26.5 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Merdeka Belajar

MERDEKA Belajar sebagai paket kebijakan Mendikbud
milenial, Nadiem Makarim, sudah masuk ke episode ketiga. Kebijakan ini masih
menghadirkan beragam pertanyaan di kalangan masyarakat termasuk para insan
pendidikan. Bukankah Indonesia sudah merdeka sejak 17 Agustus 2045? Mengapa
sekarang baru disuruh merdeka? Apakah maksud dari dan tujuan dari kebijakan
ini?

Seorang novelis Amerika Serikat bernama Walter Mosley mengatakan, “Freedom
is a state of mind, our bodies cannot know absolute freedom but our minds can (red:
kemerdekaan adalah suatu kondisi pikiran, badan kita tidak akan pernah
merasakan kemerdekaan yang mutlak tetapi pikiran kita bisa).”

Jika kemerdekaan berhubungan dengan pikiran maka kemerdekaan akan
berhubungan dengan tingkat penalaran. Dalam dunia pendidikan, klasifikasi
tingkat penalaran ini sering disebut taksonomi. Di abad 21, taksonomi sering
dijadikan acuan dalam dunia pendidikan, adalah karya Lorin Anderson dan David
Krathwohl (200), yang lebih dikenal dengan istilah penalaran tingkat lebih tinggi
atau Higher Order Thinking Skills (HOTS). HOTS merupakan revisi dari taksonomi
yang disusun oleh Benjamin Bloom tahun 1956.

Dalam konsep HOTS terdapat enam tingkatan kemampuan bernalar manusia,
dimulai dari yang paling rendah yakni mengingat / menghafal (remembering), kemudian memahami (understanding), mengaplikasi /
menerapkan (applying), menganalisa (analyzing), mengevaluasi / menilai (evaluating), dan tingkatan yang paling
tinggi adalah mencipta (creating).

Kemampuan berpikir menghafal, memahami dan menerapkan disebut dengan
penalaran dengan tingkat yang lebih rendah (Lower
Order Thinking Skills
), sedangkan untuk kemampuan menganalisa,
mengevaluasi, dan menciptakan termasuk ke dalam kategori kemampuan berpikir
tingkat yang lebih tinggi (Higher Order
Thinking Skills
).

Banyak pendidik yang sangat yakin bahwa mengingat / menghafal adalah konsep
yang paling penting dalam pendidikan, seringkali saya terlibat dalam
perbedebatan ini.

Menurut saya, otak manusia bukan diciptakan untuk menyimpan informasi. Terbukti
dengan segala sesuatu yang kita hafalkan sebagian besar akan kita lupakan.
Terbukti apabila seseorang belajar dengan pola SKS (sistem kebut semalam) saat
menghadapi ujian pada keesokan hari, walaupun pola ini cukup bermanfaat untuk
menghadapi ujian, namun setelah ujian biasanya materi-materi tersebut akan
terlupakan. Artinya apa yang sudah dipelajari tidak bermanfaat untuk hidup
karena sudah dilupakan.

Baca Juga :  Sebut Punya Chemistry, Sugianto Sabran Daftar ke Gerindra

Hal ini ditegaskan oleh kajian seorang psikolog Jerman yang bernama Hermann
Ebbinghaus dengan Kurva Lupa Manusia (Human
Forgetting Curve
). Ini yang membuat menghafal ditempatkan di tingkat nalar
yang paling rendah. Tingkatan selanjutnya adalah memahami.

Contoh, apabila anak-anak sekolah diberikan pertanyaan sebagai berikut:
Dimanakah tempat yang paling tepat untuk membuat sampah?  a. Laut ; b. Sungai ;  c. Trotoar d. Tong Sampah.

Kita akan sangat yakin bahwa semuanya akan menjawab d. Tong Sampah dengan
benar.

Walaupun secara teori mereka sudah tahu jawaban yang benar tetapi hal ini
bukan berarti dalam kehidupan sehari-hari anak-anak tersebut mampu dan mau
membuang sampah di tong sampah. Jadi dalam tingkat nalar ini, mereka hanya
mampu memahami teori saja tanpa mempu mempraktikkan.

Sedangkan bagi mereka yang sudah mampu membuang sampah di tong sampah ada
dua kemungkinan tingkat penalarannya. Yang termasuk dalam penalaran tingkat
yang lebih rendah (LOTS) adalah mereka yang walaupun mampu mengaplikasikan /
mempraktikkan dalam tindakan nyata namun mereka tidak tahu mengapa mereka
melakukan hal tersebut. Biasanya, mereka hanya merasa terpaksa, wajib, atau
takut dengan hukuman.

Jadi mereka ini ketika ditanya mengapa membuang sampah di tong sampah,
jawabannya akan berkisar karena sudah aturan sekolah, nanti dimarahi / dihukum
oleh guru atau orang tua, nanti tidak naik kelas, dan lain sebagainya. Di sini
menunjukkan bahwa faktor ekstrinsik (luar diri) jauh lebih dominan daripada
faktor intriksik (dalam diri) dalam pengambilan keputusan.

Sebaliknya, bagi mereka yang mampu menjelaskan alasan membuang sampah di
tong sampah seperti: untuk menjaga kesehatan dan keindahan lingkungan; untuk
menghindari banjir; untuk menghindari penyakit; dan lain-lain. Tingkat nalar
mereka sudah di level Analisa, dalam arti mereka mampu menganalisa sendiri
tindakan yang dilakukan dari sebab sampai akibatnya. Mereka tidak sekedar ikut
perintah dalam melakukan sesuatu tetapi dengan kesadaran penuh. Tingkat
bernalar ini sudah masuk tingkat penalaran lebih tinggi (Higher Order Thinking
Skills).

Baca Juga :  Penyemprotan Cairan Desinfektan di Fasilitas Umum Cegah Penyebaran Vir

Tingkat bernalar yang lebih tinggi lagi adalah evaluasi. Mereka  yang memiliki kemampuan berpikir di level ini
ini, akan melihat sampah bukan sekedar sampah yang harus dibuang di tong
sampah, tetapi mereka bisa mengevaluasi sampah itu berbagai ragamnya, ada yang
mudah didaur ulang dan ada juga yang sulit sekali didaur ulang seperti sampah
plastik. Oleh karenanya, mereka memisahkan sampah-sampah tersebut berdasarkan
jenisnya mulai dari sampah kertas, plastik, organic, dan lainnya. Mereka mampu
mengevaluasi tindakannya sendiri.

Tingkat keterampilan berpikir paling tinggi dalam HOTS adalah menciptakan.
Di sinilah manusia mampu menciptakan hal yang baru atau membuat gerakan baru
untuk suatu perubaan nyata. Misalnya dengan membuat pupuk kompos dari sampah,
menciptakan karya dari bahan sampah (daur ulang), maupun membuat sebuah gerakan
sekolah / kampung bebas sampah.

Dengan demikian jelaslah perbedaan antara nalar rendah yang dalam bertindak
hanya sebatas ikut perintah orang lain, tidak memiliki pilihan karena kewajiban
semata, dan biasanya akan merasa ditekan (tidak merdeka). Sedangkan mereka yang
bernalar tinggi adalah orang-orang yang selalu punya pilihan (merdeka) karena
mereka sadar penuh sebab dan akibat segala tindakan yang dilakukannya. Konsep
nalar inilah yang mendasari program Merdeka Belajar.

Sebenarnya konsep ini pertama kali dicetuskan oleh Bapak Pendidikan
Indonesia, Ki Hadjar Dewantara dengan rumus Ngandel
– Kandel – Kendel – Bandel
.

Ngandel artinya percaya, jika kita percaya terhadap
pemikiran sendiri maka kita tidak akan mudah tergoyahkan oleh pendapat orang
lain (kandel atau tebal). Jika kita tidak tergoyahkan maka kita akan berani (kendel) menghadapi siapa pun dalam
beragumentasi. Dan orang-orang yang berani ini biasanya disebut bandel.

Program Merdeka Belajar ingin mendorong manusia Indonesia yang cerdas dan
mampu bertindak tanpa diperintah. Belajar karena butuh belajar bukan karena
hanya ada Ujian Nasional saja. Konsep bernalar tinggi inilah yang menjadi
fondasi dari SDM Unggul Indonesia. (*)

(Penulis adalah Direktur Pendidikan VOX Populi Institute Indonesia)

 

MERDEKA Belajar sebagai paket kebijakan Mendikbud
milenial, Nadiem Makarim, sudah masuk ke episode ketiga. Kebijakan ini masih
menghadirkan beragam pertanyaan di kalangan masyarakat termasuk para insan
pendidikan. Bukankah Indonesia sudah merdeka sejak 17 Agustus 2045? Mengapa
sekarang baru disuruh merdeka? Apakah maksud dari dan tujuan dari kebijakan
ini?

Seorang novelis Amerika Serikat bernama Walter Mosley mengatakan, “Freedom
is a state of mind, our bodies cannot know absolute freedom but our minds can (red:
kemerdekaan adalah suatu kondisi pikiran, badan kita tidak akan pernah
merasakan kemerdekaan yang mutlak tetapi pikiran kita bisa).”

Jika kemerdekaan berhubungan dengan pikiran maka kemerdekaan akan
berhubungan dengan tingkat penalaran. Dalam dunia pendidikan, klasifikasi
tingkat penalaran ini sering disebut taksonomi. Di abad 21, taksonomi sering
dijadikan acuan dalam dunia pendidikan, adalah karya Lorin Anderson dan David
Krathwohl (200), yang lebih dikenal dengan istilah penalaran tingkat lebih tinggi
atau Higher Order Thinking Skills (HOTS). HOTS merupakan revisi dari taksonomi
yang disusun oleh Benjamin Bloom tahun 1956.

Dalam konsep HOTS terdapat enam tingkatan kemampuan bernalar manusia,
dimulai dari yang paling rendah yakni mengingat / menghafal (remembering), kemudian memahami (understanding), mengaplikasi /
menerapkan (applying), menganalisa (analyzing), mengevaluasi / menilai (evaluating), dan tingkatan yang paling
tinggi adalah mencipta (creating).

Kemampuan berpikir menghafal, memahami dan menerapkan disebut dengan
penalaran dengan tingkat yang lebih rendah (Lower
Order Thinking Skills
), sedangkan untuk kemampuan menganalisa,
mengevaluasi, dan menciptakan termasuk ke dalam kategori kemampuan berpikir
tingkat yang lebih tinggi (Higher Order
Thinking Skills
).

Banyak pendidik yang sangat yakin bahwa mengingat / menghafal adalah konsep
yang paling penting dalam pendidikan, seringkali saya terlibat dalam
perbedebatan ini.

Menurut saya, otak manusia bukan diciptakan untuk menyimpan informasi. Terbukti
dengan segala sesuatu yang kita hafalkan sebagian besar akan kita lupakan.
Terbukti apabila seseorang belajar dengan pola SKS (sistem kebut semalam) saat
menghadapi ujian pada keesokan hari, walaupun pola ini cukup bermanfaat untuk
menghadapi ujian, namun setelah ujian biasanya materi-materi tersebut akan
terlupakan. Artinya apa yang sudah dipelajari tidak bermanfaat untuk hidup
karena sudah dilupakan.

Baca Juga :  Sebut Punya Chemistry, Sugianto Sabran Daftar ke Gerindra

Hal ini ditegaskan oleh kajian seorang psikolog Jerman yang bernama Hermann
Ebbinghaus dengan Kurva Lupa Manusia (Human
Forgetting Curve
). Ini yang membuat menghafal ditempatkan di tingkat nalar
yang paling rendah. Tingkatan selanjutnya adalah memahami.

Contoh, apabila anak-anak sekolah diberikan pertanyaan sebagai berikut:
Dimanakah tempat yang paling tepat untuk membuat sampah?  a. Laut ; b. Sungai ;  c. Trotoar d. Tong Sampah.

Kita akan sangat yakin bahwa semuanya akan menjawab d. Tong Sampah dengan
benar.

Walaupun secara teori mereka sudah tahu jawaban yang benar tetapi hal ini
bukan berarti dalam kehidupan sehari-hari anak-anak tersebut mampu dan mau
membuang sampah di tong sampah. Jadi dalam tingkat nalar ini, mereka hanya
mampu memahami teori saja tanpa mempu mempraktikkan.

Sedangkan bagi mereka yang sudah mampu membuang sampah di tong sampah ada
dua kemungkinan tingkat penalarannya. Yang termasuk dalam penalaran tingkat
yang lebih rendah (LOTS) adalah mereka yang walaupun mampu mengaplikasikan /
mempraktikkan dalam tindakan nyata namun mereka tidak tahu mengapa mereka
melakukan hal tersebut. Biasanya, mereka hanya merasa terpaksa, wajib, atau
takut dengan hukuman.

Jadi mereka ini ketika ditanya mengapa membuang sampah di tong sampah,
jawabannya akan berkisar karena sudah aturan sekolah, nanti dimarahi / dihukum
oleh guru atau orang tua, nanti tidak naik kelas, dan lain sebagainya. Di sini
menunjukkan bahwa faktor ekstrinsik (luar diri) jauh lebih dominan daripada
faktor intriksik (dalam diri) dalam pengambilan keputusan.

Sebaliknya, bagi mereka yang mampu menjelaskan alasan membuang sampah di
tong sampah seperti: untuk menjaga kesehatan dan keindahan lingkungan; untuk
menghindari banjir; untuk menghindari penyakit; dan lain-lain. Tingkat nalar
mereka sudah di level Analisa, dalam arti mereka mampu menganalisa sendiri
tindakan yang dilakukan dari sebab sampai akibatnya. Mereka tidak sekedar ikut
perintah dalam melakukan sesuatu tetapi dengan kesadaran penuh. Tingkat
bernalar ini sudah masuk tingkat penalaran lebih tinggi (Higher Order Thinking
Skills).

Baca Juga :  Penyemprotan Cairan Desinfektan di Fasilitas Umum Cegah Penyebaran Vir

Tingkat bernalar yang lebih tinggi lagi adalah evaluasi. Mereka  yang memiliki kemampuan berpikir di level ini
ini, akan melihat sampah bukan sekedar sampah yang harus dibuang di tong
sampah, tetapi mereka bisa mengevaluasi sampah itu berbagai ragamnya, ada yang
mudah didaur ulang dan ada juga yang sulit sekali didaur ulang seperti sampah
plastik. Oleh karenanya, mereka memisahkan sampah-sampah tersebut berdasarkan
jenisnya mulai dari sampah kertas, plastik, organic, dan lainnya. Mereka mampu
mengevaluasi tindakannya sendiri.

Tingkat keterampilan berpikir paling tinggi dalam HOTS adalah menciptakan.
Di sinilah manusia mampu menciptakan hal yang baru atau membuat gerakan baru
untuk suatu perubaan nyata. Misalnya dengan membuat pupuk kompos dari sampah,
menciptakan karya dari bahan sampah (daur ulang), maupun membuat sebuah gerakan
sekolah / kampung bebas sampah.

Dengan demikian jelaslah perbedaan antara nalar rendah yang dalam bertindak
hanya sebatas ikut perintah orang lain, tidak memiliki pilihan karena kewajiban
semata, dan biasanya akan merasa ditekan (tidak merdeka). Sedangkan mereka yang
bernalar tinggi adalah orang-orang yang selalu punya pilihan (merdeka) karena
mereka sadar penuh sebab dan akibat segala tindakan yang dilakukannya. Konsep
nalar inilah yang mendasari program Merdeka Belajar.

Sebenarnya konsep ini pertama kali dicetuskan oleh Bapak Pendidikan
Indonesia, Ki Hadjar Dewantara dengan rumus Ngandel
– Kandel – Kendel – Bandel
.

Ngandel artinya percaya, jika kita percaya terhadap
pemikiran sendiri maka kita tidak akan mudah tergoyahkan oleh pendapat orang
lain (kandel atau tebal). Jika kita tidak tergoyahkan maka kita akan berani (kendel) menghadapi siapa pun dalam
beragumentasi. Dan orang-orang yang berani ini biasanya disebut bandel.

Program Merdeka Belajar ingin mendorong manusia Indonesia yang cerdas dan
mampu bertindak tanpa diperintah. Belajar karena butuh belajar bukan karena
hanya ada Ujian Nasional saja. Konsep bernalar tinggi inilah yang menjadi
fondasi dari SDM Unggul Indonesia. (*)

(Penulis adalah Direktur Pendidikan VOX Populi Institute Indonesia)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru