26.7 C
Jakarta
Monday, November 25, 2024

313 Ahmadiyah

Ada 30 orang Indonesia di sini
–sebagian besar untuk kuliah.

Desa Qadian memang tidak lagi
menjadi pusat aliran Islam Ahmadiyah. Tapi masih tetap dipertahankan sebagai
salah satu pusatnya.

Bahkan ketika umumnya orang Islam
mengungsi ke Pakistan tempat ini dipertahankan mati-matian.

“Waktu itu pimpinan
Ahmadiyah menugaskan 313 orang untuk mempertahankan tempat ini,” ujar
Saifullah Mubarak, asal Solok Sumbar.

“Jumlah itu sama dengan
pasukan yang diperintahkan oleh Rasulullah untuk perang Badr,” tambahnya.
“Sebenarnya kan tidak ada niat untuk perang. Hanya mempertahankan diri.
Tapi akhirnya terjadilah perang Badr itu,” tambahnya.

Saifullah sudah menetap di
Qadian. Sudah kawin dengan wanita Punjab.

Waktu itu umumnya orang Islam di
Punjab (India) mengungsi ke Pakistan. Semua orang Hindu di Punjab (Pakistan)
mengungsi ke India.

Terjadinya begitu mendadak. Dalam
satu hari. Kisruh dan rusuh. Saling bunuh. Jutaan orang meninggal.

Itu tahun 1947. Ketika Inggris
memutuskan memerdekakan wilayah itu menjadi dua negara: India dan Pakistan.

Itu tahun 1947 –ketika di
Indonesia berlangsung perundingan Linggarjati –di pegunungan Kabupaten
Kuningan dekat Cirebon.

Di perundingan itu Belanda baru
mengakui kemerdekaan Indonesia sebatas untuk Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.

Di Punjab, kemerdekaan itu
berarti kesengsaraan.

Itu tercatat sebagai salah satu
tragedi kemanusiaan terbesar di dunia.

Orang-orang Ahmadiyah juga
mengungsi ke Pakistan. Pusat Ahmadiyah pun di pindah ke Lahore –sekitar 100 km
di balik garis yang ditentukan Inggris sebagai perbatasan.

Pasca pengungsian masal ini nasib
Ahmadiyah tidak lebih baik. Dari minoritas di negara Hindu ke minoritas di
negara Islam.

Yakni setelah mayoritas Islam di
Pakistan memusuhi Ahmadiyah habis-habisan.

Terjadilah tragedi kemanusiaan
yang lain. Di sesama orang Islam. Begitu banyak yang meninggal.

Ahmadiyah pun terusir lagi. Kali
ini mereka mengungsi jauh –ke Inggris. Menjadi minoritas lagi –di negara
Kristen.

Bagi Ahmadiyah menjadi minoritas
di negara Hindu ternyata lebih baik daripada menjadi minoritas di negara Islam.

Demikian juga ketika menjadi
minoritas di negara Kristen.

Di Inggris Ahmadiyah bisa
berkembang. Sampai mendirikan TV Islam.

Saya sempat salat Jumat di masjid
Ahmadiyah dekat Wimbledon. Yang tertua di sekitar London.

Berkat 313 orang itulah pusat
Ahmadiyah di Qadian bertahan sampai sekarang. Saya pun tidak menyangka ada 30
orang Indonesia belajar di sini.

Untuk ke Desa Qadian saya harus
melakukan perjalanan 35 km. Dari hotel saya di pusat kota suci agama Sikh
Amritsar –ke arah luar kota.

Setelah tiba di satu kota
kecamatan saya harus benar-benar masuk desa. Lewat jalan kecil yang meliuk-liuk
di tengah sawah.

Dari sawah ini terlihat pagar
tembok panjang sekali. Dari bentuk temboknya saya pikir di baliknya ada situs
sejarah kuno.

Sopir saya tidak tahu bangunan
apa di balik pagar panjang itu.

Ternyata kami berbelok ke arah
pagar itu. Google Map justru mengarahkan kami ke situ.

Baca Juga :  HARATI Bertekad Sejahterakan Nelayan

Di balik pagar itulah kampung
Ahmadiyah.

Ups… Salah.

Di balik pagar itulah makam
pendiri Ahmadiyah –Mirza Ghulam Ahmad.

Untuk memasuki pagar ini kami
harus melewati pos pemeriksaan. Harus pula ada izin dari pengurus.

Saya pun berjalan kaki sekitar
200 meter. Ke kampung dekat makam itu.

Saya dipersilakan masuk ke salah
satu bangunan di situ. Oh… Kantor Ahmadiyah. Yang dari depan terlihat kecil.
Di dalamnya ternyata ruang besar.

Saya diminta masuk ke ruang yang
lebih dalam lagi. Juga besar. Dengan kursi-kursi tamu yang banyak.

Di situlah saya ditemui ustadz muda
asal Uttar Pradesh. Ramah dan cerdas. Ia kelihatan ingin menjelaskan panjang
lebar apa itu Ahmadiyah.

“Saya sudah tahu itu. Saya
ingin tahu soal lain,” sela saya.

Ia tidak tersinggung oleh selaan
saya itu. “Saya hanya punya waktu setengah jam di sini. Maafkan,”
kata saya.

“Alhamdulillah kalau sudah
tahu Ahmadiyah,” katanya.

“Saya pernah salat Jumat di
masjid Ahmadiyah di London,” kata saya.

Ia kian ramah.

“Maukah bertemu orang yang
asal Indonesia di sini?” katanya.

“Lho, ada? Mau sekali.”

Ia pun merogoh saku baju panjang
khas Indianya –ambil ponsel. Bicara-bicara.

“Lima menit lagi ia bisa
tiba di sini,” katanya.

Anak muda itu terus memohon agar
saya mau bermalam di situ. Ada guest house untuk saya.
Bahkan ia minta saya di situ selama satu minggu.

Yang dipanggil pun tiba.

“Masyaallah…Pak
menteri…,” sapanya. Kaget. “Alhamdulillah bisa bertemu justru di
sini,” tambahnya.

Itulah Saifullah Mubarak. Asal
Solok, Sumbar. Yang kawin dengan wanita setempat itu.

Saifullah lantas memperkenalkan
siapa saya –ke anak muda itu.

Saya langsung menyela: gak usah
disebut-sebut siapa saya.

Tapi kata minister sudah sempat
didengar anak muda itu.

“Kalau begitu silakan berdua
saja pakai bahasa Indonesia,” katanya.

Lalu pamit.

Masih banyak tamu yang harus ia
layani.

Belum lama ini, katanya, juga ada
rombongan tamu dari Makassar. Para guru besar dari universitas di Makassar.

Maka Saifullah-lah yang membawa
saya ‘Tour de Qadian’. Masuk-masuk ke kampung padat itu. Yang semuanya Islam.
Semuanya Ahmadiyah.

Saya juga diantar ke rumah tempat
Mirza Ghulam Ahmad lahir. Dari orang tuanya yang kaya raya –masih keturunan
keluarga kerajaan zaman dulu.

Sebenarnya sang ayah kecewa. Kok
Mirza tidak mau meneruskan usaha bapaknya. Mirza justru mendalami agama. Sangat
intens.

Umur 9 tahun Mirza sudah
menguasai soal agama. Ketika muda pun ia sangat sibuk mencari lawan debat.
Terutama dari kalangan misionaris Kristen. Yang pusatnya di Kota Ludhiana,
sekitar 120 km dari Qadian.

Mirza menjadikan Kota Ludhiana
sebagai pusat kegiatan misionarisnya. Termasuk di situlah Mirza membaiat para
pengikutnya. Untuk kali pertama.

Baca Juga :  Walikota Kurangi Jam Operasional THM, Maksimal Jam 9 Malam

Di situlah Mirza memproklamasikan
prinsip-prinsip keagamaannya. Misalnya: Isa (Yesus) itu memang nabi tapi
manusia biasa. Tubuh Isa tidak ditarik ke surga –sebagaimana diyakini dalam
Islam maupun Kristen.

Menarik jasad ke surga itu ia
anggap tidak masuk akal.

Jenazah Isa itu dikuburkan
seperti manusia biasa. Entah di mana dan oleh siapa. Saat itu keadaan kacau.

Mirza terus menantang debat misionaris
Kristen. Dengan topik itu. Lama-lama orang Islam juga menentang prinsipnya itu.

Suatu saat Mirza melawat jauh ke
Delhi. Nama Mirza sudah terkenal pun sampai ke Delhi.

Di ibu kota itu Mirza pasang
iklan: menantang siapa pun untuk berdebat terbuka.

Yang ia tantang ulama Islam. Juga
ulama Kristen.

Tempat debatnya Mirza sudah
menentukan: di Masjid Jama Old Delhi (DI’s Way: Indah Kumuh).

Cara debatnya pun Mirza yang
menentukan. Agar tidak terjadi debat kusir. Juga agar tidak ada yang salah
dalam mengutip apa yang sudah diucapkan.

Ucapan semua orang di arena itu
harus ditulis. Untuk dibacakan. Ada bukti –siapa mengucapkan apa.

Syarat lain: topiknya satu
persatu. Satu dulu yang diperdebatankan. Tidak boleh melebar ke topik lain.

Kali pertama itu topiknya soal
kematian Isa (Yesus) tadi.

Kian mendekati hari debat suasana
kian panas. Terutama dari kalangan Islam.

Mereka tidak mau topik debat
dibatasi. Harus juga membahas topik lain: mengapa Mirza menyebut dirinya
sebagai nabi.

Padahal, menurut keyakinan Islam,
nabi terakhir adalah Muhammad.

Setelah itu memang diyakini akan
ada orang hebat yang diturunkan ke bumi. Di akhir zaman nanti. Tapi itu adalah
Isa yang diangkat ke surga dulu. Bukan Mirza.

Pro-kontra terjadi. Kian keruh.
Di hari perdebatan masa sangat besar. Sulit diatur. Berpotensi bentrok.

Polisi Inggris membubarkan
mereka.

Saya juga diajak Saifullah ke
masjid pertama. Yang dibangun Mirza di dekat rumah bapaknya.

Awalnya tidak ada yang mau salat.
Lingkungan ini semua beragama Sikh. Atau Hindu.

“Makmum pertama Mirza adalah
orang yang dibayar untuk mau ikut salat,” kata Saifullah.

Lama-lama Islam berkembang di
situ. Ayahnya kian khawatir anaknya tidak mau jadi pengusaha.

Di akhir hidupnya sang ayah
bangga pada anaknya itu. 

Kini sudah ada masjid besar di
situ. Dengan menara-menara tinggi.

Saya lantas minta diantar ke
komplek pagar tembok panjang itu. Waktu saya sudah habis.

Ternyata itulah komplek makam
Mirza Ghulam Ahmad. Suasana di dalamnya seperti Taman Makam Pahlawan. Luas dan
indah. Dengan pohon-pohon besar dan taman yang luas.

Di ujung sana ada ribuan makam
lain. Itulah para pejuang Ahmadiyah.

Yang dimaksud pejuang adalah
termasuk mereka yang mau sedekah 10 persen dari penghasilannya.

Perpuluhan.

Kisah tentang 313 orang yang
mempertahankan Qadian sebenarnya sangat dramatik. Tapi apakah pembaca DI’s Way
mau? (Dahlan Iskan)

Ada 30 orang Indonesia di sini
–sebagian besar untuk kuliah.

Desa Qadian memang tidak lagi
menjadi pusat aliran Islam Ahmadiyah. Tapi masih tetap dipertahankan sebagai
salah satu pusatnya.

Bahkan ketika umumnya orang Islam
mengungsi ke Pakistan tempat ini dipertahankan mati-matian.

“Waktu itu pimpinan
Ahmadiyah menugaskan 313 orang untuk mempertahankan tempat ini,” ujar
Saifullah Mubarak, asal Solok Sumbar.

“Jumlah itu sama dengan
pasukan yang diperintahkan oleh Rasulullah untuk perang Badr,” tambahnya.
“Sebenarnya kan tidak ada niat untuk perang. Hanya mempertahankan diri.
Tapi akhirnya terjadilah perang Badr itu,” tambahnya.

Saifullah sudah menetap di
Qadian. Sudah kawin dengan wanita Punjab.

Waktu itu umumnya orang Islam di
Punjab (India) mengungsi ke Pakistan. Semua orang Hindu di Punjab (Pakistan)
mengungsi ke India.

Terjadinya begitu mendadak. Dalam
satu hari. Kisruh dan rusuh. Saling bunuh. Jutaan orang meninggal.

Itu tahun 1947. Ketika Inggris
memutuskan memerdekakan wilayah itu menjadi dua negara: India dan Pakistan.

Itu tahun 1947 –ketika di
Indonesia berlangsung perundingan Linggarjati –di pegunungan Kabupaten
Kuningan dekat Cirebon.

Di perundingan itu Belanda baru
mengakui kemerdekaan Indonesia sebatas untuk Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.

Di Punjab, kemerdekaan itu
berarti kesengsaraan.

Itu tercatat sebagai salah satu
tragedi kemanusiaan terbesar di dunia.

Orang-orang Ahmadiyah juga
mengungsi ke Pakistan. Pusat Ahmadiyah pun di pindah ke Lahore –sekitar 100 km
di balik garis yang ditentukan Inggris sebagai perbatasan.

Pasca pengungsian masal ini nasib
Ahmadiyah tidak lebih baik. Dari minoritas di negara Hindu ke minoritas di
negara Islam.

Yakni setelah mayoritas Islam di
Pakistan memusuhi Ahmadiyah habis-habisan.

Terjadilah tragedi kemanusiaan
yang lain. Di sesama orang Islam. Begitu banyak yang meninggal.

Ahmadiyah pun terusir lagi. Kali
ini mereka mengungsi jauh –ke Inggris. Menjadi minoritas lagi –di negara
Kristen.

Bagi Ahmadiyah menjadi minoritas
di negara Hindu ternyata lebih baik daripada menjadi minoritas di negara Islam.

Demikian juga ketika menjadi
minoritas di negara Kristen.

Di Inggris Ahmadiyah bisa
berkembang. Sampai mendirikan TV Islam.

Saya sempat salat Jumat di masjid
Ahmadiyah dekat Wimbledon. Yang tertua di sekitar London.

Berkat 313 orang itulah pusat
Ahmadiyah di Qadian bertahan sampai sekarang. Saya pun tidak menyangka ada 30
orang Indonesia belajar di sini.

Untuk ke Desa Qadian saya harus
melakukan perjalanan 35 km. Dari hotel saya di pusat kota suci agama Sikh
Amritsar –ke arah luar kota.

Setelah tiba di satu kota
kecamatan saya harus benar-benar masuk desa. Lewat jalan kecil yang meliuk-liuk
di tengah sawah.

Dari sawah ini terlihat pagar
tembok panjang sekali. Dari bentuk temboknya saya pikir di baliknya ada situs
sejarah kuno.

Sopir saya tidak tahu bangunan
apa di balik pagar panjang itu.

Ternyata kami berbelok ke arah
pagar itu. Google Map justru mengarahkan kami ke situ.

Baca Juga :  HARATI Bertekad Sejahterakan Nelayan

Di balik pagar itulah kampung
Ahmadiyah.

Ups… Salah.

Di balik pagar itulah makam
pendiri Ahmadiyah –Mirza Ghulam Ahmad.

Untuk memasuki pagar ini kami
harus melewati pos pemeriksaan. Harus pula ada izin dari pengurus.

Saya pun berjalan kaki sekitar
200 meter. Ke kampung dekat makam itu.

Saya dipersilakan masuk ke salah
satu bangunan di situ. Oh… Kantor Ahmadiyah. Yang dari depan terlihat kecil.
Di dalamnya ternyata ruang besar.

Saya diminta masuk ke ruang yang
lebih dalam lagi. Juga besar. Dengan kursi-kursi tamu yang banyak.

Di situlah saya ditemui ustadz muda
asal Uttar Pradesh. Ramah dan cerdas. Ia kelihatan ingin menjelaskan panjang
lebar apa itu Ahmadiyah.

“Saya sudah tahu itu. Saya
ingin tahu soal lain,” sela saya.

Ia tidak tersinggung oleh selaan
saya itu. “Saya hanya punya waktu setengah jam di sini. Maafkan,”
kata saya.

“Alhamdulillah kalau sudah
tahu Ahmadiyah,” katanya.

“Saya pernah salat Jumat di
masjid Ahmadiyah di London,” kata saya.

Ia kian ramah.

“Maukah bertemu orang yang
asal Indonesia di sini?” katanya.

“Lho, ada? Mau sekali.”

Ia pun merogoh saku baju panjang
khas Indianya –ambil ponsel. Bicara-bicara.

“Lima menit lagi ia bisa
tiba di sini,” katanya.

Anak muda itu terus memohon agar
saya mau bermalam di situ. Ada guest house untuk saya.
Bahkan ia minta saya di situ selama satu minggu.

Yang dipanggil pun tiba.

“Masyaallah…Pak
menteri…,” sapanya. Kaget. “Alhamdulillah bisa bertemu justru di
sini,” tambahnya.

Itulah Saifullah Mubarak. Asal
Solok, Sumbar. Yang kawin dengan wanita setempat itu.

Saifullah lantas memperkenalkan
siapa saya –ke anak muda itu.

Saya langsung menyela: gak usah
disebut-sebut siapa saya.

Tapi kata minister sudah sempat
didengar anak muda itu.

“Kalau begitu silakan berdua
saja pakai bahasa Indonesia,” katanya.

Lalu pamit.

Masih banyak tamu yang harus ia
layani.

Belum lama ini, katanya, juga ada
rombongan tamu dari Makassar. Para guru besar dari universitas di Makassar.

Maka Saifullah-lah yang membawa
saya ‘Tour de Qadian’. Masuk-masuk ke kampung padat itu. Yang semuanya Islam.
Semuanya Ahmadiyah.

Saya juga diantar ke rumah tempat
Mirza Ghulam Ahmad lahir. Dari orang tuanya yang kaya raya –masih keturunan
keluarga kerajaan zaman dulu.

Sebenarnya sang ayah kecewa. Kok
Mirza tidak mau meneruskan usaha bapaknya. Mirza justru mendalami agama. Sangat
intens.

Umur 9 tahun Mirza sudah
menguasai soal agama. Ketika muda pun ia sangat sibuk mencari lawan debat.
Terutama dari kalangan misionaris Kristen. Yang pusatnya di Kota Ludhiana,
sekitar 120 km dari Qadian.

Mirza menjadikan Kota Ludhiana
sebagai pusat kegiatan misionarisnya. Termasuk di situlah Mirza membaiat para
pengikutnya. Untuk kali pertama.

Baca Juga :  Walikota Kurangi Jam Operasional THM, Maksimal Jam 9 Malam

Di situlah Mirza memproklamasikan
prinsip-prinsip keagamaannya. Misalnya: Isa (Yesus) itu memang nabi tapi
manusia biasa. Tubuh Isa tidak ditarik ke surga –sebagaimana diyakini dalam
Islam maupun Kristen.

Menarik jasad ke surga itu ia
anggap tidak masuk akal.

Jenazah Isa itu dikuburkan
seperti manusia biasa. Entah di mana dan oleh siapa. Saat itu keadaan kacau.

Mirza terus menantang debat misionaris
Kristen. Dengan topik itu. Lama-lama orang Islam juga menentang prinsipnya itu.

Suatu saat Mirza melawat jauh ke
Delhi. Nama Mirza sudah terkenal pun sampai ke Delhi.

Di ibu kota itu Mirza pasang
iklan: menantang siapa pun untuk berdebat terbuka.

Yang ia tantang ulama Islam. Juga
ulama Kristen.

Tempat debatnya Mirza sudah
menentukan: di Masjid Jama Old Delhi (DI’s Way: Indah Kumuh).

Cara debatnya pun Mirza yang
menentukan. Agar tidak terjadi debat kusir. Juga agar tidak ada yang salah
dalam mengutip apa yang sudah diucapkan.

Ucapan semua orang di arena itu
harus ditulis. Untuk dibacakan. Ada bukti –siapa mengucapkan apa.

Syarat lain: topiknya satu
persatu. Satu dulu yang diperdebatankan. Tidak boleh melebar ke topik lain.

Kali pertama itu topiknya soal
kematian Isa (Yesus) tadi.

Kian mendekati hari debat suasana
kian panas. Terutama dari kalangan Islam.

Mereka tidak mau topik debat
dibatasi. Harus juga membahas topik lain: mengapa Mirza menyebut dirinya
sebagai nabi.

Padahal, menurut keyakinan Islam,
nabi terakhir adalah Muhammad.

Setelah itu memang diyakini akan
ada orang hebat yang diturunkan ke bumi. Di akhir zaman nanti. Tapi itu adalah
Isa yang diangkat ke surga dulu. Bukan Mirza.

Pro-kontra terjadi. Kian keruh.
Di hari perdebatan masa sangat besar. Sulit diatur. Berpotensi bentrok.

Polisi Inggris membubarkan
mereka.

Saya juga diajak Saifullah ke
masjid pertama. Yang dibangun Mirza di dekat rumah bapaknya.

Awalnya tidak ada yang mau salat.
Lingkungan ini semua beragama Sikh. Atau Hindu.

“Makmum pertama Mirza adalah
orang yang dibayar untuk mau ikut salat,” kata Saifullah.

Lama-lama Islam berkembang di
situ. Ayahnya kian khawatir anaknya tidak mau jadi pengusaha.

Di akhir hidupnya sang ayah
bangga pada anaknya itu. 

Kini sudah ada masjid besar di
situ. Dengan menara-menara tinggi.

Saya lantas minta diantar ke
komplek pagar tembok panjang itu. Waktu saya sudah habis.

Ternyata itulah komplek makam
Mirza Ghulam Ahmad. Suasana di dalamnya seperti Taman Makam Pahlawan. Luas dan
indah. Dengan pohon-pohon besar dan taman yang luas.

Di ujung sana ada ribuan makam
lain. Itulah para pejuang Ahmadiyah.

Yang dimaksud pejuang adalah
termasuk mereka yang mau sedekah 10 persen dari penghasilannya.

Perpuluhan.

Kisah tentang 313 orang yang
mempertahankan Qadian sebenarnya sangat dramatik. Tapi apakah pembaca DI’s Way
mau? (Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru