang style sinetron-sinetron Indonesia yang terlalu hitam putih dengan meng-amplify porsi drama secara berlebihan.
Isu korupsi yang sayup-sayup diinsinuasikan kepada negara kita sebagai isu besar dalam beberapa dekade terakhir, mewarnai film yang dikemas dengan gaya komedi ini. Kosmos kehidupan masyarakat Indonesia ditampilkan lewat adegan-adegan di sebuah sekolah. Simpel sekaligus kompleks. Feby, tokoh utama film ini diceritakan mengalami konflik batin. Dia hampir mengkorup uang duka demi dapat membelikan sepatu baru Pak Mukhlis. Namun akhirnya dia menggunakan uang celengannya yang rencananya akan dia gunakan untuk membeli handphone dan dia menabung kembali uang dari berjualan kue.
Konflik cerita yang mengalir sepanjang film sebetulnya masih jauh dari ekspektasi untuk ukuran film yang akan diputar di festival. Festival film tak sekadar selebrasi tetapi juga tentang bagaimana mempertahankan eksistensi dari film pendek itu sendiri. “Sepatu untuk Pak Guru” meskipun dengan kesederhaan konflik cerita, menjadi begitu elegan karena didukung akting pemainnya yang tidak mengecewakan. Begitu subtil. Sayangnya tone film dan gelegar megah musik yang muncul terlalu akrab di telinga dan terkesan klise dapat membuyarkan ruang-ruang thought-provoking dan mindblowing. Perlu ada kebaruan.
Memperhatikan skenario dengan isu besar seperti korupsi yang notabene berada lingkup dunia pendidikan yang melibatkan sivitas akademika seperti guru dan murid, film ini dapat berpotensi mencatat jejak sejarah yang relevan dinikmati hingga ratusan tahun ke depan. Film ini akan lebih gereget jika alur kisahnya dapat dikemas lebih absurd sehingga pesan moral dalam film ini sedikit dikaburkan dengan landscape pengambilan gambarnya seharusnya lebih menjangkau hal-hal terkecil dari sekolah. Properti yang digunakan tampak minim. Lebih-lebih struktur berceritanya yang linier menambah keluguan film ini. Untungnya, suara derit pintu di akhir cerita dapat menabik kelemahan ini sehingga dramaturgi film terbangun.(*)
(YOGYANTORO. Guru SMPN 4 Muara Teweh dan Pecinta Film Indonesia)