BADAN Pengawas
Pemilu (Bawaslu) Pusat, bulan lalu menemukan indikasi adanya politisasi dana
bansos covid 19 di beberapa daerah. Indikasi politisasi tersebut karena momen
pembagian bansos pada tahun yang sama dengan Pilkada 2020 Desember nanti.
Ketua Bawaslu, Abhan mengatakan “
Politisasi Dana Bansos sudah terjadi, memang modusnya ada beberapa hal sial
bansos ini terkait penanganan Covid,†Ujarnya dalam sebuah diskusi yang digelar
secara daring, Selasa (5/5/2020).
Politisasi bansos jelang Pilkada ini
banyak modusnya. Bawaslu merinci, modusnya, pertama pencitraan dengan
menempelkan foto pada plastik atau kardus sembako. Kedua, untuk bantuan via
tranfer, ada simbolisasi kepala daerah dikemas dengan jargon politik atau
kampanye, biasanya dilakukan yang separtai dengan warna penguasa. Ketiga,
bansos tidak mengatasnamakan pemerintah tetapi atas nama pribadi kepala daerah
petahana yang akan maju lagi dalam Pilkada 2020.
Modus tersebut berdasarkan temuan
Bawaslu di beberapa daerah. Misalnya yang ramai ada di Klaten. Viral, pembagian
paker bansos dengan gambar kepala daerah calon petahana. Dugaan serupa juga
terjadi di Kota Semarang, dan Sulawesi Tenggara. Foto foto calon petahana
tersebut nempel dalam paket pembagian bansos.
Politisasi dana bansos ini modus lama.
Sulit memang dibuktikan. Tapi pernah ada yurisprudensi tahun 2013 di Mahkamah
Konstitusi. Tepatnya putusan MK nomor 79/PHPU.D.-XI/2013 terkait Pilkada
Gubernur Sumatera Selatan Juli 2013. Substansi dari putusan tersebut adalah membatalkan
kemenangan petahana Alex Noerdin-Ishak Mekki karena terbukti telah menggunakan
APBD untuk kepentingan kampanye dan juga terbukti melakukan politisasi
birokrasi dalam kategori bersifat terstruktur, sistematis dan masif.
Yaitu, memanfaatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Sumsel Tahun Anggaran 2013, bertanggal 21 Januari 2013, dengan
jumlah anggaran Rp.1.492.704.039.000 dan mengarahkan birokrasi untuk memilih
Petahana.
Ini adalah yurispuridensi dimana korupsi politik
sebagai bentuk segala cara untuk memperoleh kekuasaan dapat “dihukum†secara
aministrasi dalam proses Pilkada. Konsekuensinya, MK memerintahkan pemungutan
ulang di 5 daerah yaitu, kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Kabupaten Ogan
Komering Ulu, Kota Palembang, Kota Prabumulih, dan Kecamatan Warkuk Ranau
Selatan di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan.
MK juga memerintahkan KPU, KPU Sumatra Selatan, Badan
Pengawas Pemilihan Umum dan Bawaslu Sumsel, melaporkan pelaksanaan amar putusan
ini dalam waktu paling lambat 90 hari setelah dibacakan putusan.
Lebih jauh, Majelis hakim dalam kasus tersebut menilai
pemberian dana bantuan sosial itu tidak wajar, selektif dan terkesan dipaksakan
menjelang pelaksanaan Pilkada sehingga patut diduga adanya kampanye yang terselubung
oleh petahana. Dari hal tersebut, majelis hakim berpendapat pemberian tersebut
secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi pilihan dan para pemilih
dan secara khusus menguntungkan petahana. Sehingga Pilkada harus diulang di
beberapa daerah yang terbukti telah terjadi pelanggaran tersebut.
Ibrahim Fahy Badoh dalam buku Korupsi Pemilu (2010)
menjelaskan fenomena diatas dapat disebut sebagai abuse of power.
Menurutnya, Induk semang dari tidak managabelnya pendanaan politik (political
financing) dalam Pemilu, sehingga timbuk korupsi politik, berangkat dari
penyalahgunaan jabatan/kewenangan (abuse of power).
Dalam ilmu ekonomi politik fenomena
diatas di kenal dengan political budget cycling dimana motif utamanya terjadi karena
petahana ingin menang kembali. Lalu memanfaatkan pengeluaran anggaran daerah
program yang populis. Salah satunya yaitu bansos.
Memang sangat disayangkan, bansos untuk masyarakat
terdampak pandemi justru dipolitisasi oleh oknum untuk kepentingan pilkada di
beberapa daerah seperti temuan Bawaslu. Menyikapi hal tersebut kabarnya
Mendagri sedang merancang aturan khusus dan tegas agar tindakan kurang terpuji
tersebut tidak terjadi.
Semoga hal diatas tidak terjadi di Kalteng ya. Saya
yakin tidak akan terjadi karena pemimpinnya amanah. Amin. (*)