32.8 C
Jakarta
Friday, April 19, 2024

Halal

PROKALTENG.CO – Halal berasal dari bahasa Arab, dari akar kata halla berarti menguraikan, membuka, berhenti, diam, menghalalkan. Lawannya ialah haram, yaitu sesuatu yang secara tegas dilarang oleh syariáh.

Produk halal berarti segala sesuatu yang dijamin kehalalannya, baik dalam bentuk makanan, minuman, obat-obatan, barang gunaan seperti tas, sepatu, dan jaket. Termasuk produk halal ialah sumber penghasilan yang kita peroleh terbebas dari hal-hal yang terlarang, misalnya penghasilan yang berasal dari judi, riba, jual beli barang haram, dan hasil curian, rampokan, penipuan, korupsi, dan lain sebagainya yang dilarang oleh syari’ah.

Khusus makanan, minuman, dan sejenisnya, yang haram bukan hanya sekedar zatnya, seperti daging babi, anjing, bangkai, benda najis, dan makanan lain yang ditegaskan keharamannya, tetapi juga makanan halal yang sudah terkontaminasi dengan unsur-unsur haram.

Baca Juga :  Nasib Ibu Hamil dan Menyusui di Tengah Pandemi Covid-19

Apa yang haram dan najis pada waktu banyaknya maka haram dan najis pula waktu sedikitnya. Terkadang, ada yang zatnya halal seperti daging kambing tetapi kambing curian, sudah menjadi bangkai, mati karena ditabrak, tidak disembelih dengan membaca basmalah, maka tetap haram di makan.

Bahkan ada ulama lain yang menambahkan, kalau penyembelihan kambing itu ditujukan untuk sajian kemusyrikan, seperti sesembahan kepada berhala, maka itu juga haram. Meskipun segala unsurnya halal, tetapi kalau di dalam mengkonsumsinya berlebihan (israf) maka itu juga ada yang mengategorikannya haram atau tidak boleh.

Bahan atau barang gunaan seperti tas, lapisan sepatu, kancing baju, dan aksesoris lainnya dari babi termasuk haram. Obat-obatan dan vaksin yang mengandung unsur babi, selama masih ada jenis lainnya, tetap haram. Bahkan, MUI juga masih mengharamkan sebuah produk yang media perosessingnya menggunakan unsur babi.

Baca Juga :  Desentralisasi Pasar, Solusi Sirkulasi Ekonomi di Tengah Pandemi

Segala sesuatu yang haram dianggap tidak mempunyai berkah. Karena itu sistem perekonomian yang terindikasi menggunakan mekanisme yang tidak dibenarkan syari’ah sebaiknya ditinggalkan, seperti pariwisata seksual, perekonomian riba, industry seksual dan prostitusi, praktek ekonomi kartel yang terlarang, spekulasi, judi, serta gaji buta, sebaiknya dihindari karena semuanya itu tidak berkah.

Menghalalkan sesuatu yang haram sama bahayanya dengan mengharamkan sesuatu yang halal. Karena itu, sebagai bangsa yang penduduknya mayoritas muslim, bahkan penduduk muslim terbesar di dunia, sudah sangat selayaknya Indonesia memiliki UU jaminan Produk halal demi memberi pelayanan terhadap warga terbesar bangsa ini.(*)

(Penulis: Prof. Nasaruddin Umar. Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta)

PROKALTENG.CO – Halal berasal dari bahasa Arab, dari akar kata halla berarti menguraikan, membuka, berhenti, diam, menghalalkan. Lawannya ialah haram, yaitu sesuatu yang secara tegas dilarang oleh syariáh.

Produk halal berarti segala sesuatu yang dijamin kehalalannya, baik dalam bentuk makanan, minuman, obat-obatan, barang gunaan seperti tas, sepatu, dan jaket. Termasuk produk halal ialah sumber penghasilan yang kita peroleh terbebas dari hal-hal yang terlarang, misalnya penghasilan yang berasal dari judi, riba, jual beli barang haram, dan hasil curian, rampokan, penipuan, korupsi, dan lain sebagainya yang dilarang oleh syari’ah.

Khusus makanan, minuman, dan sejenisnya, yang haram bukan hanya sekedar zatnya, seperti daging babi, anjing, bangkai, benda najis, dan makanan lain yang ditegaskan keharamannya, tetapi juga makanan halal yang sudah terkontaminasi dengan unsur-unsur haram.

Baca Juga :  Nasib Ibu Hamil dan Menyusui di Tengah Pandemi Covid-19

Apa yang haram dan najis pada waktu banyaknya maka haram dan najis pula waktu sedikitnya. Terkadang, ada yang zatnya halal seperti daging kambing tetapi kambing curian, sudah menjadi bangkai, mati karena ditabrak, tidak disembelih dengan membaca basmalah, maka tetap haram di makan.

Bahkan ada ulama lain yang menambahkan, kalau penyembelihan kambing itu ditujukan untuk sajian kemusyrikan, seperti sesembahan kepada berhala, maka itu juga haram. Meskipun segala unsurnya halal, tetapi kalau di dalam mengkonsumsinya berlebihan (israf) maka itu juga ada yang mengategorikannya haram atau tidak boleh.

Bahan atau barang gunaan seperti tas, lapisan sepatu, kancing baju, dan aksesoris lainnya dari babi termasuk haram. Obat-obatan dan vaksin yang mengandung unsur babi, selama masih ada jenis lainnya, tetap haram. Bahkan, MUI juga masih mengharamkan sebuah produk yang media perosessingnya menggunakan unsur babi.

Baca Juga :  Desentralisasi Pasar, Solusi Sirkulasi Ekonomi di Tengah Pandemi

Segala sesuatu yang haram dianggap tidak mempunyai berkah. Karena itu sistem perekonomian yang terindikasi menggunakan mekanisme yang tidak dibenarkan syari’ah sebaiknya ditinggalkan, seperti pariwisata seksual, perekonomian riba, industry seksual dan prostitusi, praktek ekonomi kartel yang terlarang, spekulasi, judi, serta gaji buta, sebaiknya dihindari karena semuanya itu tidak berkah.

Menghalalkan sesuatu yang haram sama bahayanya dengan mengharamkan sesuatu yang halal. Karena itu, sebagai bangsa yang penduduknya mayoritas muslim, bahkan penduduk muslim terbesar di dunia, sudah sangat selayaknya Indonesia memiliki UU jaminan Produk halal demi memberi pelayanan terhadap warga terbesar bangsa ini.(*)

(Penulis: Prof. Nasaruddin Umar. Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta)

Terpopuler

Artikel Terbaru