33 C
Jakarta
Sunday, November 24, 2024

Politik Hukum Pemberantasan Pinjol Predator

KABAR kematian dengan cara bunuh diri yang dipicu frustrasi atas tagihan pinjaman online (pinjol) bermunculan di tengah masyarakat. Beberapa peristiwa muncul dari pelosok daerah seperti Jember (20/8), Bojonegoro (23/8), dan Wonogiri (2/10). Peristiwa memilukan ini menambah panjang daftar persoalan yang muncul akibat praktik industri financial technology atau teknologi finansial (tekfin) di Indonesia.

Sengkarut praktik pinjol di Indonesia ini ditandai mulai soal aksi penagih utang (debt collector) yang kerap menebar ancaman yang tak beradab, bunga yang melangit, hingga persoalan penyalahgunaan data pribadi. Di titik ini, pinjol bermetamorfosis menjadi lintah daring yang mengerikan bagi para peminjam (borrower).

Meski demikian, bila membuka data dari OJK, performa pinjol cukup baik. Seperti data hingga akhir Juni lalu, penyaluran kredit ke masyarakat telah menembus angka Rp 221,56 triliun yang disalurkan kepada 64,81 juta peminjam. Akses publik terhadap pembiayaan melalui tekfin kini jauh semakin mudah. Transaksi semakin sederhana antara peminjam dan pemberi pinjaman (lender).

Sayangnya, pelbagai persoalan pinjol yang mengemuka di publik menjadikan platform keuangan yang berbasis digital ini disorot. Apalagi, sejumlah kasus yang mencuat menjadikan platform tekfin dinilai justru meresahkan publik. Di titik ekstrem, di sejumlah kasus, menjadikan peminjam frustrasi dan memilih mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri.

 

Perbaikan Sistem

Keberadaan tekfin atau pinjol sejatinya dapat mempercepat inklusi keuangan di tengah-tengah masyarakat. Pinjol dalam praktiknya juga melakukan debirokratisasi dalam pembiayaan bagi masyarakat. Digitalisasi sektor keuangan dimaksudkan untuk memberi kemanfaatan bagi publik.

Namun, praktik yang menyimpang mudah dijumpai di pinjol. Bila diidentifikasi, persoalan dapat ditemukan dari hulu hingga hilir. Karena itu, dibutuhkan upaya kuat untuk membersihkan pinjol agar kembali kepada spirit awalnya, yakni memudahkan inklusi keuangan bagi masyarakat.

Pertama, perbaikan dan penegakan regulasi (legal substance). Identifikasi sejumlah persoalan dalam praktik pinjol, antara lain, mengenai besaran bunga dan denda dalam transaksi pinjol yang dinilai memberatkan konsumen.

Baca Juga :  Kebangkitan Covid-19 dan Pukulan Mematikan

Besaran bunga ini diatur dalam kode etik Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Dalam kode etik asosiasi disebutkan jumlah total bunga, biaya pinjaman, dan biaya lainnya, selain biaya keterlambatan, tidak boleh melebihi suku bunga flat 0,8 persen setiap hari. Termasuk biaya keterlambatan (dalam bentuk denda atau lainnya) tidak boleh melebihi 0,8 persen.

Penentuan besaran bunga tersebut menjadi otoritas industri dan masuk ruang hukum perdata antara peminjam dan pemberi pinjaman. Namun, melihat situasi dan kondisi ekonomi saat ini, besaran bunga dan biaya keterlambatan semestinya dapat ditinjau kembali.

Kedua, pengawasan dan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (legal structure). Aspek pengawasan dan penegakan hukum menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam upaya perbaikan sistem dalam pinjol. Berbagai peraturan hukum termasuk code of conduct yang mengikat anggota asosiasi, tak memiliki makna apa pun bila tidak terdapat pengawasan. Karena itu, penegakan etik harus simultan dengan penegakan aturan hukum.

Persoalan perilaku penagih utang (debt collector) juga kerap dikeluhkan peminjam. Cerita horor yang intimidatif sering dilekatkan dalam penagihan utang. Padahal, dalam kode etik asosiasi, telah diatur larangan penggunaan kekerasan fisik maupun mental kepada peminjam, kerabat, rekan, termasuk keluarganya.

Dalam konteks ini, regulator dan asosiasi harus memastikan praktik penagihan utang sesuai dengan kode etik. Keluhan para peminjam mengenai tindakan penagih utang dapat menjadi perhatian bagi regulator dan asosiasi untuk memastikan pengawasan di lapangan. Penyelenggara pinjol legal harus dipastikan tidak melakukan tindakan yang keluar dari kode etik, apalagi hukum.

Ketiga, edukasi dan sosialisasi. Salah satu masalah yang muncul dari praktik pinjol ini, pengetahuan masyarakat tentang pinjol belum paripurna. Mulai soal kontrak perjanjian hingga membedakan mana pinjol legal atau ilegal. Dalam konteks ini, edukasi dan sosialisasi menjadi hal yang semestinya dilakukan regulator, asosiasi, dan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya. Langkah ini akan melahirkan budaya hukum (legal culture) yang baik dalam layanan pinjol di tengah masyarakat.

Baca Juga :  Belajar Investasi dari Miliarder Tuban

Pinjol Ilegal

Masalah utama dalam industri tekfin ini tak lain soal keberadaan penyelenggara pinjol ilegal. Mereka tidak terdaftar dan tidak mendapat izin dari OJK. Penyelenggara pinjol model ini bekerja tanpa mengikuti aturan main negara maupun aturan etik asosiasi. Kelompok ini tak lain merupakan pinjol predator. Tak ada pilihan lain dalam menghadapi penyelenggara pinjol ilegal selain dengan melakukan tindakan represif. Ini sebagai implementasi penegakan hukum (law enforcement).

Data yang dirilis Satgas Waspada Investasi (SWI) hingga pertengahan Juli 2021 telah menutup 3.365 pinjol ilegal. Jika melihat data setiap tahun sejak 2018, keberadaan pinjol ilegal ini mengalami tren peningkatan dari tahun ke tahun. Seperti tahun 2018 sebanyak 404 pinjol ilegal, 2019 sebanyak 1.492 pinjol ilegal, 2020 sebanyak 1.026 pinjol ilegal, serta sebanyak 443 pinjol ilegal hingga pertengahan Juli lalu.

Tindakan penutupan pinjol ilegal seharusnya diikuti dengan tindakan hukum yang tegas kepada penyelenggara pinjol jenis ini. Tindakan hukum yang tegas ini merupakan wujud komitmen negara untuk melindungi warga negara dan memberi efek jera terhadap para pelaku.

Langkah lainnya, penyediaan peraturan perundang-undangan yang kompatibel dengan industri tekfin. Misalnya, RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang tahun ini masuk daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas semestinya dapat segera disahkan. Begitu juga, usulan RUU Teknologi Finansial (Tekfin) dapat menjadi masukan bagi law maker untuk menginisiasi keberadaan beleid ini.

Perang terhadap pinjol predator ini semestinya menjadi percakapan dan isu bersama (common issue). Tak ada pilihan selain negara harus bertindak tegas kepada para aktor di balik pinjol predator ini. Saatnya perbaikan sistem dan penegakan hukum serta etik kepada para pelanggar aturan sebagai bentuk politik hukum pemerintah dalam pemberantasan pinjol predator. (*)

KABAR kematian dengan cara bunuh diri yang dipicu frustrasi atas tagihan pinjaman online (pinjol) bermunculan di tengah masyarakat. Beberapa peristiwa muncul dari pelosok daerah seperti Jember (20/8), Bojonegoro (23/8), dan Wonogiri (2/10). Peristiwa memilukan ini menambah panjang daftar persoalan yang muncul akibat praktik industri financial technology atau teknologi finansial (tekfin) di Indonesia.

Sengkarut praktik pinjol di Indonesia ini ditandai mulai soal aksi penagih utang (debt collector) yang kerap menebar ancaman yang tak beradab, bunga yang melangit, hingga persoalan penyalahgunaan data pribadi. Di titik ini, pinjol bermetamorfosis menjadi lintah daring yang mengerikan bagi para peminjam (borrower).

Meski demikian, bila membuka data dari OJK, performa pinjol cukup baik. Seperti data hingga akhir Juni lalu, penyaluran kredit ke masyarakat telah menembus angka Rp 221,56 triliun yang disalurkan kepada 64,81 juta peminjam. Akses publik terhadap pembiayaan melalui tekfin kini jauh semakin mudah. Transaksi semakin sederhana antara peminjam dan pemberi pinjaman (lender).

Sayangnya, pelbagai persoalan pinjol yang mengemuka di publik menjadikan platform keuangan yang berbasis digital ini disorot. Apalagi, sejumlah kasus yang mencuat menjadikan platform tekfin dinilai justru meresahkan publik. Di titik ekstrem, di sejumlah kasus, menjadikan peminjam frustrasi dan memilih mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri.

 

Perbaikan Sistem

Keberadaan tekfin atau pinjol sejatinya dapat mempercepat inklusi keuangan di tengah-tengah masyarakat. Pinjol dalam praktiknya juga melakukan debirokratisasi dalam pembiayaan bagi masyarakat. Digitalisasi sektor keuangan dimaksudkan untuk memberi kemanfaatan bagi publik.

Namun, praktik yang menyimpang mudah dijumpai di pinjol. Bila diidentifikasi, persoalan dapat ditemukan dari hulu hingga hilir. Karena itu, dibutuhkan upaya kuat untuk membersihkan pinjol agar kembali kepada spirit awalnya, yakni memudahkan inklusi keuangan bagi masyarakat.

Pertama, perbaikan dan penegakan regulasi (legal substance). Identifikasi sejumlah persoalan dalam praktik pinjol, antara lain, mengenai besaran bunga dan denda dalam transaksi pinjol yang dinilai memberatkan konsumen.

Baca Juga :  Kebangkitan Covid-19 dan Pukulan Mematikan

Besaran bunga ini diatur dalam kode etik Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Dalam kode etik asosiasi disebutkan jumlah total bunga, biaya pinjaman, dan biaya lainnya, selain biaya keterlambatan, tidak boleh melebihi suku bunga flat 0,8 persen setiap hari. Termasuk biaya keterlambatan (dalam bentuk denda atau lainnya) tidak boleh melebihi 0,8 persen.

Penentuan besaran bunga tersebut menjadi otoritas industri dan masuk ruang hukum perdata antara peminjam dan pemberi pinjaman. Namun, melihat situasi dan kondisi ekonomi saat ini, besaran bunga dan biaya keterlambatan semestinya dapat ditinjau kembali.

Kedua, pengawasan dan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (legal structure). Aspek pengawasan dan penegakan hukum menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam upaya perbaikan sistem dalam pinjol. Berbagai peraturan hukum termasuk code of conduct yang mengikat anggota asosiasi, tak memiliki makna apa pun bila tidak terdapat pengawasan. Karena itu, penegakan etik harus simultan dengan penegakan aturan hukum.

Persoalan perilaku penagih utang (debt collector) juga kerap dikeluhkan peminjam. Cerita horor yang intimidatif sering dilekatkan dalam penagihan utang. Padahal, dalam kode etik asosiasi, telah diatur larangan penggunaan kekerasan fisik maupun mental kepada peminjam, kerabat, rekan, termasuk keluarganya.

Dalam konteks ini, regulator dan asosiasi harus memastikan praktik penagihan utang sesuai dengan kode etik. Keluhan para peminjam mengenai tindakan penagih utang dapat menjadi perhatian bagi regulator dan asosiasi untuk memastikan pengawasan di lapangan. Penyelenggara pinjol legal harus dipastikan tidak melakukan tindakan yang keluar dari kode etik, apalagi hukum.

Ketiga, edukasi dan sosialisasi. Salah satu masalah yang muncul dari praktik pinjol ini, pengetahuan masyarakat tentang pinjol belum paripurna. Mulai soal kontrak perjanjian hingga membedakan mana pinjol legal atau ilegal. Dalam konteks ini, edukasi dan sosialisasi menjadi hal yang semestinya dilakukan regulator, asosiasi, dan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya. Langkah ini akan melahirkan budaya hukum (legal culture) yang baik dalam layanan pinjol di tengah masyarakat.

Baca Juga :  Belajar Investasi dari Miliarder Tuban

Pinjol Ilegal

Masalah utama dalam industri tekfin ini tak lain soal keberadaan penyelenggara pinjol ilegal. Mereka tidak terdaftar dan tidak mendapat izin dari OJK. Penyelenggara pinjol model ini bekerja tanpa mengikuti aturan main negara maupun aturan etik asosiasi. Kelompok ini tak lain merupakan pinjol predator. Tak ada pilihan lain dalam menghadapi penyelenggara pinjol ilegal selain dengan melakukan tindakan represif. Ini sebagai implementasi penegakan hukum (law enforcement).

Data yang dirilis Satgas Waspada Investasi (SWI) hingga pertengahan Juli 2021 telah menutup 3.365 pinjol ilegal. Jika melihat data setiap tahun sejak 2018, keberadaan pinjol ilegal ini mengalami tren peningkatan dari tahun ke tahun. Seperti tahun 2018 sebanyak 404 pinjol ilegal, 2019 sebanyak 1.492 pinjol ilegal, 2020 sebanyak 1.026 pinjol ilegal, serta sebanyak 443 pinjol ilegal hingga pertengahan Juli lalu.

Tindakan penutupan pinjol ilegal seharusnya diikuti dengan tindakan hukum yang tegas kepada penyelenggara pinjol jenis ini. Tindakan hukum yang tegas ini merupakan wujud komitmen negara untuk melindungi warga negara dan memberi efek jera terhadap para pelaku.

Langkah lainnya, penyediaan peraturan perundang-undangan yang kompatibel dengan industri tekfin. Misalnya, RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang tahun ini masuk daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas semestinya dapat segera disahkan. Begitu juga, usulan RUU Teknologi Finansial (Tekfin) dapat menjadi masukan bagi law maker untuk menginisiasi keberadaan beleid ini.

Perang terhadap pinjol predator ini semestinya menjadi percakapan dan isu bersama (common issue). Tak ada pilihan selain negara harus bertindak tegas kepada para aktor di balik pinjol predator ini. Saatnya perbaikan sistem dan penegakan hukum serta etik kepada para pelanggar aturan sebagai bentuk politik hukum pemerintah dalam pemberantasan pinjol predator. (*)

Terpopuler

Artikel Terbaru