31.9 C
Jakarta
Tuesday, April 30, 2024

Kabut Asap Menjadi Santapan, Pernah Menemukan Bom Molotov di Lahan yan

Kurang
lebih tiga bulan, mereka berjuang menanggulangi api kebakaran hutan dan lahan
(Karhutla). Kerja mulai dari pagi, siang, sampai malam. Mengorbankan waktu
bersama keluarga demi menyelamatkan paru-paru dunia.

 

AGUS PRAMONO, Palangka Raya

DERU mesin pompa terus
berdenging. Ditempatkan di samping parit selebar dua meter. Sumber air yang ada
di lokasi kebakaran. Selain mobil tangki yang hilir mudik menyuplai.

Tampak tiga petugas
beristirahat di teras warga yang berada di Jalan Tjilik Riwut Km 16,5, Palangka
Raya. Lokasi penghasil asap yang dilakukan pendinginan oleh petugas berjarak
sekitar 600 meter dari bibir jalan.

Tampak di tengah-tengah
pepohonan, tiga petugas pemadam sedang sibuk membasahi lahan gambut yang masih
mengeluarkan asap. Penulis pun mendekat. Mengikuti alur slang berukuran 2,5
inci. Jarak 20 meter, slang itu disambung lagi dengan slang ukuran 1,5 inci.

Petugas pemadam kebakaran
dari TSAK Bukit Tunggal bersama TNI-Polri saling berbagi tugas. Ada yang
memegang nosel, ada yang menarik dan memindahkan slang, ada juga yang
mengarahkan di mana titik-titik asap yang hendak dipadamkan.

“Kami hari ini melakukan pembasahan.
Mencari titik-titik asap yang masih keluar dari dalam tanah gambut ini,”ujar
salah satu petugas, Rano sambil terus memegang nosel mengarahkan air ke tanah.

Baca Juga :  Mutasi Besar-besaran, Sejumlah Pejabat Teras Kejati Kalteng Berganti,

Meski tak ada api, terasa
sekali hawa panas di sekitar lokasi terbakar yang mencapai puluhan hektare.
Baru 30 menit saya berada di sana, bulir-bulir keringat sudah keluar dan
membasahi kaos yang saya kenakan. Bisa dibayangkan, bagaimana dengan petugas
yang sudah berjam-jam berada di sana. Seragam mereka tampak lusuh. Basah oleh
keringat. “Nanti sampai rumah, (seragam, red) sudah kering lagi,”celetuknya.

Rano dan rekan-rekannya sudah
tiga bulan berjibaku mengendalikan karhutla. Medan berat, dan kabut asap menjadi
santapan sehari-hari. Semua dijalani dengan ikhlas. Bagi mereka, tak ada
gunanya mengeluh.

Tak lama setelah itu, para
pemadam beristirahat sejenak. Menu nasi, mie, ayam, dan telur yang dikirim dari
posko langsung disantap. Mereka duduk di teras rumah warga.

Sambil melahap, obrolan kami
pun mencair. Ada suka duka yang dirasakan selama berada di medan karhutla. Puas
ketika berhasil menerobos ilalang agar mencapai titik api. Puas ketika berhasil
memadamkan. Tentu, kepuasan yang tak bisa dibeli dengan uang adalah jerih payah
mereka bisa dihargai.

Terkait kepedulian masyarakat
sekitar, tidak menentu. Terkadang, ada warga yang melapor adanya kebakaran
lahan di lingkungan tempat tinggalnya, malah tidak membantu sama sekali.
Padahal rumahnya terancam rembetan api.

Baca Juga :  66 Peserta Lolos, 151 Peserta Gugur

“Kalau di lapangan, kami
menemukan banyak hal. Ada warga yang peduli, ada yang tidak. Ada yang menyuguhi
kopi, ada yang memilih mengunci diri,”ungkap pria 35 tahun itu.

Sementara, relawan dari
Barisan Pemadam Kebakaran (BPK) AS Syuhada, M Suparmin mengaku, terlibat dalam
penanggulangan karhutla sejak tahun 2015 silam. Tak jera terlibat langsung
memadamkan api, meski tahun ini kondisinya sedikit kurang mujur. Tiga mesin
pompa yang ada di markasnya rusak. Tidak tahan digunakan berjam-jam dalam satu
hari.

“Dalam tiga bulan ini, sudah
tiga mesin kami rusak,”ucapnya.

Dirinya juga geram, melihat
ulah pembakar lahan. Dirinya  merasa
dipermainkan. Bayangkan, sudah jelas-jelas sepetak lahan sudah dipadamkan.
Beberapa hari kemudian, api malah muncul di sepetak lahan sebelahnya.

“Tidak mungkin yang sudah
kami padamkan hidup lagi. Modusnya, dia (Pemilik lahan, red) sengaja membakar lahan
yang bukan miliknya, dengan harapan, api akan merembet ke lahannya. Tapi, jika
api gagal membakar lahannya, dia akan membakar lagi,”beber pria kelahiran tahun
1981 itu.

“Kami juga pernah menemukan
bekas botol minuman energi yang ada sumbunya (Bom Molotov, red) di
tengah-tengah lahan terbakar,”sahut petugas pemadam lain.(*)

Kurang
lebih tiga bulan, mereka berjuang menanggulangi api kebakaran hutan dan lahan
(Karhutla). Kerja mulai dari pagi, siang, sampai malam. Mengorbankan waktu
bersama keluarga demi menyelamatkan paru-paru dunia.

 

AGUS PRAMONO, Palangka Raya

DERU mesin pompa terus
berdenging. Ditempatkan di samping parit selebar dua meter. Sumber air yang ada
di lokasi kebakaran. Selain mobil tangki yang hilir mudik menyuplai.

Tampak tiga petugas
beristirahat di teras warga yang berada di Jalan Tjilik Riwut Km 16,5, Palangka
Raya. Lokasi penghasil asap yang dilakukan pendinginan oleh petugas berjarak
sekitar 600 meter dari bibir jalan.

Tampak di tengah-tengah
pepohonan, tiga petugas pemadam sedang sibuk membasahi lahan gambut yang masih
mengeluarkan asap. Penulis pun mendekat. Mengikuti alur slang berukuran 2,5
inci. Jarak 20 meter, slang itu disambung lagi dengan slang ukuran 1,5 inci.

Petugas pemadam kebakaran
dari TSAK Bukit Tunggal bersama TNI-Polri saling berbagi tugas. Ada yang
memegang nosel, ada yang menarik dan memindahkan slang, ada juga yang
mengarahkan di mana titik-titik asap yang hendak dipadamkan.

“Kami hari ini melakukan pembasahan.
Mencari titik-titik asap yang masih keluar dari dalam tanah gambut ini,”ujar
salah satu petugas, Rano sambil terus memegang nosel mengarahkan air ke tanah.

Baca Juga :  Mutasi Besar-besaran, Sejumlah Pejabat Teras Kejati Kalteng Berganti,

Meski tak ada api, terasa
sekali hawa panas di sekitar lokasi terbakar yang mencapai puluhan hektare.
Baru 30 menit saya berada di sana, bulir-bulir keringat sudah keluar dan
membasahi kaos yang saya kenakan. Bisa dibayangkan, bagaimana dengan petugas
yang sudah berjam-jam berada di sana. Seragam mereka tampak lusuh. Basah oleh
keringat. “Nanti sampai rumah, (seragam, red) sudah kering lagi,”celetuknya.

Rano dan rekan-rekannya sudah
tiga bulan berjibaku mengendalikan karhutla. Medan berat, dan kabut asap menjadi
santapan sehari-hari. Semua dijalani dengan ikhlas. Bagi mereka, tak ada
gunanya mengeluh.

Tak lama setelah itu, para
pemadam beristirahat sejenak. Menu nasi, mie, ayam, dan telur yang dikirim dari
posko langsung disantap. Mereka duduk di teras rumah warga.

Sambil melahap, obrolan kami
pun mencair. Ada suka duka yang dirasakan selama berada di medan karhutla. Puas
ketika berhasil menerobos ilalang agar mencapai titik api. Puas ketika berhasil
memadamkan. Tentu, kepuasan yang tak bisa dibeli dengan uang adalah jerih payah
mereka bisa dihargai.

Terkait kepedulian masyarakat
sekitar, tidak menentu. Terkadang, ada warga yang melapor adanya kebakaran
lahan di lingkungan tempat tinggalnya, malah tidak membantu sama sekali.
Padahal rumahnya terancam rembetan api.

Baca Juga :  66 Peserta Lolos, 151 Peserta Gugur

“Kalau di lapangan, kami
menemukan banyak hal. Ada warga yang peduli, ada yang tidak. Ada yang menyuguhi
kopi, ada yang memilih mengunci diri,”ungkap pria 35 tahun itu.

Sementara, relawan dari
Barisan Pemadam Kebakaran (BPK) AS Syuhada, M Suparmin mengaku, terlibat dalam
penanggulangan karhutla sejak tahun 2015 silam. Tak jera terlibat langsung
memadamkan api, meski tahun ini kondisinya sedikit kurang mujur. Tiga mesin
pompa yang ada di markasnya rusak. Tidak tahan digunakan berjam-jam dalam satu
hari.

“Dalam tiga bulan ini, sudah
tiga mesin kami rusak,”ucapnya.

Dirinya juga geram, melihat
ulah pembakar lahan. Dirinya  merasa
dipermainkan. Bayangkan, sudah jelas-jelas sepetak lahan sudah dipadamkan.
Beberapa hari kemudian, api malah muncul di sepetak lahan sebelahnya.

“Tidak mungkin yang sudah
kami padamkan hidup lagi. Modusnya, dia (Pemilik lahan, red) sengaja membakar lahan
yang bukan miliknya, dengan harapan, api akan merembet ke lahannya. Tapi, jika
api gagal membakar lahannya, dia akan membakar lagi,”beber pria kelahiran tahun
1981 itu.

“Kami juga pernah menemukan
bekas botol minuman energi yang ada sumbunya (Bom Molotov, red) di
tengah-tengah lahan terbakar,”sahut petugas pemadam lain.(*)

Terpopuler

Artikel Terbaru