33 C
Jakarta
Sunday, November 24, 2024

Masyarakat Papua dan Papua Barat Tidak Akan Merayakan

KELOMPOK makar dan separatis seperti West Papua New Guinea dan
Organisasi Papua Merdeka (OPM) berencana akan merayakan hari kemerdekaan mereka
masing-masing pada tanggal 27 November 2019 dan 1 Desember 2019.

Sejatinya, rencana mereka tidak
mendapatkan sambutan dari masyarakat di tanah Papua dan Papua Barat, bahkan
beberapa tokoh masyarakat akan berusaha menegur kelompok manapun yang akan
menggelar aksi memperingati HUT OPM 1 Desember 2019, karena masyarakat Papua
dan Papua Barat tidak mau menjadi korban provokasi dan tidak ingin melakukan
tindakan yang masuk ke ranah makar.

Karena mereka menyakini dan membenarkan, mendukung segala aktifitas yang dilakukan
West Papua New Guinea dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) beserta seluruh underbow politiknya adalah tidak sah
dilakukan di dalam wilayah sebuah negara yang merdeka dan berdaulat yaitu
Indonesia.

Sejauh ini, kelompok pendukung
OPM terus mencoba untuk membalikkan fakta dan membuat propaganda dengan terus
menyudutkan posisi Indonesia. Beberapa materi propaganda yang mereka lontarkan
antara lain pertama, pada pertemuan PIF tanggal 13 Agustus 2019 di Pasific di
mana Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi dan Juru bicara kementrian
Luar Negeri Arrmanatha Nasir terjadi adu pendapat dalam forum karena negara-negara
luar berbicara tentang kemerdekaan Papua Barat (menurut penulis hal ini jelas
tidak benar dan hoax, karena delegasi Indonesia selalu satu suara soal Papua
dan hal tersebut jelas sesuai instruksi Presiden dan sudah dilaporkan ke
Presiden Jokowi).

Kedua, kelompok pendukung OPM
termasuk beberapa negara di Pasifik khususnya Vanuatu dan Solomon Islands terus
mempropagandakan bahwa isu kemerdekaan Papua atau self determination bagi tanah
Papua sudah didukung 137 negara (menurut penulis, pernyataan bahwa masalah
kemerdekaan Papua didukung 137 negara jelas menyasar dari fakta di lapangan,
karena masih banyak negara-negara yang ingn menjalin kerjasama dengan
Indonesia, terbukti Indonesia terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan
Keamanan PBB.

Propaganda yang dilakukan
pendukung OPM jelas menggunakan teori bandwagon effects, namun tidak maksimal
sama sekali, buktinya tidak ada intervensi asing kepada Indonesia terkait
Papua, bahkan Australia dan Selandia Baru mengakui kedaulatan NKRI termasuk
didalamnya Papua, bahkan kedua negara ini menolak permintaan OPM agar mereka
menyuplai senjata kepada kelompok separatis dan teroris tersebut).

Baca Juga :  Tebak-tebakan Menikah

Ketiga, kelompok pendukung OPM
selalu menyebutkan bahwa tanggal 13 s.d 21 Agustus 2019, terjadi unjuk rasa di
seluruh dunia termasuk di Papua terkait penolakan New York Agreement karena
lahirnya pernyataan New York agreement yang ditandatangani oleh Indonesia,
Belanda, Amerika dan Uni Soviet terkait pernyataan membangun orang Papua selama
25 tahun dan setelah itu kembalikan hak-hak orang Papua (menurut penulis jelas
ini merupakan propaganda yang sarat dengan kebohongan publik dan pernyataan
yang kurang mengerti sejarah integrasi Papua dalam NKRI. Bahkan, rencana Free
West Papua Campaign terkait “Global Flag Raising” tanggal 1 Desember 2019 juga
sepi dari respons masyarakat di Papua sendiri apalagi masyarakat global. Mereka
sudah mengerti dan menyadari bahwa Papua adalah bagian sah Indonesia, karena
Indonesia adalah Papua dan Papua adalah Indonesia).

Keempat, kelompok OPM dan
pendukungnya seperti Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Mahasiswa Nasional terus
menyuarakan tuntutan “tidak masuk akal” mereka seperti segera bebaskan tanpa
syarat 6 tahanan Papua termasuk Surya Anta Ginting; Segera bebaskan tanpa
syarat seluruh aktivis Papua di seluruh Indonesia; Hentikan segala bentuk
tindakan represif terhadap jurnalis dan buka akses jurnalis lokal maupun
internasional di Papua; Tarik seluruh militer atau aparat gabungan dari Papua,
hentikan segala bentuk militerisasi; Hentikan mempersulit akses bantuan hukum
bagi aktivis Papua ataupun aktivis pro demokrasi; Hentikan diskriminasi rasial
serta tindakan represif terhadap aktivis Papua dan aktivis pro demokrasi; Stop
memicu terjadinya konflik horizontal di Papua; Buka akses bantuan humaniter
bagi pengungsi Nduga tanpa melibatkan militer; Tolak pemekaran provinsi di
Papua karena itu adalah bentuk dari politik pecah belah.

Tuntutan “tidak masuk akal”

Tuntutan diatas jelas “tidak
masuk akal” seperti “Bebaskan tanpa syarat 6 tahanan Papua termasuk Surya Anta
Ginting” dan “Segera bebaskan tanpa syarat seluruh aktivis Papua di seluruh
Indonesia” dengan alasan jika mereka dibebaskan berarti Indonesia bukan negara
hukum, karena di Indonesia berlaku prinsip “equality before the law” dan Surya
Anta Ginting dinilai aparat penegak hukum Indonesia bersama Victoria Koman
adalah “provokator” masalah Papua. Memang patut disayangkan, Victoria Koman
yang sempat ditangkap, namun kabur ke Australia. Seharusnya, Polri segera
bekerjasama dengan Interpol untuk menangkap Victoria Koman.

Baca Juga :  Bahasa dan Emotikon

Tuntutan “Hentikan segala bentuk
tindakan represif terhadap jurnalis dan buka akses jurnalis lokal maupun
internasional di Papua” jelas tidak masuk akal, karena beberapa kali Papua dan
Papua Barat dikunjungi jurnalis asing, termasuk kalangan Kedubes asing. Pasca
kunjungan, mereka terkesima dengan kemajuan pembangunan dan HAM di Papua selama
menjadi milik sah Indonesia. Pemerintah juga tidak pernah membredel media lokal
baik cetak dan online yang beredar di Papua dan Papua Barat.

Tuntutan “Tarik seluruh militer
atau aparat gabungan dari Papua, hentikan segala bentuk militerisasi” dan “Buka
akses bantuan humaniter bagi pengungsi Nduga tanpa melibatkan militer” jelas
mencerminkan tuntutan yang menggambarkan bagaimana dekatnya hubungan emosional
kelompok yang meneriakkan tuntutan ini dengan kelompok separatis di Papua dan
Papua Barat. Tidak ada aturan hukum internasional yang dilanggar Indonesia
terkait penempatan militer, intelijen dan Polisi di Papua dan Papua Barat,
karena memang itu hak konstitusional Indonesia sebagai negara merdeka yang
diakui hukum internasional, termasuk hukum militer internasional.

Tuntutan “Tolak pemekaran
provinsi di Papua karena itu adalah bentuk dari politik pecah belah” jelas
bertentangan dengan aspirasi murni masyarakat di Papua dan Papua Barat. Bahkan
sekelompok tokoh masyarakat di wilayah Papua Selatan dan Pegunungan Tengah
sudah menyampaikan proposal mendukung pemekaran Papua kepada Gubernur Lukas
Enembe, belum lama ini di Jayapura.

Tuntutan “Stop memicu terjadinya
konflik horizontal di Papua” jelas semakin menunjukkan kekurangsadaran dari
kelompok yang meneriakkan tuntutan ini bahwa tuntutan merekalah yang memicu
konflik di Papua, karena selama ini kondisi di Papua dan Papua Barat tetap
kondusif dan damai bersama Indonesia. (*)

(Penulis adalah pemerhati masalah Papua)

KELOMPOK makar dan separatis seperti West Papua New Guinea dan
Organisasi Papua Merdeka (OPM) berencana akan merayakan hari kemerdekaan mereka
masing-masing pada tanggal 27 November 2019 dan 1 Desember 2019.

Sejatinya, rencana mereka tidak
mendapatkan sambutan dari masyarakat di tanah Papua dan Papua Barat, bahkan
beberapa tokoh masyarakat akan berusaha menegur kelompok manapun yang akan
menggelar aksi memperingati HUT OPM 1 Desember 2019, karena masyarakat Papua
dan Papua Barat tidak mau menjadi korban provokasi dan tidak ingin melakukan
tindakan yang masuk ke ranah makar.

Karena mereka menyakini dan membenarkan, mendukung segala aktifitas yang dilakukan
West Papua New Guinea dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) beserta seluruh underbow politiknya adalah tidak sah
dilakukan di dalam wilayah sebuah negara yang merdeka dan berdaulat yaitu
Indonesia.

Sejauh ini, kelompok pendukung
OPM terus mencoba untuk membalikkan fakta dan membuat propaganda dengan terus
menyudutkan posisi Indonesia. Beberapa materi propaganda yang mereka lontarkan
antara lain pertama, pada pertemuan PIF tanggal 13 Agustus 2019 di Pasific di
mana Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi dan Juru bicara kementrian
Luar Negeri Arrmanatha Nasir terjadi adu pendapat dalam forum karena negara-negara
luar berbicara tentang kemerdekaan Papua Barat (menurut penulis hal ini jelas
tidak benar dan hoax, karena delegasi Indonesia selalu satu suara soal Papua
dan hal tersebut jelas sesuai instruksi Presiden dan sudah dilaporkan ke
Presiden Jokowi).

Kedua, kelompok pendukung OPM
termasuk beberapa negara di Pasifik khususnya Vanuatu dan Solomon Islands terus
mempropagandakan bahwa isu kemerdekaan Papua atau self determination bagi tanah
Papua sudah didukung 137 negara (menurut penulis, pernyataan bahwa masalah
kemerdekaan Papua didukung 137 negara jelas menyasar dari fakta di lapangan,
karena masih banyak negara-negara yang ingn menjalin kerjasama dengan
Indonesia, terbukti Indonesia terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan
Keamanan PBB.

Propaganda yang dilakukan
pendukung OPM jelas menggunakan teori bandwagon effects, namun tidak maksimal
sama sekali, buktinya tidak ada intervensi asing kepada Indonesia terkait
Papua, bahkan Australia dan Selandia Baru mengakui kedaulatan NKRI termasuk
didalamnya Papua, bahkan kedua negara ini menolak permintaan OPM agar mereka
menyuplai senjata kepada kelompok separatis dan teroris tersebut).

Baca Juga :  Tebak-tebakan Menikah

Ketiga, kelompok pendukung OPM
selalu menyebutkan bahwa tanggal 13 s.d 21 Agustus 2019, terjadi unjuk rasa di
seluruh dunia termasuk di Papua terkait penolakan New York Agreement karena
lahirnya pernyataan New York agreement yang ditandatangani oleh Indonesia,
Belanda, Amerika dan Uni Soviet terkait pernyataan membangun orang Papua selama
25 tahun dan setelah itu kembalikan hak-hak orang Papua (menurut penulis jelas
ini merupakan propaganda yang sarat dengan kebohongan publik dan pernyataan
yang kurang mengerti sejarah integrasi Papua dalam NKRI. Bahkan, rencana Free
West Papua Campaign terkait “Global Flag Raising” tanggal 1 Desember 2019 juga
sepi dari respons masyarakat di Papua sendiri apalagi masyarakat global. Mereka
sudah mengerti dan menyadari bahwa Papua adalah bagian sah Indonesia, karena
Indonesia adalah Papua dan Papua adalah Indonesia).

Keempat, kelompok OPM dan
pendukungnya seperti Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Mahasiswa Nasional terus
menyuarakan tuntutan “tidak masuk akal” mereka seperti segera bebaskan tanpa
syarat 6 tahanan Papua termasuk Surya Anta Ginting; Segera bebaskan tanpa
syarat seluruh aktivis Papua di seluruh Indonesia; Hentikan segala bentuk
tindakan represif terhadap jurnalis dan buka akses jurnalis lokal maupun
internasional di Papua; Tarik seluruh militer atau aparat gabungan dari Papua,
hentikan segala bentuk militerisasi; Hentikan mempersulit akses bantuan hukum
bagi aktivis Papua ataupun aktivis pro demokrasi; Hentikan diskriminasi rasial
serta tindakan represif terhadap aktivis Papua dan aktivis pro demokrasi; Stop
memicu terjadinya konflik horizontal di Papua; Buka akses bantuan humaniter
bagi pengungsi Nduga tanpa melibatkan militer; Tolak pemekaran provinsi di
Papua karena itu adalah bentuk dari politik pecah belah.

Tuntutan “tidak masuk akal”

Tuntutan diatas jelas “tidak
masuk akal” seperti “Bebaskan tanpa syarat 6 tahanan Papua termasuk Surya Anta
Ginting” dan “Segera bebaskan tanpa syarat seluruh aktivis Papua di seluruh
Indonesia” dengan alasan jika mereka dibebaskan berarti Indonesia bukan negara
hukum, karena di Indonesia berlaku prinsip “equality before the law” dan Surya
Anta Ginting dinilai aparat penegak hukum Indonesia bersama Victoria Koman
adalah “provokator” masalah Papua. Memang patut disayangkan, Victoria Koman
yang sempat ditangkap, namun kabur ke Australia. Seharusnya, Polri segera
bekerjasama dengan Interpol untuk menangkap Victoria Koman.

Baca Juga :  Bahasa dan Emotikon

Tuntutan “Hentikan segala bentuk
tindakan represif terhadap jurnalis dan buka akses jurnalis lokal maupun
internasional di Papua” jelas tidak masuk akal, karena beberapa kali Papua dan
Papua Barat dikunjungi jurnalis asing, termasuk kalangan Kedubes asing. Pasca
kunjungan, mereka terkesima dengan kemajuan pembangunan dan HAM di Papua selama
menjadi milik sah Indonesia. Pemerintah juga tidak pernah membredel media lokal
baik cetak dan online yang beredar di Papua dan Papua Barat.

Tuntutan “Tarik seluruh militer
atau aparat gabungan dari Papua, hentikan segala bentuk militerisasi” dan “Buka
akses bantuan humaniter bagi pengungsi Nduga tanpa melibatkan militer” jelas
mencerminkan tuntutan yang menggambarkan bagaimana dekatnya hubungan emosional
kelompok yang meneriakkan tuntutan ini dengan kelompok separatis di Papua dan
Papua Barat. Tidak ada aturan hukum internasional yang dilanggar Indonesia
terkait penempatan militer, intelijen dan Polisi di Papua dan Papua Barat,
karena memang itu hak konstitusional Indonesia sebagai negara merdeka yang
diakui hukum internasional, termasuk hukum militer internasional.

Tuntutan “Tolak pemekaran
provinsi di Papua karena itu adalah bentuk dari politik pecah belah” jelas
bertentangan dengan aspirasi murni masyarakat di Papua dan Papua Barat. Bahkan
sekelompok tokoh masyarakat di wilayah Papua Selatan dan Pegunungan Tengah
sudah menyampaikan proposal mendukung pemekaran Papua kepada Gubernur Lukas
Enembe, belum lama ini di Jayapura.

Tuntutan “Stop memicu terjadinya
konflik horizontal di Papua” jelas semakin menunjukkan kekurangsadaran dari
kelompok yang meneriakkan tuntutan ini bahwa tuntutan merekalah yang memicu
konflik di Papua, karena selama ini kondisi di Papua dan Papua Barat tetap
kondusif dan damai bersama Indonesia. (*)

(Penulis adalah pemerhati masalah Papua)

Terpopuler

Artikel Terbaru