26.1 C
Jakarta
Wednesday, May 14, 2025

Mencegah Perundungan sejak Dini

TERKUAKNYA perundungan yang dialami MS, pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, menyadarkan bahwa peristiwa perundungan bisa terjadi di mana saja. Termasuk di lembaga negara. Kejadian tersebut juga mematahkan mitos bahwa korban perundungan hanya perempuan dan anak-anak. MS adalah lelaki dewasa yang sudah bekerja, berkeluarga, dan memiliki anak. Perundungan bisa terjadi pada siapa saja. Tidak memandang usia dan jenis kelamin.

Perundungan merupakan tindakan intimidasi dan agresif yang dilakukan secara sengaja dan berulang oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk melukai korban secara fisik maupun emosional (Coloroso, 2017).

Ada beragam bentuk perundungan yang dilakukan pelaku. Yaitu, secara fisik, verbal, relasional, seksual, dan perundungan siber (cyberbullying). Tidak jarang pelaku melakukan berbagai perundungan sekaligus kepada korban.

Perundungan yang dilakukan pelaku cenderung berulang dan berlangsung lama. MS dalam pengakuannya mengalami perundungan sejak masuk kerja di KPI pada 2011. Puncaknya pada 2015, saat berada di ruang kerjanya, dia mengalami perundungan dan pelecehan seksual. Secara beramai-ramai dia disiksa, dihina, dilecehkan, dan ditelanjangi. Parahnya, pelaku juga mencoret-coret alat kelamin korban dengan spidol (Jawa Pos, 5/9/2021). Tak cukup sampai di situ, peristiwa tersebut juga didokumentasikan para pelaku.

Dampak perundungan begitu luar biasa bagi korban. Bukan hanya fisik, melainkan juga emosional, perubahan perilaku, penurunan motivasi, dan keengganan berinteraksi secara sosial. Dapat dibayangkan betapa berat beban yang dipikul korban.

Apa yang dialami MS membuktikan hal tersebut. Peristiwa yang terjadi secara berkepanjangan mengakibatkan dampak serius secara fisik dan psikis. Pada 2017, ketika MS melakukan endoskopi, hasil diagnosis dokter menunjukkan bahwa MS mengalami hipersekresi cairan lambung akibat trauma dan stres.

Baca Juga :  Ramadan: Antara Covid-19 dan Puasa Hoaks

Dengan dampak yang ditimbulkan, korban perundungan berhak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Aparat harus menindak tegas para pelaku. Yang tidak kalah penting, korban juga membutuhkan pemulihan trauma psikis.

Dalam lingkaran perundungan, pelaku utama biasanya disokong pengikut (ikut-ikutan, bukan yang memulai), perundung pasif (ikut menertawakan, tetapi tidak ikut mengejek), perundung potensial (menyukai perundungan, tetapi tidak menunjukkan dukungan apa pun), dan bystander atau penonton (orang yang melihat perundungan, tetapi tidak mau terlibat).

 

Banyaknya pihak yang terlibat di belakang pelaku utama perundungan membuat korban merasa sendirian. Berbagai ancaman dan intimidasi terus-menerus yang dilakukan pelaku semakin menekan kondisi korban. Termasuk takut menyuarakan kondisi yang dialaminya kepada orang lain.

Apalagi jika kemudian orang-orang terdekat yang sebenarnya mengetahui peristiwa tersebut cenderung diam dan menganggap perundungan sebagai hal biasa. Sikap menoleransi perilaku perundungan dengan mengelu-elukan pelaku semakin menguatkan kesan bahwa korban mengalami pembiaran dari lingkungan sekitar.

Perilaku perundungan bagi pelaku seperti candu. Perilaku tersebut akan terus dilakukan jika tidak ada pihak yang mengambil peran untuk mengingatkan, menyadarkan, dan melakukan pencegahan. Karena itu, upaya pencegahan perundungan perlu dilakukan sejak dini. Pemahaman tersebut secara potensial dapat dilakukan melalui ekosistem pendidikan. Relasi murid dalam lingkungan sekolah merupakan cermin masyarakat di masa depan.

Menurut PISA (2018), sekitar 41 persen murid di Indonesia berusia 15 tahun pernah mengalami perundungan di sekolah. Kondisi ini jika tidak ditangani sejak dini akan menjadi budaya negatif yang terus berlangsung sampai kelak mereka dewasa atau sudah bekerja.

Pemerintah telah menetapkan prioritas perlindungan melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Guru, murid, dan orang tua dapat terlibat dalam upaya mencegah dan menangani kekerasan di sekolah sehingga tercipta kondisi yang aman dan nyaman bagi anak untuk belajar.

Baca Juga :  Guru, Literasi Sains, dan Merdeka Belajar Pasca Covid-19

Pelibatan murid sebagai agen perubahan di sekolah menjadi strategi untuk memutus mata rantai perilaku perundungan. Misalnya, melalui program Roots Indonesia, yaitu program pencegahan perundungan dan kekerasan berbasis sekolah. Seluruh komponen sekolah dapat berperan aktif untuk melakukan pencegahan dan memberikan perlindungan bagi korban.

Murid diajak berpartisipasi dan diberi ruang kreatif dengan cara mereka sendiri mengenai langkah positif untuk mencegah perundungan. Mereka dapat berdiskusi dan menyampaikan pesan anti perundungan melalui media sosial. Termasuk langkah positif apa saja yang perlu mereka lakukan jika melihat perilaku perundungan.

Berdasar pelaksanaan program uji coba Roots oleh Unicef dan mitra di Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah, terjadi penurunan konflik antarmurid di sekolah. Dalam satu tahun pelaksanaan, sekolah yang berpartisipasi dalam program Roots Indonesia mengalami pengurangan 30 persen kasus konflik yang melibatkan murid di sekolah (Puspeka Kemendikbudristek, 2021).

Perubahan yang terjadi semakin menguatkan bahwa murid dapat memberikan pengaruh positif yang lebih pada ekosistem pendidikan dan nilai-nilai yang diyakini sebagai norma sosial. Diharapkan kelak ketika berperan dalam bidang apa saja mereka mampu menjadi jembatan untuk menaburkan nilai-nilai penghormatan dan kemanusiaan tanpa merendahkan yang lain.

Sejak dini harus ditanamkan bahwa perundungan merupakan perilaku yang merendahkan kemanusiaan. Sudah saatnya kita mengubah perilaku yang sebelumnya mengabaikan, menerima, dan menoleransi berbagai bentuk perundungan ke arah perilaku positif yang mencegah perundungan di sekitar kita. (*)

 

ABDUL MAJID HARIADI, Guru di SMK Negeri 1 Sidoarjo dan menjadi fasilitator anti perundungan ekosistem pendidikan jenjang SMK

TERKUAKNYA perundungan yang dialami MS, pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, menyadarkan bahwa peristiwa perundungan bisa terjadi di mana saja. Termasuk di lembaga negara. Kejadian tersebut juga mematahkan mitos bahwa korban perundungan hanya perempuan dan anak-anak. MS adalah lelaki dewasa yang sudah bekerja, berkeluarga, dan memiliki anak. Perundungan bisa terjadi pada siapa saja. Tidak memandang usia dan jenis kelamin.

Perundungan merupakan tindakan intimidasi dan agresif yang dilakukan secara sengaja dan berulang oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk melukai korban secara fisik maupun emosional (Coloroso, 2017).

Ada beragam bentuk perundungan yang dilakukan pelaku. Yaitu, secara fisik, verbal, relasional, seksual, dan perundungan siber (cyberbullying). Tidak jarang pelaku melakukan berbagai perundungan sekaligus kepada korban.

Perundungan yang dilakukan pelaku cenderung berulang dan berlangsung lama. MS dalam pengakuannya mengalami perundungan sejak masuk kerja di KPI pada 2011. Puncaknya pada 2015, saat berada di ruang kerjanya, dia mengalami perundungan dan pelecehan seksual. Secara beramai-ramai dia disiksa, dihina, dilecehkan, dan ditelanjangi. Parahnya, pelaku juga mencoret-coret alat kelamin korban dengan spidol (Jawa Pos, 5/9/2021). Tak cukup sampai di situ, peristiwa tersebut juga didokumentasikan para pelaku.

Dampak perundungan begitu luar biasa bagi korban. Bukan hanya fisik, melainkan juga emosional, perubahan perilaku, penurunan motivasi, dan keengganan berinteraksi secara sosial. Dapat dibayangkan betapa berat beban yang dipikul korban.

Apa yang dialami MS membuktikan hal tersebut. Peristiwa yang terjadi secara berkepanjangan mengakibatkan dampak serius secara fisik dan psikis. Pada 2017, ketika MS melakukan endoskopi, hasil diagnosis dokter menunjukkan bahwa MS mengalami hipersekresi cairan lambung akibat trauma dan stres.

Baca Juga :  Ramadan: Antara Covid-19 dan Puasa Hoaks

Dengan dampak yang ditimbulkan, korban perundungan berhak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Aparat harus menindak tegas para pelaku. Yang tidak kalah penting, korban juga membutuhkan pemulihan trauma psikis.

Dalam lingkaran perundungan, pelaku utama biasanya disokong pengikut (ikut-ikutan, bukan yang memulai), perundung pasif (ikut menertawakan, tetapi tidak ikut mengejek), perundung potensial (menyukai perundungan, tetapi tidak menunjukkan dukungan apa pun), dan bystander atau penonton (orang yang melihat perundungan, tetapi tidak mau terlibat).

 

Banyaknya pihak yang terlibat di belakang pelaku utama perundungan membuat korban merasa sendirian. Berbagai ancaman dan intimidasi terus-menerus yang dilakukan pelaku semakin menekan kondisi korban. Termasuk takut menyuarakan kondisi yang dialaminya kepada orang lain.

Apalagi jika kemudian orang-orang terdekat yang sebenarnya mengetahui peristiwa tersebut cenderung diam dan menganggap perundungan sebagai hal biasa. Sikap menoleransi perilaku perundungan dengan mengelu-elukan pelaku semakin menguatkan kesan bahwa korban mengalami pembiaran dari lingkungan sekitar.

Perilaku perundungan bagi pelaku seperti candu. Perilaku tersebut akan terus dilakukan jika tidak ada pihak yang mengambil peran untuk mengingatkan, menyadarkan, dan melakukan pencegahan. Karena itu, upaya pencegahan perundungan perlu dilakukan sejak dini. Pemahaman tersebut secara potensial dapat dilakukan melalui ekosistem pendidikan. Relasi murid dalam lingkungan sekolah merupakan cermin masyarakat di masa depan.

Menurut PISA (2018), sekitar 41 persen murid di Indonesia berusia 15 tahun pernah mengalami perundungan di sekolah. Kondisi ini jika tidak ditangani sejak dini akan menjadi budaya negatif yang terus berlangsung sampai kelak mereka dewasa atau sudah bekerja.

Pemerintah telah menetapkan prioritas perlindungan melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Guru, murid, dan orang tua dapat terlibat dalam upaya mencegah dan menangani kekerasan di sekolah sehingga tercipta kondisi yang aman dan nyaman bagi anak untuk belajar.

Baca Juga :  Guru, Literasi Sains, dan Merdeka Belajar Pasca Covid-19

Pelibatan murid sebagai agen perubahan di sekolah menjadi strategi untuk memutus mata rantai perilaku perundungan. Misalnya, melalui program Roots Indonesia, yaitu program pencegahan perundungan dan kekerasan berbasis sekolah. Seluruh komponen sekolah dapat berperan aktif untuk melakukan pencegahan dan memberikan perlindungan bagi korban.

Murid diajak berpartisipasi dan diberi ruang kreatif dengan cara mereka sendiri mengenai langkah positif untuk mencegah perundungan. Mereka dapat berdiskusi dan menyampaikan pesan anti perundungan melalui media sosial. Termasuk langkah positif apa saja yang perlu mereka lakukan jika melihat perilaku perundungan.

Berdasar pelaksanaan program uji coba Roots oleh Unicef dan mitra di Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah, terjadi penurunan konflik antarmurid di sekolah. Dalam satu tahun pelaksanaan, sekolah yang berpartisipasi dalam program Roots Indonesia mengalami pengurangan 30 persen kasus konflik yang melibatkan murid di sekolah (Puspeka Kemendikbudristek, 2021).

Perubahan yang terjadi semakin menguatkan bahwa murid dapat memberikan pengaruh positif yang lebih pada ekosistem pendidikan dan nilai-nilai yang diyakini sebagai norma sosial. Diharapkan kelak ketika berperan dalam bidang apa saja mereka mampu menjadi jembatan untuk menaburkan nilai-nilai penghormatan dan kemanusiaan tanpa merendahkan yang lain.

Sejak dini harus ditanamkan bahwa perundungan merupakan perilaku yang merendahkan kemanusiaan. Sudah saatnya kita mengubah perilaku yang sebelumnya mengabaikan, menerima, dan menoleransi berbagai bentuk perundungan ke arah perilaku positif yang mencegah perundungan di sekitar kita. (*)

 

ABDUL MAJID HARIADI, Guru di SMK Negeri 1 Sidoarjo dan menjadi fasilitator anti perundungan ekosistem pendidikan jenjang SMK

Terpopuler

Artikel Terbaru