25.7 C
Jakarta
Saturday, March 15, 2025

Paket Ekonomi Syariah

SEKITAR
25
tahun pengembangan ekonomi dan keuangan syariah (EKS) telah berjalan dengan
hasil yang kurang menakjubkan. Kontribusi keuangan/perbankan syariah terhadap
sektor perbankan melaju dengan lamban. Baru beberapa tahun terakhir ini
terlihat cahaya kemajuan, baik dari segi instrumen ekonomi syariah yang didesain
maupun volume/unit usaha yang bertambah.

Pada awal 2021, terjadi penanda penting atas
kehadiran perbankan syariah, yakni merger tiga bank besar bank syariah menjadi
Bank Syariah Indonesia (BSI). Secara kuantitas, merger bank syariah ini tidak
menambah besaran kontribusi terhadap perbankan. Namun, secara kualitatif
memberikan efek psikologis kepercayaan diri karena ukuran bank syariah menjadi
besar, menjadi bank dengan aset nomor 8 di Indonesia. Wakil Presiden KH Maรขโ‚ฌโ„ขruf
Amin juga baru saja melantik pengurus MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) yang
dipimpin oleh Erick Thohir untuk mengukuhkan literasi dan penguatan EKS.

 

Keuangan Syariah

 

Jika mencermati potensi yang bisa digali dari
tanah air, seharusnya pengembangan EKS tidak sulit dilakukan. Indonesia menempati
jumlah penduduk nomor 4 dunia dengan penduduk muslim sekitar 225 juta. Ini
menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah populasi muslim terbesar di
dunia. Ukuran ekonomi Indonesia saat ini menempati ranking 16 besar dunia dan
diperkirakan pada 2030 berada di posisi 7 besar dunia. Jumlah warga yang
terakses internet mencapai 175 juta (kurang lebih 65 persen dari total
penduduk). Ini membuat ikhtiar untuk mengembangkan EKS berbasis digital juga
gampang dilakukan.

Kalkulasi OJK (2020) menunjukkan potensi EKS
yang bisa digali sebesar USD 3 triliun. Ini ceruk potensi yang luar biasa besar
sehingga para pegiat ekonomi mestinya lebih melipatgandakan usahanya untuk
mendorong penguatan EKS. Intinya, ladang usaha telah terpampang lebar.

Baca Juga :  Ekosistem Sertifikasi Halal

Jumlah lembaga keuangan syariah sendiri terus
bertambah, walaupun belum mencerminkan potensi yang tersedia. Sampai akhir
2020, jumlah bank syariah lumayan banyak. Bank umum syariah (BUS) berjumlah 14,
unit usaha syariah (UUS) 391, dan BPR syariah 163. Di luar itu juga terdapat
lembaga keuangan syariah nonbank, seperti asuransi syariah (13), lembaga
pembiayaan syariah (9), dana pensiun syariah (4), lembaga jasa keuangan khusus
syariah (5), lembaga jasa keuangan mikro syariah (78), dan finansial teknologi
syariah (10). Sekarang kontribusi bank syariah terhadap total sektor perbankan
mencapai 6,24 persen (capaian ini masih jauh dibandingkan dengan Arab Saudi,
Brunei, Kuwait, Bahrain, Malaysia, Uni Emirat Arab, dan lain-lain), dengan
penyumbang terbesar berasal dari BUS (65 persen). Total aset hampir mencapai Rp
400 triliun, jumlah rekening sebanyak 33 juta lebih, dan menyerap tenaga kerja
sebanyak 50 ribu (OJK, 2020).

Rilis indeks keuangan global syariah (IKGS)
yang dikeluarkan setiap tahun menampakkan arah perkembangan EKS yang bagus.
Pada 2019, IKGS melompat tajam menjadi 81,93. Ini membuat IKGS Indonesia
menempati peringkat satu, di atas Malaysia. Padahal, pada 2018, IKGS Indonesia
baru mencapai 24,14; jauh tertinggal dibandingkan Malaysia, Iran, dan Arab Saudi.
Jadi, hanya dalam waktu setahun IKGS Indonesia melompat setinggi 57,80 poin.

Selain itu, Indonesia pada 2019 dinobatkan
sebagai Worldรขโ‚ฌโ„ขs Best Halal Travel Destination dari Global Muslim Travel Index
(GMTI). Tidak mudah untuk mencapai dua prestasi tersebut (di luar prestasi
lainnya) karena sekian banyak perkakas mesti dipersiapkan agar menjadi
ekosistem syariah/halal yang andal. Kemajuan ini menunjukkan daya kompetisi
Indonesia yang makin bagus pada arena internasional sehingga peluang yang
tersedia di masa depan akan lebih mudah dieksekusi.

Baca Juga :  Merdeka dari Sindrom Inferiority Complex

 

Keadilan Ekonomi

 

Sekurangnya terdapat dua tantangan serius
yang mesti dihadapi di masa depan. Pertama, menghidupkan bukan hanya keuangan
syariah, melainkan juga ekonomi syariah secara keseluruhan (paket utuh). Wakil
presiden dalam setiap kesempatan selalu menyampaikan empat isu utama
pengembangan EKS, yakni (1) pengembangan industri produk halal; (2)
pengembangan keuangan syariah: (3) optimalisasi dana sosial syariah; dan (4)
penumbuhan kapasitas usaha syariah, termasuk UMKM.

Sekarang telah diinisiasi kawasan industri
halal di beberapa provinsi dan diharapkan menjadi tempat berbiaknya industri
produk halal. Di samping itu, saat ini sedang dirintis modernisasi pengelolaan
dan pemanfaatan dana sosial syariah, seperti wakaf dan zakat, agar menjadi
lebih produktif dan bermakna bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Jadi,
pekerjaan rumah yang harus dipanggul masih sangat berat.

Kedua, memastikan agar pengembangan EKS
bersifat inklusif dan memiliki bobot pemberdayaan, khususnya golongan ekonomi
lemah. Problem ekonomi nasional adalah wataknya yang cenderung eksklusif, yakni
hanya memberikan akses yang besar kepada pelaku ekonomi tertentu. EKS wajib
bisa diakses dengan mudah oleh semua lapis pelaku ekonomi, bahkan yang bukan beragama
Islam. EKS tidak didesain melayani kelompok warga tertentu, misalnya didasarkan
suku, agama, ras, atau level pendapatan tertentu. EKS juga mesti menyantuni
aspek pemberdayaan kepada pelaku ekonomi kecil sehingga keadilan ekonomi tegak
berdiri. Kritik dari lembaga keuangan konvensional ialah sifatnya yang dianggap
รขโ‚ฌยeksploitatifรขโ‚ฌย sehingga kurang memiliki dampak terhadap keadilan. Ruang kosong
ini yang harus diisi oleh EKS sebagai medan perjuangan, bukan semata mengganti
label dengan praktik/karakter bisnis yang sama. (*)

 

AHMAD ERANI YUSTIKA, Guru Besar FEB UB dan
Deputi Ekonomi Setwapres

SEKITAR
25
tahun pengembangan ekonomi dan keuangan syariah (EKS) telah berjalan dengan
hasil yang kurang menakjubkan. Kontribusi keuangan/perbankan syariah terhadap
sektor perbankan melaju dengan lamban. Baru beberapa tahun terakhir ini
terlihat cahaya kemajuan, baik dari segi instrumen ekonomi syariah yang didesain
maupun volume/unit usaha yang bertambah.

Pada awal 2021, terjadi penanda penting atas
kehadiran perbankan syariah, yakni merger tiga bank besar bank syariah menjadi
Bank Syariah Indonesia (BSI). Secara kuantitas, merger bank syariah ini tidak
menambah besaran kontribusi terhadap perbankan. Namun, secara kualitatif
memberikan efek psikologis kepercayaan diri karena ukuran bank syariah menjadi
besar, menjadi bank dengan aset nomor 8 di Indonesia. Wakil Presiden KH Maรขโ‚ฌโ„ขruf
Amin juga baru saja melantik pengurus MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) yang
dipimpin oleh Erick Thohir untuk mengukuhkan literasi dan penguatan EKS.

 

Keuangan Syariah

 

Jika mencermati potensi yang bisa digali dari
tanah air, seharusnya pengembangan EKS tidak sulit dilakukan. Indonesia menempati
jumlah penduduk nomor 4 dunia dengan penduduk muslim sekitar 225 juta. Ini
menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah populasi muslim terbesar di
dunia. Ukuran ekonomi Indonesia saat ini menempati ranking 16 besar dunia dan
diperkirakan pada 2030 berada di posisi 7 besar dunia. Jumlah warga yang
terakses internet mencapai 175 juta (kurang lebih 65 persen dari total
penduduk). Ini membuat ikhtiar untuk mengembangkan EKS berbasis digital juga
gampang dilakukan.

Kalkulasi OJK (2020) menunjukkan potensi EKS
yang bisa digali sebesar USD 3 triliun. Ini ceruk potensi yang luar biasa besar
sehingga para pegiat ekonomi mestinya lebih melipatgandakan usahanya untuk
mendorong penguatan EKS. Intinya, ladang usaha telah terpampang lebar.

Baca Juga :  Ekosistem Sertifikasi Halal

Jumlah lembaga keuangan syariah sendiri terus
bertambah, walaupun belum mencerminkan potensi yang tersedia. Sampai akhir
2020, jumlah bank syariah lumayan banyak. Bank umum syariah (BUS) berjumlah 14,
unit usaha syariah (UUS) 391, dan BPR syariah 163. Di luar itu juga terdapat
lembaga keuangan syariah nonbank, seperti asuransi syariah (13), lembaga
pembiayaan syariah (9), dana pensiun syariah (4), lembaga jasa keuangan khusus
syariah (5), lembaga jasa keuangan mikro syariah (78), dan finansial teknologi
syariah (10). Sekarang kontribusi bank syariah terhadap total sektor perbankan
mencapai 6,24 persen (capaian ini masih jauh dibandingkan dengan Arab Saudi,
Brunei, Kuwait, Bahrain, Malaysia, Uni Emirat Arab, dan lain-lain), dengan
penyumbang terbesar berasal dari BUS (65 persen). Total aset hampir mencapai Rp
400 triliun, jumlah rekening sebanyak 33 juta lebih, dan menyerap tenaga kerja
sebanyak 50 ribu (OJK, 2020).

Rilis indeks keuangan global syariah (IKGS)
yang dikeluarkan setiap tahun menampakkan arah perkembangan EKS yang bagus.
Pada 2019, IKGS melompat tajam menjadi 81,93. Ini membuat IKGS Indonesia
menempati peringkat satu, di atas Malaysia. Padahal, pada 2018, IKGS Indonesia
baru mencapai 24,14; jauh tertinggal dibandingkan Malaysia, Iran, dan Arab Saudi.
Jadi, hanya dalam waktu setahun IKGS Indonesia melompat setinggi 57,80 poin.

Selain itu, Indonesia pada 2019 dinobatkan
sebagai Worldรขโ‚ฌโ„ขs Best Halal Travel Destination dari Global Muslim Travel Index
(GMTI). Tidak mudah untuk mencapai dua prestasi tersebut (di luar prestasi
lainnya) karena sekian banyak perkakas mesti dipersiapkan agar menjadi
ekosistem syariah/halal yang andal. Kemajuan ini menunjukkan daya kompetisi
Indonesia yang makin bagus pada arena internasional sehingga peluang yang
tersedia di masa depan akan lebih mudah dieksekusi.

Baca Juga :  Merdeka dari Sindrom Inferiority Complex

 

Keadilan Ekonomi

 

Sekurangnya terdapat dua tantangan serius
yang mesti dihadapi di masa depan. Pertama, menghidupkan bukan hanya keuangan
syariah, melainkan juga ekonomi syariah secara keseluruhan (paket utuh). Wakil
presiden dalam setiap kesempatan selalu menyampaikan empat isu utama
pengembangan EKS, yakni (1) pengembangan industri produk halal; (2)
pengembangan keuangan syariah: (3) optimalisasi dana sosial syariah; dan (4)
penumbuhan kapasitas usaha syariah, termasuk UMKM.

Sekarang telah diinisiasi kawasan industri
halal di beberapa provinsi dan diharapkan menjadi tempat berbiaknya industri
produk halal. Di samping itu, saat ini sedang dirintis modernisasi pengelolaan
dan pemanfaatan dana sosial syariah, seperti wakaf dan zakat, agar menjadi
lebih produktif dan bermakna bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Jadi,
pekerjaan rumah yang harus dipanggul masih sangat berat.

Kedua, memastikan agar pengembangan EKS
bersifat inklusif dan memiliki bobot pemberdayaan, khususnya golongan ekonomi
lemah. Problem ekonomi nasional adalah wataknya yang cenderung eksklusif, yakni
hanya memberikan akses yang besar kepada pelaku ekonomi tertentu. EKS wajib
bisa diakses dengan mudah oleh semua lapis pelaku ekonomi, bahkan yang bukan beragama
Islam. EKS tidak didesain melayani kelompok warga tertentu, misalnya didasarkan
suku, agama, ras, atau level pendapatan tertentu. EKS juga mesti menyantuni
aspek pemberdayaan kepada pelaku ekonomi kecil sehingga keadilan ekonomi tegak
berdiri. Kritik dari lembaga keuangan konvensional ialah sifatnya yang dianggap
รขโ‚ฌยeksploitatifรขโ‚ฌย sehingga kurang memiliki dampak terhadap keadilan. Ruang kosong
ini yang harus diisi oleh EKS sebagai medan perjuangan, bukan semata mengganti
label dengan praktik/karakter bisnis yang sama. (*)

 

AHMAD ERANI YUSTIKA, Guru Besar FEB UB dan
Deputi Ekonomi Setwapres

Terpopuler

Artikel Terbaru