25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Doktor Dagelan dan Politik Gila Gelar

UNTUK mendapatkan gelar doktor, setidaknya
ada tiga jalan. Pertama, melalui jalan kesunyian. Jika jalan itu yang ditempuh,
bekal dana saja tak cukup. Diperlukan juga kesabaran, ketekunan, pengetahuan,
dan kasih sayang intelektual. Mereka ibaratnya pendekar dari gua hantu. Gelar
doktor tak sebatas puncak pendidikan formalnya. Tapi juga pengayaan mata hati
penyandangnya.

Para doktor yang menempuh jalur reguler itu
bisa tergolong gila ilmu pengetahuan. Mari kita coba pilah secara umum gaya
pembelajarannya. Pendidikan sarjana berorientasi pengetahuan umum, yakni
mempelajari dasar keilmuan tertentu dan memahaminya. Itu sebabnya, mereka
membutuhkan arahan pembimbing sebagai pegangan. Sebagian orang menyebutnya dengan
istilah ”kaum rebahan” pendidikan.

Pendidikan master (magister) setingkat di
atasnya. Pendidikannya bukan sekadar dasar keilmuan tertentu. Tapi juga
bagaimana dasar keilmuan itu dibangun dan diterapkan. Pada fase ini, mereka
butuh proses konstruksional. Pembimbing perlu mendorong kemandiriannya. Inilah
fase transisi yang bisa terbilang lebih berat dari sarjana. Beragam tugas
perkuliahannya menuntut gagasan relasional. Baik antarkonsep, teoretis, bidang
kajian, maupun metodologis.

Berbeda halnya pada tingkat pendidikan
doktoral. Pada level ini, kemandirian belajarnya sebagai panggilan hidup.
Mereka tak hanya dituntut fasih dasar keilmuannya. Atau bangunan, penerapan,
dan gagasan relasionalnya. Tapi juga mengevaluasi, mengkritisi, sekaligus
mengkreasikan pemikiran baru. Posisi tim pembimbingnya sebagai penguji,
pendamping, fasilitator, dan promotor.

Kandidat doktor maupun tim pembimbingnya
sama-sama diuji. Inilah pertaruhan reputasi akademiknya. Sebab, tantangan
terbesarnya bukan hanya disertasi dan promosi pemikiran baru bimbingannya.
Tetapi juga kritik pada dirinya sendiri. Karena beratnya ujian hidup di sekolah
doktoral ini, gelarnya kadang kala dipelesetkan dengan ”permanent head damage”
(PhD).

Kedua, jalan pertukaran sosial. Tak sedikit
orang yang menempuh studi doktoral bukan atas dasar cinta ilmu pengetahuan.
Mereka yang pragmatis seperti ini biasanya punya banyak motif. Studi doktoral
yang ditempuhnya, misalnya, berorientasi ekonomi dan sosial. Menurut teori
pertukaran sosial Peter Blau (1964), biasanya pelakunya berburu tiga
ekspektasi: mendongkrak status sosialnya, dihormati, dan menguasai orang lain.

Baca Juga :  Menyusun RTRW, Apa sih Sulitnya?

Baginya gelar doktor diyakini bisa menambah
kemapanan ekonominya di masa depan. Sekalipun dirinya sudah mapan sebelum studi
doktoral. Konsekuensi berikutnya adalah masyarakat berdecak kagum padanya.
Sebab, tumpukan harta tak membuatnya melupakan pendidikannya.

Padahal, pertukaran sosial seperti ini
menunjukkan krisis psikologis dan struktur sosial. Menurut Gouldner (1960) dan
Homans (1970), di satu sisi pelakunya gila dengan situasi romantisme. Mereka
selalu mencari cara agar dirinya tak kehilangan kendali pusat perhatian. Di
sisi lain, masyarakat di sekitarnya telah telanjur mengidap penyakit gila
gelar.

Kegilaan simbol pendidikan ini berlangsung sejak
penjajahan mencengkeram bangsa kita. Pada masa itu gelar merupakan rekayasa
kolonial agar bangsa jajahan tunduk kepada tuannya. Pascakolonial, budaya gila
hormat dengan rekayasa gelar-gelar terus dipelihara dan diperbarui. Termasuk
memanfaatkan institusi pendidikan. Kalau gelarnya tak dicantumkan, mereka akan
bersungut-sungut. Itulah perilaku pejabat di instansi pemerintahan yang tak
punya banyak waktu belajar.

Ketiga, jalan pemberian. Gelarnya disebut
doktor honoris causa atau disingkat Dr (HC). Menurut Permendikbud Nomor 21
Tahun 2013, doktor kehormatan dianugerahkan kepada orang-orang berjasa. Yakni
berjasa besar bagi iptek, kemanusiaan, kemasyarakatan, budaya, bangsa, hubungan
antarbangsa, dan sejenisnya.

Tetapi, akhir-akhir ini doktor kehormatan
rupanya makin berwajah politis. Sebab, mereka yang dianugerahi gelar ini oleh
kampus tertentu justru berlatar belakang elite politik. Sebagian komunitas
akademik pun bersuara keras kepadanya. Namun, sekeras anjing menggonggong,
kafilah tetap melenggang.

Padahal, elite politik yang mendapatkan gelar
kehormatan dianggap punya sejarah buruk. Misalnya saja terlibat korupsi, baik
individual maupun kepartaian. Tak mampu menyejahterakan rakyat. Problem
pendidikan yang terus menumpuk. Bahkan berperan serta menggadaikan bangsa
sendiri kepada lembaga donor asing, bangsa asing, dan kapitalisme global.

Baca Juga :  Deja Vu PDI 1996 dan Partai Demokrat Hari Ini

Meskipun gelar Dr (HC) tak digunakan pada
kegiatan akademik, pemberian gelar ini melukai perasaan komunitas akademik. Gus
Dur dengan sentilan pedasnya di era 1990-an memelesetkan Dr (HC) dengan ”doktor
humoris causa”. Gus Mus pun menyebutnya doktor honore caos (pakaian kasual).
Sebab, itu semua hanya dagelan politik belaka.

Fenomena politisasi pendidikan semacam itu
berbuah dilema. Sebab, refleksi kritis dan kesalehan puncak pendidikan
terguncang. Alih-alih meningkatkan mutu dan layanan pendidikan, para pemberi
gelar kehormatan memicu saling curiga. Mereka dianggap main mata dengan
penerima gelarnya. Dengan kata lain, pendidikan telah diseret-seret sebagai
basis massa politiknya. Harapannya ditengarai mengamankan jabatannya dan
mendapatkan limpahan proyek nasional jangka panjang.

Karena itu, sebaiknya kita belajar kembali
kepada masyarakat. Masyarakat kita adalah masyarakat pembelajar. Mereka
meneladani kehidupan. Tahu diri dan tahu batas. Mereka paham makna penderitaan.
Mereka juga paham maknanya menjadi manusia yang mengerti perasaan manusia.
Sekalipun tak semua menikmati mewahnya pendidikan tinggi, mereka mewarisi
nilai-nilai rendah hati, adil, dan bijaksana.

Hal demikian perlu
dijadikan pegangan bagi pemangku pendidikan dan kekuasaan. Maka, niscaya
reputasi pendidikan tinggi kita benar-benar terjaga. Sehingga tak hanya menebar
keilmuan, mendidik manusia Indonesia, dan memberikan sederet gelar. Tapi juga
mencetak para guru bangsa di masa depan. Agar mereka dapat mencerahkan wajah
buram pendidikan dan perpolitikan Indonesia. Sekaligus memerdekakan bangsa ini
dari segala bentuk penjajahan. Lalu tanyalah pada hatimu, Kawan.(*)


Ardhie Raditya, Sosiolog pendidikan kritis
dan kajian budaya di Departemen Sosiologi Unesa


 

UNTUK mendapatkan gelar doktor, setidaknya
ada tiga jalan. Pertama, melalui jalan kesunyian. Jika jalan itu yang ditempuh,
bekal dana saja tak cukup. Diperlukan juga kesabaran, ketekunan, pengetahuan,
dan kasih sayang intelektual. Mereka ibaratnya pendekar dari gua hantu. Gelar
doktor tak sebatas puncak pendidikan formalnya. Tapi juga pengayaan mata hati
penyandangnya.

Para doktor yang menempuh jalur reguler itu
bisa tergolong gila ilmu pengetahuan. Mari kita coba pilah secara umum gaya
pembelajarannya. Pendidikan sarjana berorientasi pengetahuan umum, yakni
mempelajari dasar keilmuan tertentu dan memahaminya. Itu sebabnya, mereka
membutuhkan arahan pembimbing sebagai pegangan. Sebagian orang menyebutnya dengan
istilah ”kaum rebahan” pendidikan.

Pendidikan master (magister) setingkat di
atasnya. Pendidikannya bukan sekadar dasar keilmuan tertentu. Tapi juga
bagaimana dasar keilmuan itu dibangun dan diterapkan. Pada fase ini, mereka
butuh proses konstruksional. Pembimbing perlu mendorong kemandiriannya. Inilah
fase transisi yang bisa terbilang lebih berat dari sarjana. Beragam tugas
perkuliahannya menuntut gagasan relasional. Baik antarkonsep, teoretis, bidang
kajian, maupun metodologis.

Berbeda halnya pada tingkat pendidikan
doktoral. Pada level ini, kemandirian belajarnya sebagai panggilan hidup.
Mereka tak hanya dituntut fasih dasar keilmuannya. Atau bangunan, penerapan,
dan gagasan relasionalnya. Tapi juga mengevaluasi, mengkritisi, sekaligus
mengkreasikan pemikiran baru. Posisi tim pembimbingnya sebagai penguji,
pendamping, fasilitator, dan promotor.

Kandidat doktor maupun tim pembimbingnya
sama-sama diuji. Inilah pertaruhan reputasi akademiknya. Sebab, tantangan
terbesarnya bukan hanya disertasi dan promosi pemikiran baru bimbingannya.
Tetapi juga kritik pada dirinya sendiri. Karena beratnya ujian hidup di sekolah
doktoral ini, gelarnya kadang kala dipelesetkan dengan ”permanent head damage”
(PhD).

Kedua, jalan pertukaran sosial. Tak sedikit
orang yang menempuh studi doktoral bukan atas dasar cinta ilmu pengetahuan.
Mereka yang pragmatis seperti ini biasanya punya banyak motif. Studi doktoral
yang ditempuhnya, misalnya, berorientasi ekonomi dan sosial. Menurut teori
pertukaran sosial Peter Blau (1964), biasanya pelakunya berburu tiga
ekspektasi: mendongkrak status sosialnya, dihormati, dan menguasai orang lain.

Baca Juga :  Menyusun RTRW, Apa sih Sulitnya?

Baginya gelar doktor diyakini bisa menambah
kemapanan ekonominya di masa depan. Sekalipun dirinya sudah mapan sebelum studi
doktoral. Konsekuensi berikutnya adalah masyarakat berdecak kagum padanya.
Sebab, tumpukan harta tak membuatnya melupakan pendidikannya.

Padahal, pertukaran sosial seperti ini
menunjukkan krisis psikologis dan struktur sosial. Menurut Gouldner (1960) dan
Homans (1970), di satu sisi pelakunya gila dengan situasi romantisme. Mereka
selalu mencari cara agar dirinya tak kehilangan kendali pusat perhatian. Di
sisi lain, masyarakat di sekitarnya telah telanjur mengidap penyakit gila
gelar.

Kegilaan simbol pendidikan ini berlangsung sejak
penjajahan mencengkeram bangsa kita. Pada masa itu gelar merupakan rekayasa
kolonial agar bangsa jajahan tunduk kepada tuannya. Pascakolonial, budaya gila
hormat dengan rekayasa gelar-gelar terus dipelihara dan diperbarui. Termasuk
memanfaatkan institusi pendidikan. Kalau gelarnya tak dicantumkan, mereka akan
bersungut-sungut. Itulah perilaku pejabat di instansi pemerintahan yang tak
punya banyak waktu belajar.

Ketiga, jalan pemberian. Gelarnya disebut
doktor honoris causa atau disingkat Dr (HC). Menurut Permendikbud Nomor 21
Tahun 2013, doktor kehormatan dianugerahkan kepada orang-orang berjasa. Yakni
berjasa besar bagi iptek, kemanusiaan, kemasyarakatan, budaya, bangsa, hubungan
antarbangsa, dan sejenisnya.

Tetapi, akhir-akhir ini doktor kehormatan
rupanya makin berwajah politis. Sebab, mereka yang dianugerahi gelar ini oleh
kampus tertentu justru berlatar belakang elite politik. Sebagian komunitas
akademik pun bersuara keras kepadanya. Namun, sekeras anjing menggonggong,
kafilah tetap melenggang.

Padahal, elite politik yang mendapatkan gelar
kehormatan dianggap punya sejarah buruk. Misalnya saja terlibat korupsi, baik
individual maupun kepartaian. Tak mampu menyejahterakan rakyat. Problem
pendidikan yang terus menumpuk. Bahkan berperan serta menggadaikan bangsa
sendiri kepada lembaga donor asing, bangsa asing, dan kapitalisme global.

Baca Juga :  Deja Vu PDI 1996 dan Partai Demokrat Hari Ini

Meskipun gelar Dr (HC) tak digunakan pada
kegiatan akademik, pemberian gelar ini melukai perasaan komunitas akademik. Gus
Dur dengan sentilan pedasnya di era 1990-an memelesetkan Dr (HC) dengan ”doktor
humoris causa”. Gus Mus pun menyebutnya doktor honore caos (pakaian kasual).
Sebab, itu semua hanya dagelan politik belaka.

Fenomena politisasi pendidikan semacam itu
berbuah dilema. Sebab, refleksi kritis dan kesalehan puncak pendidikan
terguncang. Alih-alih meningkatkan mutu dan layanan pendidikan, para pemberi
gelar kehormatan memicu saling curiga. Mereka dianggap main mata dengan
penerima gelarnya. Dengan kata lain, pendidikan telah diseret-seret sebagai
basis massa politiknya. Harapannya ditengarai mengamankan jabatannya dan
mendapatkan limpahan proyek nasional jangka panjang.

Karena itu, sebaiknya kita belajar kembali
kepada masyarakat. Masyarakat kita adalah masyarakat pembelajar. Mereka
meneladani kehidupan. Tahu diri dan tahu batas. Mereka paham makna penderitaan.
Mereka juga paham maknanya menjadi manusia yang mengerti perasaan manusia.
Sekalipun tak semua menikmati mewahnya pendidikan tinggi, mereka mewarisi
nilai-nilai rendah hati, adil, dan bijaksana.

Hal demikian perlu
dijadikan pegangan bagi pemangku pendidikan dan kekuasaan. Maka, niscaya
reputasi pendidikan tinggi kita benar-benar terjaga. Sehingga tak hanya menebar
keilmuan, mendidik manusia Indonesia, dan memberikan sederet gelar. Tapi juga
mencetak para guru bangsa di masa depan. Agar mereka dapat mencerahkan wajah
buram pendidikan dan perpolitikan Indonesia. Sekaligus memerdekakan bangsa ini
dari segala bentuk penjajahan. Lalu tanyalah pada hatimu, Kawan.(*)


Ardhie Raditya, Sosiolog pendidikan kritis
dan kajian budaya di Departemen Sosiologi Unesa


 

Terpopuler

Artikel Terbaru