31 C
Jakarta
Friday, November 15, 2024

Solidaritas dari Gaza ke Rimpang dan Jalanan

SIANG masih sangat terik di jalanan Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Tentu saja sebagian besar warga kota memilih tinggal di dalam rumah atau gedung-gedung yang menyalakan mesin pendingin dua puluh empat jam.

Saya berjanji bertemu seseorang di dekat terminal bus umum, dan yang paling gampang, bertemu di warung kopi di dalam mal. Saya menunggu bersama Ala Younis, seorang seniman keturunan Yordania Kuwait yang belakangan tinggal di Abu Dhabi, atau terkadang di Beirut. Memang Ala yang mengatur pertemuan kami.

Hampir satu jam kami menunggu sebelum akhirnya kami melihat sosoknya muncul dari pintu arah terminal bus. Muhammad Al Hawajri, seorang seniman yang baru saja mengungsi dari Gaza, baru tiba di Dubai sekitar dua minggu dari waktu ketika kami bertemu. Raut mukanya tampak cukup segar, dan di luar dugaan saya, juga terkesan cukup optimistis menyembunyikan gundah hatinya. Setelah duduk dan memesan secangkir teh panas, Hawajri mulai bercerita lebih banyak tentang situasinya kini. Istri dan empat anaknya pada waktu itu masih tertahan di Kairo, belum mendapatkan visa UEA, tempat mereka berencana mengungsi untuk jangka waktu lebih panjang, sehingga keluarga mereka terpisah untuk sementara.

Hawajri kemudian menunjukkan beberapa foto situasi terakhir studionya di Gaza, tepat sebelum ditinggalkan. Atap studio sudah porak-poranda terkena serangan bom, meskipun dari video yang ia tunjukkan, masih ada cukup banyak lukisan yang tampak utuh. Puing dinding dan semen masih berserakan juga di dalam studionya. Setelah itu, ia menunjukkan bagian luar studio, situasi Kota Gaza yang telah luluh lantak, seluruh bangunan hancur dan sama sekali tak bisa menjadi tempat berlindung lagi. Dari Gaza, Hawajri dan keluarganya berpindah ke Rafah, bergabung dengan puluhan ribu pengungsi lain di tenda-tenda darurat. Baru dari Rafah ia mulai mengurus visa untuk berpindah ke Uni Emirat Arab.

Selama masa perang berkecamuk, anak-anak Hawajri, terutama yang paling besar, 17 tahun, cukup rajin membuat video suasana di Gaza dan Rafah. Anak keduanya membuat beberapa gambar untuk mendokumentasikan ingatannya atas peradaban yang perlahan hilang. Mereka mengais makanan dari apa saja yang tersisa, dan mencoba menciptakan permainan sederhana untuk anak-anak sebagai pelipur lara. Istri Hawajri, Dina Matar, juga seorang seniman andal. Hawajri menunjukkan beberapa karyanya dan Dina, yang sebagian masih sempat ia selamatkan untuk dibawa selama masa pengungsian. Warna-warna yang cerah dan kuat, merah kuning atau hijau terang, tampak kontras dengan narasi kesuraman Palestina yang sering kita dengar. Pada lukisan-lukisan itu, saya melihat daya hidup yang sedemikian kuat, sebuah harapan masa depan.

Baca Juga :  Alam Hadiri Gelaran Art Jakarta 2023, Apresiasi Perkembangan Industri Kreatif

Hawajri dan teman-temannya membentuk kelompok seniman yang diberi nama Questions of Funding, yang sempat juga membuat heboh beberapa bulan sebelum documenta fifteen dibuka. Hawajri dan beberapa pemuda Palestina belajar dan ”nyantrik” bersama seniman kenamaan Syria, Marwan, dan melihat bagaimana seni bisa menjadi sebuah cara untuk membangun harapan hidup yang lebih baik. Mereka mengorganisasi pameran di tengah ketidakstabilan politik dan ancaman kekerasan setiap hari selama bertahun-tahun, membuka ruang berkumpul dan perpustakaan kecil sehingga generasi muda bisa mendapatkan akses pengetahuan lebih terbuka. Tentu saja, ruang mereka juga telah hancur berbulan-bulan lalu dan para anggota komunitas berpencar di sana sini.

Hingga sekarang, Hawajri menyebut bahwa istrinya belum mendapatkan visa, tetapi anak-anak segera menyusulnya ke Dubai. Tentu saja berat, karena anak termudanya masih berusia empat tahun, dan masih membutuhkan sang ibu. Tapi, Hawajri sendiri tampak sangat tenang dan optimistis. Kami merencanakan untuk memamerkan beberapa lukisan lama yang sempat mereka selamatkan dari studio, sembari kami mengerahkan kemungkinan untuk Sharjah Art Foundation memberikan Hawajri dan keluarga tempat tinggal di Sharjah untuk tahun-tahun ke depan. Kami mendiskusikan bagaimana membangun narasi untuk pameran, di mana saya menyatakan bahwa tak hanya karya Hawajri dan Dina, tapi juga anak-anaknya yang telah menjadi saksi dan mencatat hari-hari kehancuran, dan bagaimana mereka terus berjuang untuk tegak berdiri. Kami juga merencanakan serangkaian program di tahun depan untuk mengumpulkan keluarga pengungsi Palestina lain untuk bisa menarasikan kisah mereka lebih kuat lagi, terutama karena Sharjah Art Foundation sendiri selalu menunjukkan keberpihakan yang kuat terhadap Palestina dan mengambil langkah-langkah jelas untuk menjamin aksi solidaritas untuk korban. Hawajri sampai sekarang masih cukup sering berbicara dalam berbagai forum untuk membagi kisahnya sehingga isu Palestina bisa terus digemakan.

Baca Juga :  Sulam Silam: Pameran dalam Stoples

Tiga kata –keberpihakan, solidaritas, empati– saya kira adalah tiga hal utama yang mendefinisikan kemanusiaan kita pada masa-masa ketika dunia dihadapkan pada keserakahan dan ya, saya mesti bilang, angkara murka. Di banyak tempat di dunia. Kekerasan membabi buta, perampasan lahan, ketidakadilan, semua seperti menusuk hati meninggalkan pilu yang tidak mudah hilang. Dalam situasi seperti itu, terutama bekerja dalam bidang seni, untuk saya, tidak ada kata netral. Karena seni selalu berupaya menjadi ruang pengingat agar kita selalu mengedepankan nurani, dan tidak menormalisasi ketidakadilan sebagai konsensus politik.

Dalam menghadapi hari-hari di mana korban penindasan dan perampasan terus bersuara, ketika mahasiswa dan para aktivis turun ke jalan, ketika mereka ditangkap dan dipukuli, kita harus menunjukkan dukungan dan pernyataan tegas ”kita berdiri bersama mereka”. Konsep solidaritas menggambarkan ikatan dan rasa saling peduli antara anggota masyarakat, di mana setiap individu merasa bertanggung jawab terhadap situasi orang lain. Solidaritas berbicara tentang semangat tolong-menolong, dukungan, dan persatuan yang berujung pada penguatan masyarakat. Dalam bahasa Indonesia, solidaritas disebut sebagai ”setia kawan”, yang tentu berarti kita juga bersetia pada apa yang dihadapi oleh kawan. Kita menjadi sekawanan. Kita menyatu dalam perlawanan.

Pertemuan dengan Hawajri siang itu terus menyisakan tanya bagaimana kita bisa berperan lebih dari share berita digital, atau membantu melalui berbagai jaringan donasi. Kami melihat bagaimana menjaga pengetahuan, kehidupan, dan menyebarkan pengalaman korban melalui seni adalah urgensi baru dalam konteks seni hari ini; bukan cuma memajang karya lukisan di dinding galeri dan mencari publisitas yang luas, tapi menciptakan ruang untuk menjaga api kemanusiaan. Termasuk untuk mereka yang berjuang di garda depan, dengan ancaman batu atau mesiu.

Dalam hari-hari ini, solidaritas adalah sebuah sikap di mana kita mendukung mereka yang merelakan waktu, tenaga dan bahkan menempuh risiko kekerasan untuk memperjuangkan perubahan. Mereka yang berhadapan dengan aparat, dikepung tentara. Mereka yang terluka, menuntut negara. (*)

 

SIANG masih sangat terik di jalanan Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Tentu saja sebagian besar warga kota memilih tinggal di dalam rumah atau gedung-gedung yang menyalakan mesin pendingin dua puluh empat jam.

Saya berjanji bertemu seseorang di dekat terminal bus umum, dan yang paling gampang, bertemu di warung kopi di dalam mal. Saya menunggu bersama Ala Younis, seorang seniman keturunan Yordania Kuwait yang belakangan tinggal di Abu Dhabi, atau terkadang di Beirut. Memang Ala yang mengatur pertemuan kami.

Hampir satu jam kami menunggu sebelum akhirnya kami melihat sosoknya muncul dari pintu arah terminal bus. Muhammad Al Hawajri, seorang seniman yang baru saja mengungsi dari Gaza, baru tiba di Dubai sekitar dua minggu dari waktu ketika kami bertemu. Raut mukanya tampak cukup segar, dan di luar dugaan saya, juga terkesan cukup optimistis menyembunyikan gundah hatinya. Setelah duduk dan memesan secangkir teh panas, Hawajri mulai bercerita lebih banyak tentang situasinya kini. Istri dan empat anaknya pada waktu itu masih tertahan di Kairo, belum mendapatkan visa UEA, tempat mereka berencana mengungsi untuk jangka waktu lebih panjang, sehingga keluarga mereka terpisah untuk sementara.

Hawajri kemudian menunjukkan beberapa foto situasi terakhir studionya di Gaza, tepat sebelum ditinggalkan. Atap studio sudah porak-poranda terkena serangan bom, meskipun dari video yang ia tunjukkan, masih ada cukup banyak lukisan yang tampak utuh. Puing dinding dan semen masih berserakan juga di dalam studionya. Setelah itu, ia menunjukkan bagian luar studio, situasi Kota Gaza yang telah luluh lantak, seluruh bangunan hancur dan sama sekali tak bisa menjadi tempat berlindung lagi. Dari Gaza, Hawajri dan keluarganya berpindah ke Rafah, bergabung dengan puluhan ribu pengungsi lain di tenda-tenda darurat. Baru dari Rafah ia mulai mengurus visa untuk berpindah ke Uni Emirat Arab.

Selama masa perang berkecamuk, anak-anak Hawajri, terutama yang paling besar, 17 tahun, cukup rajin membuat video suasana di Gaza dan Rafah. Anak keduanya membuat beberapa gambar untuk mendokumentasikan ingatannya atas peradaban yang perlahan hilang. Mereka mengais makanan dari apa saja yang tersisa, dan mencoba menciptakan permainan sederhana untuk anak-anak sebagai pelipur lara. Istri Hawajri, Dina Matar, juga seorang seniman andal. Hawajri menunjukkan beberapa karyanya dan Dina, yang sebagian masih sempat ia selamatkan untuk dibawa selama masa pengungsian. Warna-warna yang cerah dan kuat, merah kuning atau hijau terang, tampak kontras dengan narasi kesuraman Palestina yang sering kita dengar. Pada lukisan-lukisan itu, saya melihat daya hidup yang sedemikian kuat, sebuah harapan masa depan.

Baca Juga :  Alam Hadiri Gelaran Art Jakarta 2023, Apresiasi Perkembangan Industri Kreatif

Hawajri dan teman-temannya membentuk kelompok seniman yang diberi nama Questions of Funding, yang sempat juga membuat heboh beberapa bulan sebelum documenta fifteen dibuka. Hawajri dan beberapa pemuda Palestina belajar dan ”nyantrik” bersama seniman kenamaan Syria, Marwan, dan melihat bagaimana seni bisa menjadi sebuah cara untuk membangun harapan hidup yang lebih baik. Mereka mengorganisasi pameran di tengah ketidakstabilan politik dan ancaman kekerasan setiap hari selama bertahun-tahun, membuka ruang berkumpul dan perpustakaan kecil sehingga generasi muda bisa mendapatkan akses pengetahuan lebih terbuka. Tentu saja, ruang mereka juga telah hancur berbulan-bulan lalu dan para anggota komunitas berpencar di sana sini.

Hingga sekarang, Hawajri menyebut bahwa istrinya belum mendapatkan visa, tetapi anak-anak segera menyusulnya ke Dubai. Tentu saja berat, karena anak termudanya masih berusia empat tahun, dan masih membutuhkan sang ibu. Tapi, Hawajri sendiri tampak sangat tenang dan optimistis. Kami merencanakan untuk memamerkan beberapa lukisan lama yang sempat mereka selamatkan dari studio, sembari kami mengerahkan kemungkinan untuk Sharjah Art Foundation memberikan Hawajri dan keluarga tempat tinggal di Sharjah untuk tahun-tahun ke depan. Kami mendiskusikan bagaimana membangun narasi untuk pameran, di mana saya menyatakan bahwa tak hanya karya Hawajri dan Dina, tapi juga anak-anaknya yang telah menjadi saksi dan mencatat hari-hari kehancuran, dan bagaimana mereka terus berjuang untuk tegak berdiri. Kami juga merencanakan serangkaian program di tahun depan untuk mengumpulkan keluarga pengungsi Palestina lain untuk bisa menarasikan kisah mereka lebih kuat lagi, terutama karena Sharjah Art Foundation sendiri selalu menunjukkan keberpihakan yang kuat terhadap Palestina dan mengambil langkah-langkah jelas untuk menjamin aksi solidaritas untuk korban. Hawajri sampai sekarang masih cukup sering berbicara dalam berbagai forum untuk membagi kisahnya sehingga isu Palestina bisa terus digemakan.

Baca Juga :  Sulam Silam: Pameran dalam Stoples

Tiga kata –keberpihakan, solidaritas, empati– saya kira adalah tiga hal utama yang mendefinisikan kemanusiaan kita pada masa-masa ketika dunia dihadapkan pada keserakahan dan ya, saya mesti bilang, angkara murka. Di banyak tempat di dunia. Kekerasan membabi buta, perampasan lahan, ketidakadilan, semua seperti menusuk hati meninggalkan pilu yang tidak mudah hilang. Dalam situasi seperti itu, terutama bekerja dalam bidang seni, untuk saya, tidak ada kata netral. Karena seni selalu berupaya menjadi ruang pengingat agar kita selalu mengedepankan nurani, dan tidak menormalisasi ketidakadilan sebagai konsensus politik.

Dalam menghadapi hari-hari di mana korban penindasan dan perampasan terus bersuara, ketika mahasiswa dan para aktivis turun ke jalan, ketika mereka ditangkap dan dipukuli, kita harus menunjukkan dukungan dan pernyataan tegas ”kita berdiri bersama mereka”. Konsep solidaritas menggambarkan ikatan dan rasa saling peduli antara anggota masyarakat, di mana setiap individu merasa bertanggung jawab terhadap situasi orang lain. Solidaritas berbicara tentang semangat tolong-menolong, dukungan, dan persatuan yang berujung pada penguatan masyarakat. Dalam bahasa Indonesia, solidaritas disebut sebagai ”setia kawan”, yang tentu berarti kita juga bersetia pada apa yang dihadapi oleh kawan. Kita menjadi sekawanan. Kita menyatu dalam perlawanan.

Pertemuan dengan Hawajri siang itu terus menyisakan tanya bagaimana kita bisa berperan lebih dari share berita digital, atau membantu melalui berbagai jaringan donasi. Kami melihat bagaimana menjaga pengetahuan, kehidupan, dan menyebarkan pengalaman korban melalui seni adalah urgensi baru dalam konteks seni hari ini; bukan cuma memajang karya lukisan di dinding galeri dan mencari publisitas yang luas, tapi menciptakan ruang untuk menjaga api kemanusiaan. Termasuk untuk mereka yang berjuang di garda depan, dengan ancaman batu atau mesiu.

Dalam hari-hari ini, solidaritas adalah sebuah sikap di mana kita mendukung mereka yang merelakan waktu, tenaga dan bahkan menempuh risiko kekerasan untuk memperjuangkan perubahan. Mereka yang berhadapan dengan aparat, dikepung tentara. Mereka yang terluka, menuntut negara. (*)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru