26.6 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Di Bus Kota Nyanyi Lagu Indonesia, di Bus AKAP Lagu Jawa

Bahkan saat mulai awal mengamen di Solo pun,
Didi Kempot sudah membawakan lagu ciptaan sendiri, Cidro salah satunya.
Suaranya yang merdu dan karakternya yang mengayomi membuat pengamen lain segan.

 

ANTONIUS CHRISTIAN, Solo

 

JAUH sebelum menjadi The Godfather of Broken
Heart yang bermandi lampu sorot benderang, temaram lampu jalanan Solo-lah yang
kali pertama membasuh Didi Kempot. Mengutip rupiah demi rupiah, dari hasil
genjrengan ngamen.

Itu tahun 1984–1985. Sepulang dia dari
Samarinda, Kalimantan Timur, kembali ke Solo, kota kelahirannya. Dan sesudah
Didi meminta izin kepada sang bapak, Ranto Edi Gudel, untuk tidak melanjutkan
sekolah yang saat itu sudah sampai kelas II SMA.

Eko Guntur Martinus, adik Didi, mengenang sang
kakak biasa ”beroperasi” di kawasan Jalan Teuku Umar, Kelurahan Keprabon,
Kecamatan Banjarsari, Solo. Didi biasanya mengamen mulai pukul 19.00 hingga
22.00. ”Targetnya Mas Didi itu Rp 3.000 sehari. Itu buat dibawa pulang untuk
membantu keluarga. Kalau ada lebih, baru buat Mas Didi pribadi,” kata Eko
kepada Jawa Pos Radar Solo.

Bahkan, di usia semuda itu, bakat Didi bermain
musik dan menulis lagu yang mulai diasah di Samarinda sudah sangat kelihatan.
Hariyono, rekan ngamen Didi Kempot, mengenang, Cidro yang puluhan tahun
kemudian melejit sudah diujidengarkan kepada mereka yang tengah makan atau
minum di kawasan Keprabon. Juga Modal Dengkul dan banyak lagu lain.

”Kalau dulu memang lokasi itu base camp para
pengamen. Pusat kuliner yang setiap malam pasti ramai pembeli, dari rakyat
biasa, politikus, sampai artis ibu kota yang lagi pentas atau cuma mampir ke
Solo,” kenang pria yang akrab dipanggil Hari Gempil tersebut.

Baca Juga :  Awas, Kebiasaan Menggigit Kuku Berdampak Mengerikan

Meski kala itu masih berusia muda, sekitar
18–19 tahun, Hari mengingat, setiap Didi datang, pengamen yang lain pasti
memilih menepi. Di lokasi tersebut Didi memang dikenal sebagai jawara.

Selain karena suaranya yang memang merdu, juga
karena sosok Didi Kempot yang sangat mengayomi para pengamen lain. ”Jadi, yang
lain merasa pekewuh,” ucapnya.

Beberapa tahun mengamen di Kota Bengawan, Didi
akhirnya merantau ke Jakarta sekitar 1987. Sama seperti di Solo, Lord Didi,
sapaan dari para penggemar ketika popularitas Didi telah melejit, juga
menghabiskan hari-harinya di ibu kota sebagai pengamen jalanan. Sekitar setahun
Didi berada di Jakarta, Hariyono bersama beberapa rekan sesama pengamen dari
Solo menyusul.

Seingat Hariyono, kala itu Didi sudah masuk
dapur rekaman, tapi hasilnya belum terlalu menjual. Karena itu, Didi masih
sering mengamen.

Pengakuan Eko, masa-masa sulit sang kakak
tersebut bahkan masih terus berlangsung sampai saat dirinya (Eko) menikah pada
1994. Didi tak hadir kala itu dengan alasan manggung. Tapi, belakangan Eko tahu
bahwa kondisi perekonomian sang kakak yang menjadi penyebab ketidakhadiran
tersebut. Padahal, saat itu Didi sudah menghasilkan beberapa album.

”Dia juga sudah diundang konser ke Belanda dan
Suriname. Tapi, hasilnya bisa dibilang hanya cukup untuk makan sehari-hari,”
kenang Eko.

Di Jakarta, Didi tak hanya mengamen di kawasan
kaki lima, tapi juga dari satu bus ke bus lain. Area mengamennya di kawasan
Slipi, Palmerah, Cakung, hingga Senen.

Di ibu kota itulah nama Kempot yang merupakan
singkatan dari Kelompok Pengaman Trotoar disematkan, yang akhirnya menjadi nama
panggung dia hingga tutup usia (dalam usia 53 tahun) pada Selasa (5/5) lalu.
Tak seperti di hari-hari terakhirnya ketika dia terlihat lebih berisi, dengan
pipi yang chubby, Didi zaman perjuangan berperawakan kurus. ”Sangat tirus,”
kata Hari yang berusia dua tahun lebih muda daripada Didi.

Baca Juga :  Ini Lho Panggilan Sayang untuk Pasangan dari Berbagai Negara

Di jalanan Jakarta musik yang kerap dimainkan
Didi adalah pop, bukan campursari yang belakangan mengangkat namanya.
Lagu-lagunya ada yang berbahasa Indonesia. Ada pula yang berbahasa Jawa.
”Tergantung bus yang kami naiki. Kalau bus kota, lagunya Indonesia, kalau bus
AKAP (antarkota antarprovinsi) tujuan Jawa ya lagunya Jawa,” ungkapnya.

Hampir semua lagu yang dinyanyikan Didi kala
itu sudah merupakan hasil karyanya sendiri. Putra ketiga seniman tradisional
Jawa Ranto Edi Gudel itu memang sangat prolifik dalam menulis lagu. Sampai
akhir hayatnya, sudah 800-an lagu dihasilkannya.

Kata Hari, tak pandang tempat, asal pikiran
Didi sedang jernih, satu lagu pasti jadi. ”Mas Didi itu orangnya titen, terus
pintar mengolah rasa. Dan yang membedakan (dengan penulis lagu lain, Red), dia
memiliki banyak diksi,” imbuhnya.

Ketika itu Didi dan Hariyono tinggal di tempat
kos berbeda, tapi masih pada satu perkampungan yang sama bersama dengan
pengamen jalanan lain. Di kawasan Slipi, dekat pemakaman.

”Karena area pemakaman, kalau ada yang habis
meninggal, pasti tiker yang buat bungkus jenazah itu dibuang sama keluarga, itu
jadi rayahan (rebutan) anak-anak. Lumayan dapat alas tidur seperti itu,” kata
Hariyono.

Kenangan lain bersama
Didi, lanjut Hariyono, tiap kali hawa Jakarta tengah sumuk, dengan segera
mereka berebut ngisis (cari angin) tiduran di dalam makam. ”Yo jejer
kijing-kijing kuwi (ya sejajar dengan makam-makam itu, Red),” kenang Hari
seraya tergelak.

Bahkan saat mulai awal mengamen di Solo pun,
Didi Kempot sudah membawakan lagu ciptaan sendiri, Cidro salah satunya.
Suaranya yang merdu dan karakternya yang mengayomi membuat pengamen lain segan.

 

ANTONIUS CHRISTIAN, Solo

 

JAUH sebelum menjadi The Godfather of Broken
Heart yang bermandi lampu sorot benderang, temaram lampu jalanan Solo-lah yang
kali pertama membasuh Didi Kempot. Mengutip rupiah demi rupiah, dari hasil
genjrengan ngamen.

Itu tahun 1984–1985. Sepulang dia dari
Samarinda, Kalimantan Timur, kembali ke Solo, kota kelahirannya. Dan sesudah
Didi meminta izin kepada sang bapak, Ranto Edi Gudel, untuk tidak melanjutkan
sekolah yang saat itu sudah sampai kelas II SMA.

Eko Guntur Martinus, adik Didi, mengenang sang
kakak biasa ”beroperasi” di kawasan Jalan Teuku Umar, Kelurahan Keprabon,
Kecamatan Banjarsari, Solo. Didi biasanya mengamen mulai pukul 19.00 hingga
22.00. ”Targetnya Mas Didi itu Rp 3.000 sehari. Itu buat dibawa pulang untuk
membantu keluarga. Kalau ada lebih, baru buat Mas Didi pribadi,” kata Eko
kepada Jawa Pos Radar Solo.

Bahkan, di usia semuda itu, bakat Didi bermain
musik dan menulis lagu yang mulai diasah di Samarinda sudah sangat kelihatan.
Hariyono, rekan ngamen Didi Kempot, mengenang, Cidro yang puluhan tahun
kemudian melejit sudah diujidengarkan kepada mereka yang tengah makan atau
minum di kawasan Keprabon. Juga Modal Dengkul dan banyak lagu lain.

”Kalau dulu memang lokasi itu base camp para
pengamen. Pusat kuliner yang setiap malam pasti ramai pembeli, dari rakyat
biasa, politikus, sampai artis ibu kota yang lagi pentas atau cuma mampir ke
Solo,” kenang pria yang akrab dipanggil Hari Gempil tersebut.

Baca Juga :  Awas, Kebiasaan Menggigit Kuku Berdampak Mengerikan

Meski kala itu masih berusia muda, sekitar
18–19 tahun, Hari mengingat, setiap Didi datang, pengamen yang lain pasti
memilih menepi. Di lokasi tersebut Didi memang dikenal sebagai jawara.

Selain karena suaranya yang memang merdu, juga
karena sosok Didi Kempot yang sangat mengayomi para pengamen lain. ”Jadi, yang
lain merasa pekewuh,” ucapnya.

Beberapa tahun mengamen di Kota Bengawan, Didi
akhirnya merantau ke Jakarta sekitar 1987. Sama seperti di Solo, Lord Didi,
sapaan dari para penggemar ketika popularitas Didi telah melejit, juga
menghabiskan hari-harinya di ibu kota sebagai pengamen jalanan. Sekitar setahun
Didi berada di Jakarta, Hariyono bersama beberapa rekan sesama pengamen dari
Solo menyusul.

Seingat Hariyono, kala itu Didi sudah masuk
dapur rekaman, tapi hasilnya belum terlalu menjual. Karena itu, Didi masih
sering mengamen.

Pengakuan Eko, masa-masa sulit sang kakak
tersebut bahkan masih terus berlangsung sampai saat dirinya (Eko) menikah pada
1994. Didi tak hadir kala itu dengan alasan manggung. Tapi, belakangan Eko tahu
bahwa kondisi perekonomian sang kakak yang menjadi penyebab ketidakhadiran
tersebut. Padahal, saat itu Didi sudah menghasilkan beberapa album.

”Dia juga sudah diundang konser ke Belanda dan
Suriname. Tapi, hasilnya bisa dibilang hanya cukup untuk makan sehari-hari,”
kenang Eko.

Di Jakarta, Didi tak hanya mengamen di kawasan
kaki lima, tapi juga dari satu bus ke bus lain. Area mengamennya di kawasan
Slipi, Palmerah, Cakung, hingga Senen.

Di ibu kota itulah nama Kempot yang merupakan
singkatan dari Kelompok Pengaman Trotoar disematkan, yang akhirnya menjadi nama
panggung dia hingga tutup usia (dalam usia 53 tahun) pada Selasa (5/5) lalu.
Tak seperti di hari-hari terakhirnya ketika dia terlihat lebih berisi, dengan
pipi yang chubby, Didi zaman perjuangan berperawakan kurus. ”Sangat tirus,”
kata Hari yang berusia dua tahun lebih muda daripada Didi.

Baca Juga :  Ini Lho Panggilan Sayang untuk Pasangan dari Berbagai Negara

Di jalanan Jakarta musik yang kerap dimainkan
Didi adalah pop, bukan campursari yang belakangan mengangkat namanya.
Lagu-lagunya ada yang berbahasa Indonesia. Ada pula yang berbahasa Jawa.
”Tergantung bus yang kami naiki. Kalau bus kota, lagunya Indonesia, kalau bus
AKAP (antarkota antarprovinsi) tujuan Jawa ya lagunya Jawa,” ungkapnya.

Hampir semua lagu yang dinyanyikan Didi kala
itu sudah merupakan hasil karyanya sendiri. Putra ketiga seniman tradisional
Jawa Ranto Edi Gudel itu memang sangat prolifik dalam menulis lagu. Sampai
akhir hayatnya, sudah 800-an lagu dihasilkannya.

Kata Hari, tak pandang tempat, asal pikiran
Didi sedang jernih, satu lagu pasti jadi. ”Mas Didi itu orangnya titen, terus
pintar mengolah rasa. Dan yang membedakan (dengan penulis lagu lain, Red), dia
memiliki banyak diksi,” imbuhnya.

Ketika itu Didi dan Hariyono tinggal di tempat
kos berbeda, tapi masih pada satu perkampungan yang sama bersama dengan
pengamen jalanan lain. Di kawasan Slipi, dekat pemakaman.

”Karena area pemakaman, kalau ada yang habis
meninggal, pasti tiker yang buat bungkus jenazah itu dibuang sama keluarga, itu
jadi rayahan (rebutan) anak-anak. Lumayan dapat alas tidur seperti itu,” kata
Hariyono.

Kenangan lain bersama
Didi, lanjut Hariyono, tiap kali hawa Jakarta tengah sumuk, dengan segera
mereka berebut ngisis (cari angin) tiduran di dalam makam. ”Yo jejer
kijing-kijing kuwi (ya sejajar dengan makam-makam itu, Red),” kenang Hari
seraya tergelak.

Terpopuler

Artikel Terbaru