33.2 C
Jakarta
Monday, November 25, 2024

Wali Kota Ini Dicukur, Disiram Cat, Dipaksa Jalan Nyeker

Wajah Patricia Arce merah. Bukan karena marah.
Melainkan imbas disiram cat oleh warganya. Arce adalah wali kota Vinto,
Bolivia.

Rabu (6/11)
massa pendukung oposisi mendatangi kantornya. Mereka memaksanya keluar. Begitu
Arce berada di luar gedung, beberapa orang bertopeng memukulinya. Sebagian
lainnya melemparkan batu ke arahnya.

Penderitaan
Arce tak berhenti sampai di situ. Dia dipaksa berjalan hingga ke Jembatan
Vinto. Nyeker. Tanpa alas kaki. Di jembatan itu dia dipaksa berlutut. Rambutnya
dipotong hingga pendek tak keruan. Setelah itu mereka menyiramkan cat merah
dari atas kepala sang wali kota.

Arce lalu
dipaksa menandatangani surat pengunduran diri. ”Pembunuh…pembunuh,” teriak
massa sepanjang jalan.

Para pendukung
oposisi itu berang. Arce dituduh memfasilitasi pendukung Presiden Evo Morales
untuk membubarkan aksi menentang pemerintah Selasa malam (5/11). Imbasnya,
terjadi bentrokan dan dua orang demonstran tewas. Arce berasal dari Movement to
Socialism (MAS) Party, sama seperti Morales.

Salah seorang
korban tewas yang berhasil diidentifikasi adalah Limbert Guzman Vasquez.
Tengkorak mahasiswa berumur 20-an tahun tersebut retak. Dokter menyatakan bahwa
itu mungkin disebabkan bahan peledak.

Baca Juga :  Trump Tak Terima Kekalahan, Pendukung Ngamuk Gedung Parlemen, 52 Orang

Vasquez adalah
orang ketiga yang terbunuh sejak demo menolak hasil pemilu yang berlangsung 20
Oktober lalu. Oposisi yakin terjadi kecurangan besar-besaran hingga Morales
kembali menang.

Arce berhasil
selamat dari amuk massa setelah rombongan polisi mendatangi lokasi kejadian.
Salah seorang polisi yang mengendarai sepeda motor membawanya ke rumah sakit.
”Jika mereka ingin membunuh saya, biarkan saja. Saya tidak takut. Saya berada
di negara bebas,” ujar Arce kepada para jurnalis seperti dikutip New York Post.
Dia menyatakan siap menyerahkan nyawanya demi proses perubahan.

Arce butuh
waktu lama untuk kembali bekerja di kantornya. Sebab, massa yang masih berang
merusak dan membakar balai kota. Massa tidak punya niat untuk berhenti turun ke
jalan. Aksi menentang pemerintah akan terus berjalan.

Mengetahui Arce
dikerjai massa pendukung oposisi, Morales langsung berang. Dia mengecam
tindakan massa. Tapi, sepertinya penduduk Bolivia yang menentangnya tak lagi
peduli. Morales sudah berkuasa selama 14 tahun. Dia adalah pemimpin paling lama
di negara tersebut.

Baca Juga :  Dana Covid Buat Pelesiran, Menaker Malawi Dipecat

Dugaan
kecurangan muncul setelah panitia pemilihan umum menghentikan laporan
penghitungan suara. Saat itu perolehan suara Morales memang lebih tinggi
daripada delapan kandidat lainnya, tapi tak cukup untuk menghindari pemilihan
putaran kedua.

Berdasar aturan
di Bolivia, kandidat presiden dinyatakan menang jika memperoleh suara lebih
dari 50 persen. Kandidat boleh mendapatkan hanya 40 persen suara dengan catatan
perbedaan dengan kandidat lain di bawahnya minimal 10 persen.

Nah, dalam
pemilu lalu perolehan suara Morales tiba-tiba melonjak tajam sehari setelah
pemilihan. Pemimpin 60 tahun itu mendapatkan 47,08 persen suara, sedangkan
lawan terdekatnya, Carlos Mesa, hanya mendapat 36,51 persen. Massa menuntut
pemilu tahap kedua digelar antara Morales dan Mesa. Pemerintah Brasil,
Argentina, Kolombia, Amerika Serikat, dan negara-negara Uni Eropa juga
mempertanyakan hasil pemilu Bolivia. Sayangnya, Morales enggan melakukannya.

Massa yang tak
terima akhirnya memilih turun ke jalan dan menentangnya. Bentrokan terjadi
selama beberapa pekan. PBB meminta kedua pihak mencari jalan damai.
(*/c9/dos)

Wajah Patricia Arce merah. Bukan karena marah.
Melainkan imbas disiram cat oleh warganya. Arce adalah wali kota Vinto,
Bolivia.

Rabu (6/11)
massa pendukung oposisi mendatangi kantornya. Mereka memaksanya keluar. Begitu
Arce berada di luar gedung, beberapa orang bertopeng memukulinya. Sebagian
lainnya melemparkan batu ke arahnya.

Penderitaan
Arce tak berhenti sampai di situ. Dia dipaksa berjalan hingga ke Jembatan
Vinto. Nyeker. Tanpa alas kaki. Di jembatan itu dia dipaksa berlutut. Rambutnya
dipotong hingga pendek tak keruan. Setelah itu mereka menyiramkan cat merah
dari atas kepala sang wali kota.

Arce lalu
dipaksa menandatangani surat pengunduran diri. ”Pembunuh…pembunuh,” teriak
massa sepanjang jalan.

Para pendukung
oposisi itu berang. Arce dituduh memfasilitasi pendukung Presiden Evo Morales
untuk membubarkan aksi menentang pemerintah Selasa malam (5/11). Imbasnya,
terjadi bentrokan dan dua orang demonstran tewas. Arce berasal dari Movement to
Socialism (MAS) Party, sama seperti Morales.

Salah seorang
korban tewas yang berhasil diidentifikasi adalah Limbert Guzman Vasquez.
Tengkorak mahasiswa berumur 20-an tahun tersebut retak. Dokter menyatakan bahwa
itu mungkin disebabkan bahan peledak.

Baca Juga :  Trump Tak Terima Kekalahan, Pendukung Ngamuk Gedung Parlemen, 52 Orang

Vasquez adalah
orang ketiga yang terbunuh sejak demo menolak hasil pemilu yang berlangsung 20
Oktober lalu. Oposisi yakin terjadi kecurangan besar-besaran hingga Morales
kembali menang.

Arce berhasil
selamat dari amuk massa setelah rombongan polisi mendatangi lokasi kejadian.
Salah seorang polisi yang mengendarai sepeda motor membawanya ke rumah sakit.
”Jika mereka ingin membunuh saya, biarkan saja. Saya tidak takut. Saya berada
di negara bebas,” ujar Arce kepada para jurnalis seperti dikutip New York Post.
Dia menyatakan siap menyerahkan nyawanya demi proses perubahan.

Arce butuh
waktu lama untuk kembali bekerja di kantornya. Sebab, massa yang masih berang
merusak dan membakar balai kota. Massa tidak punya niat untuk berhenti turun ke
jalan. Aksi menentang pemerintah akan terus berjalan.

Mengetahui Arce
dikerjai massa pendukung oposisi, Morales langsung berang. Dia mengecam
tindakan massa. Tapi, sepertinya penduduk Bolivia yang menentangnya tak lagi
peduli. Morales sudah berkuasa selama 14 tahun. Dia adalah pemimpin paling lama
di negara tersebut.

Baca Juga :  Dana Covid Buat Pelesiran, Menaker Malawi Dipecat

Dugaan
kecurangan muncul setelah panitia pemilihan umum menghentikan laporan
penghitungan suara. Saat itu perolehan suara Morales memang lebih tinggi
daripada delapan kandidat lainnya, tapi tak cukup untuk menghindari pemilihan
putaran kedua.

Berdasar aturan
di Bolivia, kandidat presiden dinyatakan menang jika memperoleh suara lebih
dari 50 persen. Kandidat boleh mendapatkan hanya 40 persen suara dengan catatan
perbedaan dengan kandidat lain di bawahnya minimal 10 persen.

Nah, dalam
pemilu lalu perolehan suara Morales tiba-tiba melonjak tajam sehari setelah
pemilihan. Pemimpin 60 tahun itu mendapatkan 47,08 persen suara, sedangkan
lawan terdekatnya, Carlos Mesa, hanya mendapat 36,51 persen. Massa menuntut
pemilu tahap kedua digelar antara Morales dan Mesa. Pemerintah Brasil,
Argentina, Kolombia, Amerika Serikat, dan negara-negara Uni Eropa juga
mempertanyakan hasil pemilu Bolivia. Sayangnya, Morales enggan melakukannya.

Massa yang tak
terima akhirnya memilih turun ke jalan dan menentangnya. Bentrokan terjadi
selama beberapa pekan. PBB meminta kedua pihak mencari jalan damai.
(*/c9/dos)

Terpopuler

Artikel Terbaru