25.6 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Mengentaskan Buta Aksara di Desa Terpencil

PORTAL Jember (23 Juni 2020)
memberitakan bahwa sepanjang tahun 2016 sampai dengan 2019 angka buta aksara di
Indonesia mengalami penurunan yang signifikan. Jumlah orang buta aksara mencapai
3.053.353 atau sekitar 1,78
persen dari keseluruhan penduduk Indonesia. Mereka berada di daerah
terpencil, sulit dijangkau, mayoritas perempuan dan berusia lanjut.

Hal itu diungkap
oleh Cecep Suryana, koordinator fungsi pendidikan keaksaraan  dan budaya baca dalam diskusi terpimpin yang
diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus
(PMPK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Selasa 23 Juni 2020.

Pernyataan di atas selaras
dengan kenyataan yang terjadi di deretan perkampungan terpencil eks. pemukiman
transmigrasi di Kalimantan Tengah. Transmigran yang tinggal di Kalimantan
Tengah sejak tahun 1984 umumnya berasal dari kalangan miskin. Sebagian dari
mereka berhasil meningkatkan status sosial ekonominya setelah mengikuti program
transmigrasi. Sementara, yang lain tetap terlilit dengan  lingkar kemiskinan secara turun temurun.

Transmigran yang
terlilit dengan lingkar kemiskinan tersebut diketahui telah mewariskan prinsip
hidup  yang kurang mendukung upaya
pemberantasan buta aksara. Mereka membiarkan anak dan cucu mereka dari generasi
milenial meninggalkan bangku sekolah
tingkat dasar sebelum waktunya. Ini adalah fakta.

Baca Juga :  Di Bus Kota Nyanyi Lagu Indonesia, di Bus AKAP Lagu Jawa

Fakta
tersebut  didukung dengan fakta yang lain
bahwa lembaga pendidikan keaksaraan (Paket A, B, dan C)  tidak tersebar di setiap desa terpencil.
Sehingga, upaya merangkul, menyadarkan, dan mengaja
k eks transmigran yang
buta aksara dan milennial putus
sekolah untuk kembali ke ruang belajar  sulit
dilakukan.

Kenyataan diatas
mungkin merupakan salahsatu penyebab munculnya data 1,78
persen penduduk Indonesia
masih buta aksara. Tidak menutup kemungkinan, penduduk desa terpencil di daerah
lain juga
mengalami  kejadian dengan
sebab yang sama.

Pemerintah
sebagai konseptor dan regulator pendidikan keaksaraan harus membuat konsep dan
regulasi yang menyentuh akar permasalahan. Mendirikan dan menghidupkan lembaga
pendidikan keaksaran di setiap desa terpencil perlu dilakukan.

Lembaga
pendidikan keaksaraan juga demikian. Mereka juga harus berpikir untuk melakukan
ekspansi layanan dengan membuka cabang di setiap desa terpencil. Dua alasan
perluanya dibuka  cabang lembaga
pendidikan keaksaraan hingga ke tingkat desa terpencil yaitu alasan geografis
dan sinyal internet.

Baca Juga :  Daring, Sinyal, dan Listrik

Kondisi
geografis desa terpencil masih minim sarana transportasi yang ideal. Jalan
licin, berlumpur, dan lubang jika musim penghujan. Ketika musim kemarau, jalan
penuh dengan debu beterbangan. Sehingga, berpengaruh kepada minta mereka untuk
berkunjung ke lembaga pendidikan keaksaraan yang jauh. Apalagi, umumnya mereka
adalah pekerja kasar yang seharian di ladang.

Mereka juga
tidak didukung layanan sinyal internet yang baik. Sehingga, pembelajaran
daringpun susah. Teori yang berbunyi teknologi telah menjembatani hambatan
geografis belum berlaku secara utuh di lokasi semacam ini.

Saya berpikir, mendekati
penduduk buta aksara dengan mendirikan layanan 
pendidikan keaksaraan hingga ke tingkat  desa terpencil merupakan satu – satunya solusi
nyata  mengurangi angka buta aksara.
(*)

(Penulis adalah Guru SMPN 4 Katingan Kuala Kabupaten
Katingan Kalteng
)

PORTAL Jember (23 Juni 2020)
memberitakan bahwa sepanjang tahun 2016 sampai dengan 2019 angka buta aksara di
Indonesia mengalami penurunan yang signifikan. Jumlah orang buta aksara mencapai
3.053.353 atau sekitar 1,78
persen dari keseluruhan penduduk Indonesia. Mereka berada di daerah
terpencil, sulit dijangkau, mayoritas perempuan dan berusia lanjut.

Hal itu diungkap
oleh Cecep Suryana, koordinator fungsi pendidikan keaksaraan  dan budaya baca dalam diskusi terpimpin yang
diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus
(PMPK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Selasa 23 Juni 2020.

Pernyataan di atas selaras
dengan kenyataan yang terjadi di deretan perkampungan terpencil eks. pemukiman
transmigrasi di Kalimantan Tengah. Transmigran yang tinggal di Kalimantan
Tengah sejak tahun 1984 umumnya berasal dari kalangan miskin. Sebagian dari
mereka berhasil meningkatkan status sosial ekonominya setelah mengikuti program
transmigrasi. Sementara, yang lain tetap terlilit dengan  lingkar kemiskinan secara turun temurun.

Transmigran yang
terlilit dengan lingkar kemiskinan tersebut diketahui telah mewariskan prinsip
hidup  yang kurang mendukung upaya
pemberantasan buta aksara. Mereka membiarkan anak dan cucu mereka dari generasi
milenial meninggalkan bangku sekolah
tingkat dasar sebelum waktunya. Ini adalah fakta.

Baca Juga :  Di Bus Kota Nyanyi Lagu Indonesia, di Bus AKAP Lagu Jawa

Fakta
tersebut  didukung dengan fakta yang lain
bahwa lembaga pendidikan keaksaraan (Paket A, B, dan C)  tidak tersebar di setiap desa terpencil.
Sehingga, upaya merangkul, menyadarkan, dan mengaja
k eks transmigran yang
buta aksara dan milennial putus
sekolah untuk kembali ke ruang belajar  sulit
dilakukan.

Kenyataan diatas
mungkin merupakan salahsatu penyebab munculnya data 1,78
persen penduduk Indonesia
masih buta aksara. Tidak menutup kemungkinan, penduduk desa terpencil di daerah
lain juga
mengalami  kejadian dengan
sebab yang sama.

Pemerintah
sebagai konseptor dan regulator pendidikan keaksaraan harus membuat konsep dan
regulasi yang menyentuh akar permasalahan. Mendirikan dan menghidupkan lembaga
pendidikan keaksaran di setiap desa terpencil perlu dilakukan.

Lembaga
pendidikan keaksaraan juga demikian. Mereka juga harus berpikir untuk melakukan
ekspansi layanan dengan membuka cabang di setiap desa terpencil. Dua alasan
perluanya dibuka  cabang lembaga
pendidikan keaksaraan hingga ke tingkat desa terpencil yaitu alasan geografis
dan sinyal internet.

Baca Juga :  Daring, Sinyal, dan Listrik

Kondisi
geografis desa terpencil masih minim sarana transportasi yang ideal. Jalan
licin, berlumpur, dan lubang jika musim penghujan. Ketika musim kemarau, jalan
penuh dengan debu beterbangan. Sehingga, berpengaruh kepada minta mereka untuk
berkunjung ke lembaga pendidikan keaksaraan yang jauh. Apalagi, umumnya mereka
adalah pekerja kasar yang seharian di ladang.

Mereka juga
tidak didukung layanan sinyal internet yang baik. Sehingga, pembelajaran
daringpun susah. Teori yang berbunyi teknologi telah menjembatani hambatan
geografis belum berlaku secara utuh di lokasi semacam ini.

Saya berpikir, mendekati
penduduk buta aksara dengan mendirikan layanan 
pendidikan keaksaraan hingga ke tingkat  desa terpencil merupakan satu – satunya solusi
nyata  mengurangi angka buta aksara.
(*)

(Penulis adalah Guru SMPN 4 Katingan Kuala Kabupaten
Katingan Kalteng
)

Terpopuler

Artikel Terbaru