27.1 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Pandemi Tak Selalu Hitam di Atas Putih

SEKITAR dua mingguan, di bulan ini. Beberapa madrasah atau sekolah mengadakan Penilaian Tengah Semester (PTS). Ada juga dengan istilah lainnya.

Setelah menjalani kegiatan proses belajar dan mengajar, beradaptasi dengan kondisi PPKM yang lumayan runyam. Akhirnya, setiap pihak sekolah juga harus berani mengambil tindakan yang tegas untuk bisa mengetahui standar kemampuan peserta didik, untuk dijadikan sebagai tolak ukur, apalagi di masa pandemi, yang sebentar lagi berganti status menjadi endemi.

Segala upaya telah dikerahkan. Terlalu lama menjalani proses kegiatan belajar mengajar (KBM) secara daring, juga tidak maksimal. Melakukan aktivitas dengan seperti biasa, juga tak bisa dianjurkan. Maka, ada beberapa proses pembelajaran tatap muka yang dicoba. Mulai dari proses belajar pergantian peserta didik genap dan ganjil berselang hari, atau juga dengan cara optimalisasi Zoom atau Google Meet, ada juga yang melakukan proses pembelajaran dengan bersesi.

Itu semua, menjadi suatu bagian dari upaya untuk peserta anak didik yang selalu menjadi prioritas. Kalaupun terbilang agak ruwet, ribet, memang. Namanya juga suatu usaha, tidak ada yang terbilang sempurna, dan kita semua hanya bisa mengusahakan semaksimal yang kita bisa.

Banyak sekali keluhan yang setiap hari menjadi camilan. Bukan hanya dari komite sekolah. Ada juga dari wali murid, para peserta didik, pembimbing akademik, dan hampir semua lapisan masyarakat resah dengan keadaan. Apa kita bisa menyalahkan suatu keadaan, lantas tidak mau mencari jalan keluar? Berpikirlah, bergeraklah, berjuanglah, maka kita akan menemukan celah cahaya dan kembali menuju titik terang terbaik untuk maslahat kita semua.

Penilaian Tengah Semester sedang berlangsung, dan kian usai. Ternyata benar, nilai anak-anak anjlok. Melihat catatan harian dan juga tugas yang diberikan, tidak rutin, bahkan bolong-bolong. Semua anak ingin protes, tapi tak banyak guru ingin mendengar keluhannya. Yaa, mau bagaimana lagi? Sekolahnya daring, tapi kok ujiannya luring?

Beberapa guru tidak mau ambil pusing, ada beberapa guru yang mempertimbangkan penilaian di luar catatan pekerjaan harian, ada juga yang berpatok pada standar sesuai KKM yang ada. “Tidak mau tahu, intinya saya sudah berusaha untuk memberikan materi, mengajar, dan juga mengingatkan anak – anak jika telat mengerjakan. Kalau masih tidak menurut, silakan saja terjun payung dengan nilainya!” 

Baca Juga :  Ancaman Varian Baru Korupsi

Ini hanya salah satu anggapan yang terdengar, tidak salah, tapi juga tidak selalu dianggap benar.

Pandemi, tidak bisa hanya selalu berpatok pada hitam di atas putih. Tugas pekerjaan harian tidak akan pernah bisa dijadikan standar. Kondisi ini semakin buram. Hakikat dari belajar dan mengajar, adalah proses bertatap dan bertemunya seorang guru dengan santri dan muridnya. Kalaupun tidak bisa dan bahkan berhalangan, tak bisa bertatap secara langsung. Maka hadirlah lewat kata–kata, hadir lewat tulisan, hadir lewat suara panggilan.

Kehadiran, tak selalu bernilai wujud dan saling bertatap. Karena, selama ini. Jika memang hanya berpatok pada tugas harian yang diberikan setiap minggunya, tanpa ada penjelasan dan juga perhatian — yang kita bilang dua kali lipat dibandingkan proses pembelajaran tatap muka.

Tugas anak–anak yang mendapat nilai istimewa pun bisa dikerjakan lewat joki tugas, jawaban ujian harian pun bisa copy paste lewat situs penyedia jawaban; Brainly, Zenius, RuangGuru, dan lain sebagainya. Atau mungkin, ada juga yang mengandalkan guru les untuk mengerjakan tugas pekerjaan hariannya. Karena apa? Karena tuntutan nilai hitam di atas putih, maka akan merusak karakter belajar anak – anak menjadi tidak merdeka.

Lalu, ke mana sisa waktu yang dibuang sia–sia itu? Mereka gunakan untuk nonton film, mabar (baca: main bareng) game online, syukur-syukur jika ada yang menghabiskan waktunya dengan membantu pekerjaan orang tuanya di rumah.

Saat PTS berlangsung, beberapa anak juga mengeluh karena tak paham dan mengerti dengan apa yang dimaksud, mereka tak paham dan hafal bagaimana cara belajarnya. Sedangkan, yang terngiang di atas kepala dan luar otaknya hanyalah; “Bagaimana caranya, aku mendapat nilai maksimal. Agar tidak diomeli gurunya, ayah dan ibunya!”

Baca Juga :  Menghargai Kritik, Membangun Demokrasi

Mereka memutuskan untuk mencontek, untuk mencari taktik bisa mengelabui pengawasnya. Jika nilainya memuaskan, maka diajukan kepada kedua orangnya, lalu jika tidak? Mereka meninggalkannya di kelas begitu saja, dibuangnya, karena kecewa dan takut jika justru ketahuan dengan nilai buruknya. Padahal, selembar kertas setelah ujian itu sangat berharga. Bukannya itu adalah hasil berpikir dari akal dan pikiran mereka? Bukannya itu adalah gambaran dirinya selama setengah semester? Pada saat seperti inilah, anak tidak menghargai dirinya sendiri, tidak percaya diri, tertekan dan penuh tuntutan dari dalam dan luar dirinya.

Apakah selama ini cara mendidik dan juga usaha yang diterapkan salah? Tidak bisa kita bilang benar dan juga salah. Semuanya perlu tindakan dan juga usaha yang lebih maksimal untuk bisa memperbaiki jati diri generasi anak cucu kita. Sekitar dua tahun ini, anak-anak kita kehilangan jati dirinya. Kalau hanya berpikir nilai hitam di atas putih adalah yang menentukan masa depannya, maka generasi yang tercipta kemungkinan bisa jadi seperti intisari yang dipaparkan pada paragraf sebelumnya.

Coba untuk melihat pada seluruh penjuru, pada segala sisi yang ada, agar tak lagi terjadi ketimpangan moral dan akhlak. Agar tak hanya seenaknya menghakimi anak cerdas dan bodoh dari nilai dan tugasnya, agar tak selalu beranggapan bahwa mereka yang tidak mengerjakan tugas adalah selamanya anak yang malas.

Tujuan dari belajar dan ujian, bukan hanya untuk menjawab soal dan pertanyaan. Tapi bagaimana menjadi anak yang baik, anak yang jujur, anak yang sopan, anak yang berakhlak karimah dan mulia. Semoga kita semua bisa menjadi bagian pendidik yang mewujudkan itu semua. (*)

(NUHBATUL FAKHIROH MAULIDIA. Guru di MTsN 1 Banyuwangi)

SEKITAR dua mingguan, di bulan ini. Beberapa madrasah atau sekolah mengadakan Penilaian Tengah Semester (PTS). Ada juga dengan istilah lainnya.

Setelah menjalani kegiatan proses belajar dan mengajar, beradaptasi dengan kondisi PPKM yang lumayan runyam. Akhirnya, setiap pihak sekolah juga harus berani mengambil tindakan yang tegas untuk bisa mengetahui standar kemampuan peserta didik, untuk dijadikan sebagai tolak ukur, apalagi di masa pandemi, yang sebentar lagi berganti status menjadi endemi.

Segala upaya telah dikerahkan. Terlalu lama menjalani proses kegiatan belajar mengajar (KBM) secara daring, juga tidak maksimal. Melakukan aktivitas dengan seperti biasa, juga tak bisa dianjurkan. Maka, ada beberapa proses pembelajaran tatap muka yang dicoba. Mulai dari proses belajar pergantian peserta didik genap dan ganjil berselang hari, atau juga dengan cara optimalisasi Zoom atau Google Meet, ada juga yang melakukan proses pembelajaran dengan bersesi.

Itu semua, menjadi suatu bagian dari upaya untuk peserta anak didik yang selalu menjadi prioritas. Kalaupun terbilang agak ruwet, ribet, memang. Namanya juga suatu usaha, tidak ada yang terbilang sempurna, dan kita semua hanya bisa mengusahakan semaksimal yang kita bisa.

Banyak sekali keluhan yang setiap hari menjadi camilan. Bukan hanya dari komite sekolah. Ada juga dari wali murid, para peserta didik, pembimbing akademik, dan hampir semua lapisan masyarakat resah dengan keadaan. Apa kita bisa menyalahkan suatu keadaan, lantas tidak mau mencari jalan keluar? Berpikirlah, bergeraklah, berjuanglah, maka kita akan menemukan celah cahaya dan kembali menuju titik terang terbaik untuk maslahat kita semua.

Penilaian Tengah Semester sedang berlangsung, dan kian usai. Ternyata benar, nilai anak-anak anjlok. Melihat catatan harian dan juga tugas yang diberikan, tidak rutin, bahkan bolong-bolong. Semua anak ingin protes, tapi tak banyak guru ingin mendengar keluhannya. Yaa, mau bagaimana lagi? Sekolahnya daring, tapi kok ujiannya luring?

Beberapa guru tidak mau ambil pusing, ada beberapa guru yang mempertimbangkan penilaian di luar catatan pekerjaan harian, ada juga yang berpatok pada standar sesuai KKM yang ada. “Tidak mau tahu, intinya saya sudah berusaha untuk memberikan materi, mengajar, dan juga mengingatkan anak – anak jika telat mengerjakan. Kalau masih tidak menurut, silakan saja terjun payung dengan nilainya!” 

Baca Juga :  Ancaman Varian Baru Korupsi

Ini hanya salah satu anggapan yang terdengar, tidak salah, tapi juga tidak selalu dianggap benar.

Pandemi, tidak bisa hanya selalu berpatok pada hitam di atas putih. Tugas pekerjaan harian tidak akan pernah bisa dijadikan standar. Kondisi ini semakin buram. Hakikat dari belajar dan mengajar, adalah proses bertatap dan bertemunya seorang guru dengan santri dan muridnya. Kalaupun tidak bisa dan bahkan berhalangan, tak bisa bertatap secara langsung. Maka hadirlah lewat kata–kata, hadir lewat tulisan, hadir lewat suara panggilan.

Kehadiran, tak selalu bernilai wujud dan saling bertatap. Karena, selama ini. Jika memang hanya berpatok pada tugas harian yang diberikan setiap minggunya, tanpa ada penjelasan dan juga perhatian — yang kita bilang dua kali lipat dibandingkan proses pembelajaran tatap muka.

Tugas anak–anak yang mendapat nilai istimewa pun bisa dikerjakan lewat joki tugas, jawaban ujian harian pun bisa copy paste lewat situs penyedia jawaban; Brainly, Zenius, RuangGuru, dan lain sebagainya. Atau mungkin, ada juga yang mengandalkan guru les untuk mengerjakan tugas pekerjaan hariannya. Karena apa? Karena tuntutan nilai hitam di atas putih, maka akan merusak karakter belajar anak – anak menjadi tidak merdeka.

Lalu, ke mana sisa waktu yang dibuang sia–sia itu? Mereka gunakan untuk nonton film, mabar (baca: main bareng) game online, syukur-syukur jika ada yang menghabiskan waktunya dengan membantu pekerjaan orang tuanya di rumah.

Saat PTS berlangsung, beberapa anak juga mengeluh karena tak paham dan mengerti dengan apa yang dimaksud, mereka tak paham dan hafal bagaimana cara belajarnya. Sedangkan, yang terngiang di atas kepala dan luar otaknya hanyalah; “Bagaimana caranya, aku mendapat nilai maksimal. Agar tidak diomeli gurunya, ayah dan ibunya!”

Baca Juga :  Menghargai Kritik, Membangun Demokrasi

Mereka memutuskan untuk mencontek, untuk mencari taktik bisa mengelabui pengawasnya. Jika nilainya memuaskan, maka diajukan kepada kedua orangnya, lalu jika tidak? Mereka meninggalkannya di kelas begitu saja, dibuangnya, karena kecewa dan takut jika justru ketahuan dengan nilai buruknya. Padahal, selembar kertas setelah ujian itu sangat berharga. Bukannya itu adalah hasil berpikir dari akal dan pikiran mereka? Bukannya itu adalah gambaran dirinya selama setengah semester? Pada saat seperti inilah, anak tidak menghargai dirinya sendiri, tidak percaya diri, tertekan dan penuh tuntutan dari dalam dan luar dirinya.

Apakah selama ini cara mendidik dan juga usaha yang diterapkan salah? Tidak bisa kita bilang benar dan juga salah. Semuanya perlu tindakan dan juga usaha yang lebih maksimal untuk bisa memperbaiki jati diri generasi anak cucu kita. Sekitar dua tahun ini, anak-anak kita kehilangan jati dirinya. Kalau hanya berpikir nilai hitam di atas putih adalah yang menentukan masa depannya, maka generasi yang tercipta kemungkinan bisa jadi seperti intisari yang dipaparkan pada paragraf sebelumnya.

Coba untuk melihat pada seluruh penjuru, pada segala sisi yang ada, agar tak lagi terjadi ketimpangan moral dan akhlak. Agar tak hanya seenaknya menghakimi anak cerdas dan bodoh dari nilai dan tugasnya, agar tak selalu beranggapan bahwa mereka yang tidak mengerjakan tugas adalah selamanya anak yang malas.

Tujuan dari belajar dan ujian, bukan hanya untuk menjawab soal dan pertanyaan. Tapi bagaimana menjadi anak yang baik, anak yang jujur, anak yang sopan, anak yang berakhlak karimah dan mulia. Semoga kita semua bisa menjadi bagian pendidik yang mewujudkan itu semua. (*)

(NUHBATUL FAKHIROH MAULIDIA. Guru di MTsN 1 Banyuwangi)

Terpopuler

Artikel Terbaru