33.1 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Bukan Veteran

Ibuku adalah anak ragil kakek dari empat bersaudara. Yang dalam rembug keluarga, katanya ibu kebagian menjaga kakek. Bahkan setelah ibu menikah pun harus tetap tinggal bersama kakek.

SEMENTARA ketiga saudara laki-laki ibu pergi merantau yang akhirnya berumah-tangga lalu tinggal di tiga kota yang berbeda. Dengan begitu secara tidak langsung, aku yang merupakan satu-satunya anak dari bapak dan ibu, lebih bisa dekat dengan kakek dibandingkan dengan cucu-cucu kakek yang lain. Hal itulah pengantar untuk sampai kepada alasan, mengapa aku ingin bercerita perihal kakek.

Kerena alasan kedekatan itulah, aku meyakini ada sesuatu sedang terjadi pada kakek. Aku merasa sikap kakek akhir-akhir ini tidak seperti biasanya. Kakek sekarang lebih banyak diam, bahkan kakek jarang sekali bercerita tentang peristiwa di masa perjuangan, yang aku tahu hal itu sesungguhnya merupakan kegemaran kakek.

Kakek memang sudah sering sakit-sakitan, tetapi aku merasa perubahan kakek bukan karena hal itu. Karena satahuku meski kakek dalam keadaan sakit, tak akan menyurutkan kegemaran kakek untuk bercerita tentang masa perjuangan dulu.

Aku sempat berpikir, apakah perubahan kakek itu karena sikapku selama ini yang terkesan tak memedulikannya ? Tapi nyatanya sikap kakek terhadapku tidak berubah, bahkan aku merasa sekarang justru ada kesan lebih akrab. Karenanya aku sempat memberanikan diri bertanya, jawaban kakek juga bernada biasa saja.

“Sedang tidak ingin,” sahut kakek datar.

Sejak itulah aku mulai memikirkan sesuatu yang sekiranya bisa menjadi penyebab perubahan kakek. Hingga di sebuah pagi yang mendung, aku mendapati kakek berbincang dengan lelaki tua yang seusia dengan kakek. Peristiwa itu terjadi di depan rumah. Dan aku melihatnya lewat jendela kamar. Namun aku tidak meyakini hal itu yang menjadi penyebabnya, karena sikap lelaki itu bukan sebuah sikap yang buruk. Bahkan ketika pertemuan itu terjadi aku sempat mendengar beberapa kali tawa mereka. Hanya saja aku mengatakan hal itu karena seingatku perubahan kakek terjadi pada hari esoknya.

Kembali kepada kegemaran kakek, yang sesungguhnya hal itu justru sering membuatku jengkel, karena begitu kakek sudah mulai bercerita, aku harus mendengarkan jika tidak ingin aku kena marahnya, yang karena itu aku menduga kakek sangat perasa. Pernah suatu kali, saat kakek bercerita, aku pergi begitu saja karena ada urusan, kakek langsung marah-marah. Marah kakek sampai nangis segala. Menganggapku cucu yang tidak menghormati orang tua. Di lain waktu aku, meski aku sudah minta izin dulu sebelum pergi, tetap saja kakek tidak mau terima. Sikap seperti itu sungguh membuatku kewalahan.

Cerita kakek memang berkaitan dengan sejarah. Namun karena aku juga mengerti tentang sejarah, maka aku bisa tahu beberapa bagian cerita kakek tidak benar. Cerita kakek sering terbalik-balik, bahkan beberapa kali kakek menyebutkan kemunculan tokoh pahlawan yang tidak sesuai dengan era di mana tokoh itu berperan.

Baca Juga :  Kita yang Merumahkan Cemas

Karena itulah kadang aku hanya sekadar duduk di dekatnya tanpa bermaksud benar-benar mendengarnya. Ternyata kakek menyadari hal itu hingga kakek marah besar, bahkan sempat mengataiku sebagai pemuda yang tidak mau menghargai sejarah. Akhirnya tidak ada jalan lain, selama kakek bercerita, aku harus selalu di dekatnya untuk mendengarkannya.

Hal itulah yang biasa terjadi, dan sekarang tidak lagi. Bisa saja aku menganggapnya hal itu tidak masalah bahkan bisa jadi bagiku justru hal yang menyenangkan karena aku tidak harus duduk berlama-lama di dekat kakek sekadar untuk mendengarkannya.

Namun sayangnya hilangnya kebiasaan kakek itu seiring juga dengan perubahan perangai kakek. Sesungguhnya sekarang kakek tidak hanya cenderung diam, melainkan hari-harinya juga terlihat tidak bersemangat seperti dulu. Terlebih bila menjelang perayaan hari kemerdekaan Indonesia, tiada hari yang terlewati dengan cerita heroik di masa perjuangannya dulu.

Jika kakek benar-benar seorang veteran, mungkin tanggapanku terhadap cerita kakek atau sikap kakek selama ini bisa berbeda, karena di dalam diri kakek ada semacam bukti bahwa kakek memang seorang pejuang. Seperti apa yang terjadi pada kakek temanku yang tinggalnya di desa sebelah.

Kakek temanku itu benar-benar seorang veteran, yang setiap tahun selalu diundang Bupati untuk ikut menghadiri upacara 17 Agustus di alun-alun kabupaten. Selain itu, katanya sehabis kakeknya mengikuti upacara akan mendapatkan amplop berisi uang sebagai tunjangan tahunan atas pengorbanan yang telah mereka berikan dulu.

Temanku itu pernah bercerita, jika sudah memasuki bulan Agustus, kakeknya akan sibuk menyiapkan segala macam yang ada hubungannya dengan ritual tahunan tersebut. Jika kakeknya sudah sibuk, bisa tidak hirau dengan orang di sekitar. Kakeknya akan mulai mencari seragam tentara dan sepatunya yang terkadang sudah lupa di mana menaruhnya. Katanya, temanku itu kebagian yang harus menyiapkannya dan Agustus memang menjadi masanya bersuka bagi kakeknya sehubungan dengan status sebagai veteran perang kemerdekaan.

Namun pada kenyataannya, kakekku bukan seorang veteran dan hal itulah yang sedikit membuatku tidak berkenan ketika kakek ikut-ikut berlaku selayaknya seorang veteran. Bahkan aku pernah menanyakan hal itu kepada ibu, tapi jawaban ibu tidak benar-benar memberi jawaban atas apa yang kutanyakan.

Ibu hanya mengatakan bahwa seharusnya aku tak perlu mempermasalahkan kegemaran kakek bercerita tentang masa perjuangan.

“Orang biasa juga berhak cerita tentang masa itu,” tambah ibu.

Penyataan ibu memang tidak salah, tetapi maksudku jika kakek tidak berlagak begitu, tentu tidak akan mendapat perundungan dari warga desa. Terlebih dari orang-orang yang pada dasarnya sudah punya bibit rasa tidak suka.

Namun ketika aku pernah memberanikan diri untuk menyampaikan apa yang kupikirkan itu kepada kakek, justru kakek lagi-lagi memarahiku. Marah kakek memang tidak meledak-ledak, tapi akan berbentuk sindiran-sindiran yang jika aku mendengarnya bisa membuat telingaku meradang, seperti misalnya kakek pernah menyebutku sebagai pemuda yang anti sosial. Ah, kakek. Ada-ada saja.

Baca Juga :  Penggalian Nusa Kapal

Hari ini tanggal 17 Agustus, serasa beda di rumah ini. Tentu saja kesan beda itu terletak pada kakek yang senyatanya memang sudah berbeda sejak beberapa hari lalu. Kakek yang sudah tidak pernah lagi cerita tentang kisah perjuangannya dulu. Hari ini pun kakek begitu, bahkan sedari pagi hingga menjelang siang kakek hanya duduk sendiri di teras rumah sembari pandangannya lurus ke jalan, tapi sesungguhnya tidak memperhatikannya.

Hanya semacam pandangan kosong. Hal itu terbukti ketika setiap kali ada beberapa tetangga yang menyapa, kakek seperti kaget. Ingin rasanya menemani kakek dan memintanya untuk kembali bercerita, dan jika kakek berkenan mengabulkan permintaanku, aku berjanji akan memperhatikan ceritanya dengan sepenuh hati, bahkan tak peduli andai cerita itu hanya bualan saja. Aku hanya ingin melihat kakek genbira seperti semula.

Ketika keinginanku sudah tak bisa kutahan, akhirnya aku putuskan bertekad akan menemui kakek di teras. Ketika aku telah di dekatnya nanti, aku akan langsung bilang pada kakek, aku ingin kakek bercerita tentang perjuangannya terbebas dari kepungan musuh waktu itu.

Namun, ketika aku baru membuka pintu rumah depan, aku melihat ada orang yang datang memasuki halaman rumah. Aku memperhatikan orang itu saksama. Ingatanku tertuju pada orang yang dulu pernah berbincang dengan kakek di depan rumah. Melihat hal itu aku kembali masuk dan memperhatikan mereka dari balik nako.

Oh, aku baru meyadari, ternyata lelaki tua itu seorang veteran, tampak dari seragamnya dan atribut yang dipakai. Memang, masih tampak gagah, terlebih dengan seragam hijaunya itu.

Kulihat sambutan kakek biasanya saja, maksudku biasa, tidak menunjukkan ada sesuatu masalah di antara mereka. Setelah saling basa-basi, aku sengaja menajamkan pendengaran. Aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Setelah terjadi obrolan beberapa waktu kemudian, akhirnya aku menyimpulkan tidak ada sesuatu yang membantu menjawab penasaranku tentang perubahan kakek. Dari yang sempat aku dengar, lelaki itu baru saja pindah ke desa ini, yang sebelumnya tinggal bersama anaknya yang merantau di luar pulau.

Dulu dia teman kakek sewaktu muda. Lelaki itu usai mengikuti upacara 17 di alun-alun, dan sebelum pulang dia memang bermaksud mampir untuk bertemu dengan kakek. Karena merasa tidak mendapat apa yang menjadi keinginanku, aku beranjak pergi dari balik jendela. Namun baru satu langkah menjauh, aku penasaran dengan ucapan lelaki tua berseragam itu. “Terima kasih, jika bukan karena kamu pastinya aku sudah mampus waktu itu.” (*)

(YUDITEHA. Pegiat Komunitas Sastra Kamar Kata Karanganyar. Telah menerbitkan 17 buku. Buku terbarunya Sejarah Nyeri (Kumcer, Marjin Kiri, 2020) dan Tanah Letung (Kumcer, Nomina, 2020))

Ibuku adalah anak ragil kakek dari empat bersaudara. Yang dalam rembug keluarga, katanya ibu kebagian menjaga kakek. Bahkan setelah ibu menikah pun harus tetap tinggal bersama kakek.

SEMENTARA ketiga saudara laki-laki ibu pergi merantau yang akhirnya berumah-tangga lalu tinggal di tiga kota yang berbeda. Dengan begitu secara tidak langsung, aku yang merupakan satu-satunya anak dari bapak dan ibu, lebih bisa dekat dengan kakek dibandingkan dengan cucu-cucu kakek yang lain. Hal itulah pengantar untuk sampai kepada alasan, mengapa aku ingin bercerita perihal kakek.

Kerena alasan kedekatan itulah, aku meyakini ada sesuatu sedang terjadi pada kakek. Aku merasa sikap kakek akhir-akhir ini tidak seperti biasanya. Kakek sekarang lebih banyak diam, bahkan kakek jarang sekali bercerita tentang peristiwa di masa perjuangan, yang aku tahu hal itu sesungguhnya merupakan kegemaran kakek.

Kakek memang sudah sering sakit-sakitan, tetapi aku merasa perubahan kakek bukan karena hal itu. Karena satahuku meski kakek dalam keadaan sakit, tak akan menyurutkan kegemaran kakek untuk bercerita tentang masa perjuangan dulu.

Aku sempat berpikir, apakah perubahan kakek itu karena sikapku selama ini yang terkesan tak memedulikannya ? Tapi nyatanya sikap kakek terhadapku tidak berubah, bahkan aku merasa sekarang justru ada kesan lebih akrab. Karenanya aku sempat memberanikan diri bertanya, jawaban kakek juga bernada biasa saja.

“Sedang tidak ingin,” sahut kakek datar.

Sejak itulah aku mulai memikirkan sesuatu yang sekiranya bisa menjadi penyebab perubahan kakek. Hingga di sebuah pagi yang mendung, aku mendapati kakek berbincang dengan lelaki tua yang seusia dengan kakek. Peristiwa itu terjadi di depan rumah. Dan aku melihatnya lewat jendela kamar. Namun aku tidak meyakini hal itu yang menjadi penyebabnya, karena sikap lelaki itu bukan sebuah sikap yang buruk. Bahkan ketika pertemuan itu terjadi aku sempat mendengar beberapa kali tawa mereka. Hanya saja aku mengatakan hal itu karena seingatku perubahan kakek terjadi pada hari esoknya.

Kembali kepada kegemaran kakek, yang sesungguhnya hal itu justru sering membuatku jengkel, karena begitu kakek sudah mulai bercerita, aku harus mendengarkan jika tidak ingin aku kena marahnya, yang karena itu aku menduga kakek sangat perasa. Pernah suatu kali, saat kakek bercerita, aku pergi begitu saja karena ada urusan, kakek langsung marah-marah. Marah kakek sampai nangis segala. Menganggapku cucu yang tidak menghormati orang tua. Di lain waktu aku, meski aku sudah minta izin dulu sebelum pergi, tetap saja kakek tidak mau terima. Sikap seperti itu sungguh membuatku kewalahan.

Cerita kakek memang berkaitan dengan sejarah. Namun karena aku juga mengerti tentang sejarah, maka aku bisa tahu beberapa bagian cerita kakek tidak benar. Cerita kakek sering terbalik-balik, bahkan beberapa kali kakek menyebutkan kemunculan tokoh pahlawan yang tidak sesuai dengan era di mana tokoh itu berperan.

Baca Juga :  Kita yang Merumahkan Cemas

Karena itulah kadang aku hanya sekadar duduk di dekatnya tanpa bermaksud benar-benar mendengarnya. Ternyata kakek menyadari hal itu hingga kakek marah besar, bahkan sempat mengataiku sebagai pemuda yang tidak mau menghargai sejarah. Akhirnya tidak ada jalan lain, selama kakek bercerita, aku harus selalu di dekatnya untuk mendengarkannya.

Hal itulah yang biasa terjadi, dan sekarang tidak lagi. Bisa saja aku menganggapnya hal itu tidak masalah bahkan bisa jadi bagiku justru hal yang menyenangkan karena aku tidak harus duduk berlama-lama di dekat kakek sekadar untuk mendengarkannya.

Namun sayangnya hilangnya kebiasaan kakek itu seiring juga dengan perubahan perangai kakek. Sesungguhnya sekarang kakek tidak hanya cenderung diam, melainkan hari-harinya juga terlihat tidak bersemangat seperti dulu. Terlebih bila menjelang perayaan hari kemerdekaan Indonesia, tiada hari yang terlewati dengan cerita heroik di masa perjuangannya dulu.

Jika kakek benar-benar seorang veteran, mungkin tanggapanku terhadap cerita kakek atau sikap kakek selama ini bisa berbeda, karena di dalam diri kakek ada semacam bukti bahwa kakek memang seorang pejuang. Seperti apa yang terjadi pada kakek temanku yang tinggalnya di desa sebelah.

Kakek temanku itu benar-benar seorang veteran, yang setiap tahun selalu diundang Bupati untuk ikut menghadiri upacara 17 Agustus di alun-alun kabupaten. Selain itu, katanya sehabis kakeknya mengikuti upacara akan mendapatkan amplop berisi uang sebagai tunjangan tahunan atas pengorbanan yang telah mereka berikan dulu.

Temanku itu pernah bercerita, jika sudah memasuki bulan Agustus, kakeknya akan sibuk menyiapkan segala macam yang ada hubungannya dengan ritual tahunan tersebut. Jika kakeknya sudah sibuk, bisa tidak hirau dengan orang di sekitar. Kakeknya akan mulai mencari seragam tentara dan sepatunya yang terkadang sudah lupa di mana menaruhnya. Katanya, temanku itu kebagian yang harus menyiapkannya dan Agustus memang menjadi masanya bersuka bagi kakeknya sehubungan dengan status sebagai veteran perang kemerdekaan.

Namun pada kenyataannya, kakekku bukan seorang veteran dan hal itulah yang sedikit membuatku tidak berkenan ketika kakek ikut-ikut berlaku selayaknya seorang veteran. Bahkan aku pernah menanyakan hal itu kepada ibu, tapi jawaban ibu tidak benar-benar memberi jawaban atas apa yang kutanyakan.

Ibu hanya mengatakan bahwa seharusnya aku tak perlu mempermasalahkan kegemaran kakek bercerita tentang masa perjuangan.

“Orang biasa juga berhak cerita tentang masa itu,” tambah ibu.

Penyataan ibu memang tidak salah, tetapi maksudku jika kakek tidak berlagak begitu, tentu tidak akan mendapat perundungan dari warga desa. Terlebih dari orang-orang yang pada dasarnya sudah punya bibit rasa tidak suka.

Namun ketika aku pernah memberanikan diri untuk menyampaikan apa yang kupikirkan itu kepada kakek, justru kakek lagi-lagi memarahiku. Marah kakek memang tidak meledak-ledak, tapi akan berbentuk sindiran-sindiran yang jika aku mendengarnya bisa membuat telingaku meradang, seperti misalnya kakek pernah menyebutku sebagai pemuda yang anti sosial. Ah, kakek. Ada-ada saja.

Baca Juga :  Penggalian Nusa Kapal

Hari ini tanggal 17 Agustus, serasa beda di rumah ini. Tentu saja kesan beda itu terletak pada kakek yang senyatanya memang sudah berbeda sejak beberapa hari lalu. Kakek yang sudah tidak pernah lagi cerita tentang kisah perjuangannya dulu. Hari ini pun kakek begitu, bahkan sedari pagi hingga menjelang siang kakek hanya duduk sendiri di teras rumah sembari pandangannya lurus ke jalan, tapi sesungguhnya tidak memperhatikannya.

Hanya semacam pandangan kosong. Hal itu terbukti ketika setiap kali ada beberapa tetangga yang menyapa, kakek seperti kaget. Ingin rasanya menemani kakek dan memintanya untuk kembali bercerita, dan jika kakek berkenan mengabulkan permintaanku, aku berjanji akan memperhatikan ceritanya dengan sepenuh hati, bahkan tak peduli andai cerita itu hanya bualan saja. Aku hanya ingin melihat kakek genbira seperti semula.

Ketika keinginanku sudah tak bisa kutahan, akhirnya aku putuskan bertekad akan menemui kakek di teras. Ketika aku telah di dekatnya nanti, aku akan langsung bilang pada kakek, aku ingin kakek bercerita tentang perjuangannya terbebas dari kepungan musuh waktu itu.

Namun, ketika aku baru membuka pintu rumah depan, aku melihat ada orang yang datang memasuki halaman rumah. Aku memperhatikan orang itu saksama. Ingatanku tertuju pada orang yang dulu pernah berbincang dengan kakek di depan rumah. Melihat hal itu aku kembali masuk dan memperhatikan mereka dari balik nako.

Oh, aku baru meyadari, ternyata lelaki tua itu seorang veteran, tampak dari seragamnya dan atribut yang dipakai. Memang, masih tampak gagah, terlebih dengan seragam hijaunya itu.

Kulihat sambutan kakek biasanya saja, maksudku biasa, tidak menunjukkan ada sesuatu masalah di antara mereka. Setelah saling basa-basi, aku sengaja menajamkan pendengaran. Aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Setelah terjadi obrolan beberapa waktu kemudian, akhirnya aku menyimpulkan tidak ada sesuatu yang membantu menjawab penasaranku tentang perubahan kakek. Dari yang sempat aku dengar, lelaki itu baru saja pindah ke desa ini, yang sebelumnya tinggal bersama anaknya yang merantau di luar pulau.

Dulu dia teman kakek sewaktu muda. Lelaki itu usai mengikuti upacara 17 di alun-alun, dan sebelum pulang dia memang bermaksud mampir untuk bertemu dengan kakek. Karena merasa tidak mendapat apa yang menjadi keinginanku, aku beranjak pergi dari balik jendela. Namun baru satu langkah menjauh, aku penasaran dengan ucapan lelaki tua berseragam itu. “Terima kasih, jika bukan karena kamu pastinya aku sudah mampus waktu itu.” (*)

(YUDITEHA. Pegiat Komunitas Sastra Kamar Kata Karanganyar. Telah menerbitkan 17 buku. Buku terbarunya Sejarah Nyeri (Kumcer, Marjin Kiri, 2020) dan Tanah Letung (Kumcer, Nomina, 2020))

Terpopuler

Artikel Terbaru