CITA-cita menjadi seorang
dokter telah tertanam dalam benak dr
Fia
kecil, meski saat
itu ia belum paham seluk–beluk tentang dokter.
Keinginan menjadi dokter tumbuh perlahan. Apalagi
semasa
kecil ia sering jatuh sakit. Beberapa kali
keluar masuk rumah sakit (RS). Ia pun sering berhadapan
dengan seorang dokter.
Wanita yang memiliki
nama panjang Fia Delfia Adventy saat ini sudah meraih cita-citanya. 30
September lalu, dr Fia menjadi satu dari
32 dokter baru angkatan XV lulusan Fakultas Kedokteran
(FK) Universitas Palangka Raya (UPR) yang dilantik dan diambil
sumpahnya. Puteri dari Cipto T Agan dan Leliana S dengan itu mendapat IPK 3,50
atau masuk tiga lulusan terbaik.
Perjalanan menggapai
cita-cita dimulai enam tahun yang lalu. Melalui jalur mandiri, ia berhasil
lolos dalam penjaringan mahasiswa FK UPR. Tidak mudah, dari awal pendaftaran
saja sudah sangat terasa perjuangan. “Dari masuk saja sudah sangat terasa
perjuangannya, saya mampu lolos 50 peserta sesuai kuota yang disediakan,
padahal saat itu ada ratusan orang yang mendaftar ke FK UPR,â€
ucapnya kepada Kalteng Pos, Jumat (23/10).
Itu masih tahap
pertama. Perjalanan menggapai cita-citanya masih harus terus berjalan hingga
beberapa tahun ke depan. Belum lagi ia harus melawan tantangan dari dalam diri.
Seperti mahasiswa pada umumnya, rasa malas selalu hadir setiap saat. Namun,
menjadi calon dokter harus bisa menghilangkan rasa
malas itu.
“Kata pembimbing,
menjadi dokter itu, selain pintar juga harus rajin. Jika tidak, maka tidak
akan lulus tepat waktu,†katanya.
Dengan kerja keras dan
semangatnya ia mampu menyelesaikan pendidikan preklinik kedokteran dalam tiga tahun.
Waktu ini merupakan studi tercepat di kedokteran.
“Saya sangat bersyukur
bisa menyelesaikan pendidikan preklinik saya dengan waktu tiga tahun saja. Itu sudah
selesai semua, termasuk penelitian skripsi saya,†tegas
wanita Dayak asli dari Barito Selatan ini.
Tak hanya itu, setelah
menyelesaikan preklinik tepat waktu, ia juga bisa menyelesaikan tugas menjadi
dokter muda di RS hanya dalam waktu dua tahun. Waktu ini juga masa tercepat
dalam fase memasuki klinik.
“Padahal, masa-masa
koas selama dua tahun di RS ini sangat terasa perjuangannya, membutuhkan waktu
yang bener-bener fokus untuk studi. Untungnya saya orang yang fokus dan tidak
memikirkan hal-hal lain selain tugas saya di RS, sehingga dengan cepat saya
dapat menyelesaikan tugas saya itu,†beber wanita berparas ayu ini.
Di masa ini pula,
lanjut dr Fia, merupakan kondisi yang membentuk seseorang
menjadi dokter yang harus siap kapan saja. Dahulu, berada di RS
selama 32 jam merupakan waktu yang sangat melelahkan. Dan itu
tantangan sebagai dokter.
“Ternyata masa-masa itu
sangat bermanfaat saat ini. Dahulu saya
sangat berat melewati masa itu, tapi saat ini
menjalani aktivitas demikian suatu hal yang biasa. Ternyata
masa-masa itu membentuk saya agar siap kapan saja tanpa rasa terbebani
menjalani pekerjaan sebagai dokter,†ungkapnya.
Ketika seseorang memilih
profesi sebagai dokter, maka ia harus selalu
siap
dan sigap setiap saat. “Satu momen yang sangat membentuk
saya, suatu hari pada pukul 01.00 WIB ada
operasi
mendadak. Posisi saya saat itu di rumah. Tanpa alasan
apa pun saya siap dan datang
ke RS,â€
ujar perempuan yang memiliki hobi berpidato dan mengajar ini.
Ada kebanggaan yang ia
rasakan selama perjalanan hidupnya dan setelah sah menjadi
seorang dokter.
Dari perjalanannya yang begitu panjang dan penuh
perjuangan, ia mampu menyelesaikan pendidikan dalam waktu yang
cepat.
Selain bangga terhadap diri sendiri, juga mampu
membanggakan orang tua. “Dengan menyelesaikan pendidikan tepat waktu dapat
meringankan beban orang tua dalam hal biaya,†ujar wanita yang lahir 8 Desember
1996 ini.
Hal ini pula yang
membentuk dirinya dapat memposisikan sesuatu yang menjadi prioritas. Iya,
profesinya menjadi dokter juga harus menyita waktu pribadi maupun waktu bersama
keluarga. “Karena menjadi dokter itu berhubungan dengan nyawa seseorang, harus
diutamakan,†ucap dr Fia yang pernah membuat karya ilmiah soal nanas
parigi Barsel itu.