26.3 C
Jakarta
Wednesday, November 27, 2024

Rahasia Bukan

Hukum melarang pengungkapan
data pasien dan penyakitnya. 

Itulah bunyi teks di hukum
positif.

Ada apa? Apa pula konteksnya?
Bolehkah kita menerjemahkan teks itu disesuaikan dengan konteksnya?

Terutama di saat wabah virus
Corona Covid-19 sudah menjadi pandemik? Bahkan seandainya masih tingkat
epidemik sekali pun?

Saya membaca surat edaran dari
Gereja Reformed Injili Indonesia Serpong. Dekat Jakarta. Yang beredar luas di
medsos. Yang memberitahukan meninggalnya pimpinan kor gereja. Akibat Covid-19.
Disebut nama lengkapnya.

Bagus sekali surat itu.
Disebutkan ruang mana saja di gereja tersebut yang pernah disinggahi mendiang.
Agar jemaat tahu dan hati-hati. Pihak gereja sendiri sudah melakukan
pembersihan tempat-tempat tersebut sesuai dengan persyaratan kesehatan.

Saya juga menonton televisi
soal Menteri Perhubungan yang terkena Covid-19. Juga tampilnya pasien No 1 dan
No 2 di TV –setelah sembuh dari Covid-19.

Semua itu memberi pengaruh baik
kepada publik.

Tapi orang juga bisa bingung:
mana yang harus dirahasiakan dan mana yang tidak. Bisa jadi yang tampil-tampil
di TV itu memang sudah mengizinkan dirinya diungkap di publik.

Atau seperti maha bintang film
Tom Hanks dan isterinya yang justru berinisiatif mengakui sendiri terkena
Covid-19. Lantas tiap hari menceritakan perkembangan kesehatannya. Sampai
akhirnya dinyatakan sembuh. 

Saya mencoba menduga: mengapa
semua itu menjadi rahasia yang dijamin UU.

Mungkin saja memang ada jenis
penyakit yang bisa membuat pasien malu: Sipilis, Aids, dan seterusnya.

Baca Juga :  Bolehkah Olahraga Saat Sedang Flu?

Mungkin juga ada penyakit yang
membuat penderitanya dikucilkan. Seperti Lepra. 

Ada pula yang bisa berpengaruh
pada keselamatan dari ancaman. Baik ancaman politik maupun bisnis. 

Misalnya: begitu terdengar
desas-desus Bung Karno lagi sakit parah maka terjadilah perebutan kekuasaan
–daripada didahului lebih baik mendahului. Maka lahirlah gerakan menggulingkan
Bung Karno. Terjadilah tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia
modern. Di tahun 1965-1966.

Padahal mungkin saja itu
terjadi justru karena sakit ginjalnya Bung Karno dirahasiakan. Yang muncul
akhirnya desas-desus. Bisa dirumorkan lebih parah dari sakit aslinya. Rumor
yang beredar di akhir September 1965 itu: sakitnya Bung Karno sangat parah dan
kemungkinan segera meninggal.

Dalam hal ini merahasiakan
sakitnya Bung Karno justru menimbulkan bencana.

Di era modern banyak pemimpin
negara yang membuka diri. Lee Shien Long dari Singapura justru menceritakan
secara detail penyakitnya. Saat ia terkena kanker. 

Padahal sistem politik di
Singapura sangat mungkin untuk merahasiakannya.

Bisa juga terjadi: politisi
takut diberitakan sakit. Takut kalau posisi politiknya terancam. Bisa-bisa
di-PAW. Atau di-reshuffle.

Pengusaha juga takut
diberitakan sakit: harga sahamnya bisa turun. Atau bank tidak mau lagi memberi
pinjaman. Atau lawan bisnisnya menyiapkan strategi menjatuhkannya.

Saya tidak tahu dalam konteks
yang mana penyakit sekarang ini dirahasiakan berikut identitas pasiennya. Kok
tidak dibuat kategori mana yang rahasia dan mana yang tidak. Tentu ada asbabunnuzulnya. 

Atau jangan-jangan itu hanya copy
paste
 dari UU sejenis di luar negeri –yang konteks sosialnya
berbeda.

Baca Juga :  Pemko Terus Benahi Sistem Pelayanan Publik

Saya tentu setuju merahasiakan
pasien dan penyakitnya. Tapi hanya untuk bidang tertentu dengan alasan
tertentu. 

Sedang Covid-19?

Menurut saya justru harus
dibuka. Selebar-lebarnya. Seperti yang dimaksud dalam UU Keterbukaan Informasi.

Covid-19 adalah wabah.
Kategorinya wabah tertinggi di dunia: pandemik.

Apakah Civid-19 merupakan
penyakit yang memalukan? Sama sekali tidak. 

Semua orang bisa tertular
–termasuk yang tidak bersalah sama sekali pun.

Apakah Covid-19 membahayakan
posisi politik penderita? Sama sekali tidak. Seandainya membahayakan sekali pun
tidak relevan lagi. Membahayakan umum lebih bahaya dari pada membahayakan
pribadi. Kecepatan penularan Covid-19 ini begitu tinggi. UU tersebut justru
bisa kita tuduh sebagai salah satu pendorong percepatan penularannya.

Mungkin Mohammad Sholeh (DI’s
Way:Pemuda Sholeh)
perlu turun tangan. Apalagi ia juga baru sukses menggugat kenaikan iuran BPJS.

Pemerintah –atas dorongan
Ikatan Dokter Indonesia (IDI)– juga bisa turun tangan.

Rasanya kita semua perlu tahu
siapa di antara lingkungan kita yang sudah tertular. Agar dengan cepat bisa melakukan
pencegahan.

Menurut perhitungan saya jumlah
yang meninggal di Italia sudah akan lebih besar dari yang meninggal di
Tiongkok. Besok atau lusa. Bahkan mungkin hari ini.

Keterlambatan penanganan
Covid-19 bisa meruntuhkan negara. Kita bukan negara kaya yang punya banyak
tabungan.

Kita sudah tidak lagi seperti
kolam susunya Koes Plus.(dahlan iskan)

 

Hukum melarang pengungkapan
data pasien dan penyakitnya. 

Itulah bunyi teks di hukum
positif.

Ada apa? Apa pula konteksnya?
Bolehkah kita menerjemahkan teks itu disesuaikan dengan konteksnya?

Terutama di saat wabah virus
Corona Covid-19 sudah menjadi pandemik? Bahkan seandainya masih tingkat
epidemik sekali pun?

Saya membaca surat edaran dari
Gereja Reformed Injili Indonesia Serpong. Dekat Jakarta. Yang beredar luas di
medsos. Yang memberitahukan meninggalnya pimpinan kor gereja. Akibat Covid-19.
Disebut nama lengkapnya.

Bagus sekali surat itu.
Disebutkan ruang mana saja di gereja tersebut yang pernah disinggahi mendiang.
Agar jemaat tahu dan hati-hati. Pihak gereja sendiri sudah melakukan
pembersihan tempat-tempat tersebut sesuai dengan persyaratan kesehatan.

Saya juga menonton televisi
soal Menteri Perhubungan yang terkena Covid-19. Juga tampilnya pasien No 1 dan
No 2 di TV –setelah sembuh dari Covid-19.

Semua itu memberi pengaruh baik
kepada publik.

Tapi orang juga bisa bingung:
mana yang harus dirahasiakan dan mana yang tidak. Bisa jadi yang tampil-tampil
di TV itu memang sudah mengizinkan dirinya diungkap di publik.

Atau seperti maha bintang film
Tom Hanks dan isterinya yang justru berinisiatif mengakui sendiri terkena
Covid-19. Lantas tiap hari menceritakan perkembangan kesehatannya. Sampai
akhirnya dinyatakan sembuh. 

Saya mencoba menduga: mengapa
semua itu menjadi rahasia yang dijamin UU.

Mungkin saja memang ada jenis
penyakit yang bisa membuat pasien malu: Sipilis, Aids, dan seterusnya.

Baca Juga :  Bolehkah Olahraga Saat Sedang Flu?

Mungkin juga ada penyakit yang
membuat penderitanya dikucilkan. Seperti Lepra. 

Ada pula yang bisa berpengaruh
pada keselamatan dari ancaman. Baik ancaman politik maupun bisnis. 

Misalnya: begitu terdengar
desas-desus Bung Karno lagi sakit parah maka terjadilah perebutan kekuasaan
–daripada didahului lebih baik mendahului. Maka lahirlah gerakan menggulingkan
Bung Karno. Terjadilah tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia
modern. Di tahun 1965-1966.

Padahal mungkin saja itu
terjadi justru karena sakit ginjalnya Bung Karno dirahasiakan. Yang muncul
akhirnya desas-desus. Bisa dirumorkan lebih parah dari sakit aslinya. Rumor
yang beredar di akhir September 1965 itu: sakitnya Bung Karno sangat parah dan
kemungkinan segera meninggal.

Dalam hal ini merahasiakan
sakitnya Bung Karno justru menimbulkan bencana.

Di era modern banyak pemimpin
negara yang membuka diri. Lee Shien Long dari Singapura justru menceritakan
secara detail penyakitnya. Saat ia terkena kanker. 

Padahal sistem politik di
Singapura sangat mungkin untuk merahasiakannya.

Bisa juga terjadi: politisi
takut diberitakan sakit. Takut kalau posisi politiknya terancam. Bisa-bisa
di-PAW. Atau di-reshuffle.

Pengusaha juga takut
diberitakan sakit: harga sahamnya bisa turun. Atau bank tidak mau lagi memberi
pinjaman. Atau lawan bisnisnya menyiapkan strategi menjatuhkannya.

Saya tidak tahu dalam konteks
yang mana penyakit sekarang ini dirahasiakan berikut identitas pasiennya. Kok
tidak dibuat kategori mana yang rahasia dan mana yang tidak. Tentu ada asbabunnuzulnya. 

Atau jangan-jangan itu hanya copy
paste
 dari UU sejenis di luar negeri –yang konteks sosialnya
berbeda.

Baca Juga :  Pemko Terus Benahi Sistem Pelayanan Publik

Saya tentu setuju merahasiakan
pasien dan penyakitnya. Tapi hanya untuk bidang tertentu dengan alasan
tertentu. 

Sedang Covid-19?

Menurut saya justru harus
dibuka. Selebar-lebarnya. Seperti yang dimaksud dalam UU Keterbukaan Informasi.

Covid-19 adalah wabah.
Kategorinya wabah tertinggi di dunia: pandemik.

Apakah Civid-19 merupakan
penyakit yang memalukan? Sama sekali tidak. 

Semua orang bisa tertular
–termasuk yang tidak bersalah sama sekali pun.

Apakah Covid-19 membahayakan
posisi politik penderita? Sama sekali tidak. Seandainya membahayakan sekali pun
tidak relevan lagi. Membahayakan umum lebih bahaya dari pada membahayakan
pribadi. Kecepatan penularan Covid-19 ini begitu tinggi. UU tersebut justru
bisa kita tuduh sebagai salah satu pendorong percepatan penularannya.

Mungkin Mohammad Sholeh (DI’s
Way:Pemuda Sholeh)
perlu turun tangan. Apalagi ia juga baru sukses menggugat kenaikan iuran BPJS.

Pemerintah –atas dorongan
Ikatan Dokter Indonesia (IDI)– juga bisa turun tangan.

Rasanya kita semua perlu tahu
siapa di antara lingkungan kita yang sudah tertular. Agar dengan cepat bisa melakukan
pencegahan.

Menurut perhitungan saya jumlah
yang meninggal di Italia sudah akan lebih besar dari yang meninggal di
Tiongkok. Besok atau lusa. Bahkan mungkin hari ini.

Keterlambatan penanganan
Covid-19 bisa meruntuhkan negara. Kita bukan negara kaya yang punya banyak
tabungan.

Kita sudah tidak lagi seperti
kolam susunya Koes Plus.(dahlan iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru