PERLOMBAAN membuat vaksin Covid-19 oleh berbagai lembaga riset dan
perusahaan farmasi dunia sudah menemui titik terang. Dalam pikiran kita,
pembuat vaksin ternama pastilah Pfizer-BioNTech asal Amerika Serikat (AS) dan
Jerman. Berikutnya Moderna (AS), Oxford University-AstraZeneca (Inggris),
Gamaleya (Rusia), Johnson & Johnson (AS), dan Sinopharm (Tiongkok). Dari
uji klinis tahap akhir, tingkat efektivitas diklaim di atas 90 persen. Meskipun
demikian, Johnson & Johnson dan Sinopharm belum memproklamasikan tingkat
efektivitasnya.
Pertengahan Desember 2020 ini,
sejumlah negara akhirnya memberikan izin penggunaan vaksin untuk penduduknya.
Misalnya, AS, Inggris, Tiongkok, dan Rusia. Ketika negara-negara dengan
fasilitas penelitian maju tersebut sudah memberikan lampu hijau, tidak ada
alasan bagi Indonesia untuk tidak mengikutinya pula. Indonesia pun demikian.
Beberapa hari ke depan, vaksinasi masal rakyat Indonesia dilakukan dan
kebutuhan vaksinnya mencapai 246,58 juta dosis.
Kabar yang melegakan, biaya
vaksin keseluruhan akan dibebaskan alias gratis. Ini yang perlu dibahas
bersama. Bagaimana teknis gratisnya? Ada enam macam vaksin yang akan digunakan
di Indonesia. Yang manakah yang gratis?
Sejarah Moral Hazard
Hanya ada satu transaksi ekonomi
yang tidak dapat ditawar di dunia, yakni kesehatan. Apa pun nasihat dokter dan
saran rumah sakit (RS), bahkan kendati kadang salah, pasien akan mengikuti
tanpa melakukan negosiasi atas nama kesehatan. Inilah yang sejak dulu sampai
kini dikritisi publik. Sebab, sektor kesehatan yang sebetulnya hak dasar
manusia kini berubah menjadi salah satu sektor transaksi ekonomi untuk
mendapatkan keuntungan. Keuntungan dari manusia yang sakit!
Studi PBB pada 2004 menunjukkan
bahwa produsen obat, termasuk perusahaan pembuat vaksin, sebetulnya telah
melakukan mark-up harga obat sampai 500.000 persen dibanding harga bahan
pembuatan (Velasquez, 2006). Contohnya, harga obat untuk tekanan darah tinggi
produksi Pfizer. Seratus tablet Norvasc dibanderol USD 220. Padahal, harga
bahan-bahannya hanya 14 sen dolar. Prozac, obat antidepresan buatan Lilly,
dihargai USD 247, jauh dari harga bahan-bahannya 11 sen dolar. Obat Tenormin
untuk hipertensi produksi Astra Zeneca dibanderol USD 251. Harga aslinya 18 sen
dolar.
Dengan kemampuan teknik farmasi
yang sudah maju, ketika RS mampu meracik obat sendiri, masing-masing memiliki
potensi mendapatkan keuntungan sampai 500.000 persen dibanding harga bahan
dasar obatnya. Ini dari sisi obat yang merupakan komponen biaya besar yang
membentuk biaya pelayanan RS secara total.
Di sisi lain, RS sebagai rantai
industri kesehatan berdasar penelitian itu yang dimasukkan dalam Fortune 500
(2004) juga memperoleh pendapatan rata-rata minimal 17 persen. Padahal, kelompok
industri lainnya mengantongi pendapatan paling tinggi 3 persen. Ini menunjukkan
bahwa manajemen RS kini menerapkan kebijakan transaksi ekonomi sebesar-besarnya
untuk mendapatkan keuntungan.
Bisnis Besar
Sejak dulu, nilai perdagangan
obat, termasuk vaksin, di Indonesia tidak bisa dikatakan kecil. Karena itulah
BPJS Kesehatan selalu defisit. Sampai saat ini, defisit BPJS Kesehatan mencapai
Rp 28,4 triliun.
Pada 2014, ketika pemerintah
mulai menggaransi kesehatan 121,6 juta rakyat dalam wadah JKN, besarnya
angsuran negara minimal Rp 25 triliun. Total klaim 2014 ternyata mencapai Rp
42,6 triliun atau 170,4 persen lebih tinggi dari proyeksi anggaran. Padahal,
jumlah masyarakat miskin dalam kategori penerima bantuan iuran (PBI) masih 86,4
juta dengan premi asuransi dinaikkan Rp 23.000 dari semula Rp 19.225 dan
alokasi APBN Rp 25,5 triliun.
Ini belum termasuk iuran seluruh
pekerja dan buruh Indonesia yang berjumlah minimal 118 juta orang. Jika
diasumsikan iuran per pekerja atau buruh pesimistis Rp 25 ribu per bulan, akan
terkumpul Rp 35,4 triliun per tahun. Artinya, instrumen kesehatan nasional
setiap tahun akan mendapatkan dana segar minimal Rp 78 triliun. Anggaran negara
dan dana masyarakat yang termobilisasi untuk dana kesehatan ini akan meningkat
tiap tahun sehingga pada 2019 seluruh penduduk Indonesia terlindungi oleh JKN
tidak terkecuali.
Berdasar penelitian di Jakarta
dan kota-kota Indonesia lainnya (Sulastomo, 2000), struktur biaya obat sendiri
dan vaksin mencapai 43,63 persen. Sisanya terbagi antara honor dokter (27,96
persen) dan ongkos jasa rumah sakit (28,41 persen). Artinya, jatah ekonomi obat
nasional, termasuk rekomendasi vaksin dari dokter, paling tidak bernilai Rp
34,03 triliun. Jadi, jika anggaran vaksin korona 2020–2021 mencapai Rp 34,23
triliun, sebetulnya tidak berlebihan.
Karena sangat besarnya nilai
ekonomi dunia medis, apalagi tahun ini seluruh aktivitas kesehatan disentralkan
dalam sistem JKN, produsen obat sangat masif melakukan terobosan-terobosan dan
menghalalkan banyak cara. Termasuk kongkalikong dengan profesi mulia para
praktisi kesehatan sampai manajemen rumah sakit yang seharusnya menjaga
integritas kemanusiaan.
Kasus moral hazard dunia
kesehatan dan mata rantainya sudah sering terjadi kendati sangat tabu
didiskusikan karena sangat sensitifnya nilai kesehatan.
Namun, betapa pun karena
menyangkut dana superbesar, mencapai Rp 34,23 triliun, sikap kritis masyarakat
tetap diperlukan. Kurang mulia apa tujuan dana bantuan sosial untuk ketahanan
ekonomi rakyat, namun tetap juga dikorupsi. Demikian pula, ketahanan masyarakat
pesisir untuk pengembangan lobster dalam negeri turut dikorupsi.
Teknis gratis harus
diartikulasikan dengan sangat jelas kepada masyarakat. Apakah gratis untuk
vaksin Pfizer-BioNTech saja, apakah khusus untuk Moderna, AstraZeneca, Sinovac,
Sinopharm, atau vaksin Merah Putih. Jangan sampai rakyat sudah antre vaksin,
tiba-tiba RS menyampaikan vaksin gratis sudah habis. Yang masih ada harganya
justru lebih mahal. Akhirnya, pesan vaksin gratis itu kembali tidak sampai
sepenuhnya untuk rakyat.***
(Effnu Subiyanto, Peneliti dan
dosen UKWM Surabaya)